Perlahan dia berjalan menjauh. Berjalan, pelan-pelan, meninggalkan, tanpa sepatah alasan. Menuju orang lain. Orang lain yang sanggup membaurkan tawa lebih lama dan menenangkan jiwa dan raga yang hampa. Ada yang tergenang di pelupuk, dan memilih untuk tidak menitikkan rinai airmatanya. Memilih untuk menangis, menjerit, dan meronta dalam bisu yang teramat kaku. Kamu begitu takut kehilangannya. Berusaha untuk terus mengejar dan berharap. Kamu mengikuti arahnya, layaknya seorang penguntit. Kian hari kian memata-matai segalanya. Kamu terlalu egois menyayanginya dan tidak mau ikhlas melepaskannya. Hingga pada akhirnya kamu sadar, bahwa bukan kamulah yang pantas bersandar di bahunya, memetik dan memainkan jemarinya, mengacak-acak rambutnya, mencium keningnya, duduk bersama, dan bercerita tentang senja.
Untuk setiap pertemuan yang sederhana, pada akhirnya akan ada perpisahan yang mengumbar air mata juga.
No comments:
Post a Comment