Alfu sakit apa? Alfu kenapa? Alfu
kok bolak-balik rumah sakit? Kamu sih nggak jaga kesehatan. Kamu sih kebanyakan
ngopi. Kamu sih diet-diet mulu. Makan gih yang banyak biar cepet sembuh. Nih
makan, makan dulu, makan dulu jangan males, kamu mau apa, ini makan nasi dulu,
kalo nggak makan nanti nggak sembuh-sembuh
..........................................................
Let me tell you. Hampir 4 minggu
ini aku sakit perut. Mungkin kelihatannya sepele. Sakit perut sampai harus
opname dua kali di rumah sakit. Setiap
orang datang dengan spekulasi masing-masing. Setiap orang punya opini sendiri
tentang apa yang sedang aku alami. Jogja; 7 Oktober menjadi awal mula segala
yang aku rasa. Aku bangun dengan perasaan lemas, mual, melilit. Aku tau ini
pasti ada yang tidak beres. Keracunan mungkin. Pikirku saat itu. Aku bangun dengan
susah payah menuju kamar mandi. Aku diare.
Mengitung jam menuju siang, aku
bolak-balik ke kamar mandi sampai akhirnya tidak ada lagi isi perut yang bisa
aku keluarkan. Aku tetap sakit perut. Semakin sulit berjalan karena saking
sakitnya. Padahal sore harinya aku harus naik kereta menuju ke Purwokerto. Aku
paksa diriku. Aku harus ke Purwokerto. Senin ada jadwal praktikum. Aku harus
masuk. Aku harus kuat. Aku harus meyakinkan orangtuaku bahwa aku sehat,
“Mungkin cuma masuk angin, Mi. Nggak papa kok kan Jogja-Purwokerto cuma bentar,
nanti sampai kos langsung istirahat. Besok aku praktikum jadi nggak bisa
bolos.” [Oh iya, Mi adalah Umi. Sebutanku
memanggil Ibu]. Aku duduk hampir 4 jam di kereta dengan perut melilit dan
keringat dingin mengujur di sekujur tubuh. Aku terus mensugesti bahwa aku kuat.
Aku kuat. Aku kuat.
Senin 8 Oktober aku praktikum
pagi. Aku merengek-rengek kesakitan tapi tetap harus praktikum. Setelah selesai
praktikum, aku pulang. Aku tidak peduli. Aku bolos 4 sks alias dua mata kuliah.
Aku terus menangis mengucur di sepanjang tidur. Di sela-sela sehat yang aku
punya, aku mencari jurnal-jurnal melalui ponsel mengenai keluhan, tanda, dan
gejala yang aku punya. Sampailah pada kesimpulan bahwa kemungkinan aku terkena
IBS (Irritable Bowel Syndrome); yaitu
penyakit pencernaan yang mempengaruhi kerja usus besar---yang akhirnya
menyebabkan keluhan nyeri/melilit/tidak nyaman sehingga dapat menyebabkan diare
dan/atau konstipasi [untuk lebih lanjutnya kalian bisa googling ya].
Malamnya aku pergi ke apotek
karena sudah tahu obat apa saja yang harus saya beli untuk diagnosa IBS. Karena
antibiotik tidak dapat dibeli secara bebas, aku memilih membeli probiotik. Yaitu
tablet yang berisi milyaran bakteri baik, yang ketika dimasukkan ke dalam
tubuh, akan membantu tubuh untuk berperang melawan bakteri-bakteri jahat yang
ada di saluran pencernaan. Untuk mengurangi sakit perut akibat kontraksi yang
tidak teratur, aku membeli antispasmodik (digunakan untuk meredakan kram perut,
bekerja dengan cara melemaskan otot-otot pada saluran cerna dan saluran kemih)
dan dikombinasi dengan antinyeri (yang ini mah jelas buat penahan nyeri; aku
pilih paracetamol dosis tinggi karena
relatif lebih aman daripada golongan NSAID karena aku sendiri punya riwayat
maag).
Selasa 9 Oktober, aku bolos lagi
kuliah pagi karena aku harus mempersiapkan fisik untuk praktikum siang sampai
sore hari. Setelah selesai, aku pulang. Aku ambruk. Aku minum lagi obatku.
Sampai akhirnya aku tidak sanggup menahan sakit hanya dengan obat oral (yang
diminum lewat saluran cerna; tablet/kapsul). Aku butuh injeksi. Aku butuh obat
yang langsung masuk ke pembuluh darahku. Aku lari ke UGD. Aku disuntik antinyeri.
Lalu dokter meminta sampel urin dan sampel darah. Aku dinyatakan ISK (Infeksi
Saluran Kemih). Aku diberi obat dan disuruh pulang karena tidak termasuk dalam
indikasi kegawat-daruratan untuk rawat inap. Obat yang dokter resepkan sama
seperti yang aku beli; antispasmodik-antinyeri, ditambah antibiotik untuk ISK,
dan diazepam agar aku tenang dan tidur. Tidak, aku yakin betul ini bukan hanya
ISK. ISK hanya penyerta, yang sebenarnya ada diagnosis lain yang belum
ditegakkan. Aku percaya ada masalah lain di dalam ususku.
Rabu 10 Oktober, aku bolos kuliah
lagi. 3 Jam setelah aku minum obat justru aku semakin meraung-raung kesakitan,
aku minum lagi, aku minum lagi, aku minum. Padahal obat-obat ini harus berjeda
6-8 jam. Aku yang ketakutan overdosis akhirnya memutuskan ke UGD lagi. Aku
merengek minta rawat inap. Akhirnya aku dirawat. Teman-temanku datang dan panik
kenapa bisa sakit sampai masuk rumah sakit. Besoknya, makin banyak teman yang
datang. Besoknya lagi semakin banyak. Mereka bertanya, alfu kenapa alfu sakit apa.
Aku jawab aku sakit perut nggak bisa pup. Buah-buah dibawa sebanyak yang tak
kukira, seperti memindahkan pasar buah ke dalam rumah sakit. Mereka datang
dengan spekulasi masing-masing. Mereka menyuruhku makan buah, makan pepaya,
makan ini, makan itu, jangan makan ini, jangan makan itu. Aku tak kurang-kurang
makan buah, semua makananku dibuat khusus dengan menu tinggi serat. Tapi
ke-tidak-mampuan pup adalah hal lain yang menjadi tanda tanya. Jalan terakhir
adalah memberi obat pencahar tingkat tinggi yang disertai dengan tanda tangan
hitam di atas putih. Aku tanda tangan secara sadar. Prosedur dilakukan. Tak ada
pup yang keluar. Aku kesakitan. Dokter kebingungan. Hasil USG normal, hasil
rontgen normal. Dokter angkat tangan. Aku keluar rumah sakit. Aku kesakitan.
Senin 15 Oktober, aku memutuskan masuk
kuliah karena ada kuis. Semua kira aku sudah sehat. Tapi tidak. Setelah
konstipasi selama seminggu, akhirnya aku diare hebat selama 4 hari, dari hari
minggu sampai rabu. Aku kepayahan setiap malam. Lemas rasanya hingga kadang
tidak kuat berdiri. Aku tidak lari ke UGD lagi. Aku merawat diriku sendiri.
Kamis 18 Oktober, aku bertemu
dokter spesialis penyakit dalam-subspesialis gastro di RS Margono timur. Dokter
yang fokus ke penyakit perut. Aku menceritakan segala yang aku rasa. Dokter
melakukan tindakan colok dubur. Ada bercak darah di sarung tangan yang beliau
kenakan. Dokter menginstruksikan tindakan colon
in loop dan tes CEA (tes darah untuk penanda adanya tumor/kanker). Di
kertas pemeriksaan, tertulis diagnosa sementara: Irritable Bowel Syndrome [YAELAH SAMA AJA INI MAH KAYA YANG AKU
CARI DI JURNAL WKWK]. Dokter tidak memberiku obat. Mungkin beliau kira aku hanya
sakit ringan.
Jumat 19 Oktober, aku mengalami
nyeri tulang rusuk. Rasanya sampai tertusuk-tusuk. Semakin hari semakin hebat.
Aku kesusahan jalan. Aku semakin kesakitan. Aku kesulitan bernafas. Aku tidak
bisa tertawa, batuk, dan sendawa. Seluruh badanku rasanya remuk. Aku kesulitan
tidur. Aku lari ke UGD. Dokter menyarankan opname. Aku menolak karena senin
depan ada UTS. Aku minta disuntik antinyeri. Lalu pulang dengan sekantong obat
lagi.
Senin 22-30 Oktober aku harus
mengikuti serangkaian UTS. Aku hampir tidak pernah belajar. Aku selalu dibuat
tidur oleh diazepam. Aku kesulitan beraktivitas. Jalan tak bisa tegak, tidur
tak bisa nyenyak. Aku men-dopping 6-8
obat setiap hari. Motivasiku hanya satu, aku harus tetap mengikuti UTS. Aku
tidak mau susulan, selain prosedur yang sulit di jurusanku, nilai yang
diberikan untuk ujian susulan juga tidak bisa maksimal. Aku harus UTS. Harus.
Sabtu 27 Oktober, aku siap untuk colon in loop. Dua hari sebelum tindakan
aku hanya diperbolehkan makan bubur, tahu, dan telur. Semalam sebelum tindakan,
aku melakukan kuras lambung dan usus. Semua isi perutku seakan-akan habis. Rasa
sakitnya seperti diperas, dipaksa dikeluarkan semua isi perutnya. Sakit, tapi asyik
juga sebenarnya karena tidak perlu mengejan untuk buang air besar. Ditinggal
bernafas aja sudah otomatis keluar. Aku juga harus puasa bicara karena harus
benar-benar steril dari makanan, kotoran, bahkan gas sekalipun.
Lalu bagaimana colon
in loop dilakukan? Apakah sakit? Prosedurnya adalah aku harus siap baik
fisik maupun mental. Aku harus yakin bahwa aku ingin melakukan colon in loop. Aku tidur diatas bed yang
dilengkapi peralatan yang aku sendiri tidak hafal nama-namanya. Aku miring ke
kiri. Aku menarik nafas sepanjang yang aku bisa. Selang irigator dimasukkan
melalui anus. Cairan sebanyak 800-1000ml ditumpahkan sampai memenuhi seluruh
usus besarku. Perutku sakit, perutku melilit. Aku menarik nafas
sepanjang-panjangnya. Usus besarku difoto-rontgen. Prosedur selanjutnya adalah
mengeluarkan cairan tersebut. Sekarang usus besarku sudah kosong. Aku tidur
lagi di atas bed. Dengan posisi yang sama. Aku menarik nafas sekuat yang
kubisa. Selang irigator masuk lagi ke anusku. Dua tabung gas dipompa masuk ke
dalam tubuhku sampai memenuhi usus besarku. Perutku kembung berisi angin. Aku
tidak boleh kentut sampai prosedur foto-rontgen selesai. Sakit sih sebenarnya
tidak, mungkin kurang nyaman saja rasanya. Setelah selesai aku diperbolehkan
kentut. Itu adalah kentut terpanjang, terbanyak, dan ter-tidak-bau yang pernah
aku lakukan. Colon in loop selesai, tak ada hasil yang bisa dibawa saat
itu. Katanya harus menunggu sampai kontrol selanjutnya. Aku pulang. Kecewa.
Masih ada sisa dua hari UTS yang
harus aku jalani; senin dan selasa. Selepas selesai, aku sampai menitikkan air
mata, hah akhirnya selesai juga ujian kali ini. Selasa sore aku pergi ke
bioskop, mungkin satu film bisa memperbaiki psikisku. Setelah itu, aku
memutuskan untuk opname lagi. Selasa, 30 Oktober sekitar pukul 9 malam aku lari
ke UGD. Dokter jaga yang menanganiku tidak percaya kalau aku benar-benar sakit.
Dia kira aku nyeri haid atau nyeri perut biasa. Aku disuruh tes urin lagi.
Mungkin dia pikir aku nyeri karena ISK (Infeksi Saluran Kemih) atau semacamnya.
YATUHAN AKU SUDAH MUAK DENGAN TES URIN. [Memang berhubungan antara konstipasi
dengan ISK karena massa feses tertumpuk di dalam sehingga dapat mendorong
kantung kemih sehingga menyebabkan paparan bakteri]. Aku kesal sampai rasanya
ingin membakar rumah sakit. Ya kalaupun ada ISK itu wajar, hanya saja aku
penasaran kenapa perutku sakit sampai ke tulang-tulang rusuk bahkan naik ke ulu
hati. Aku terlantar di UGD. Dokter jaga tersebut baru menginstruksikan boleh
opname pukul 1 dini hari. Pihak RS mengatakan ruangan kelas 1, 2, 3 penuh
semua. Kalau mau, menunggu di UDG sampai waktu yang tidak ditentukan. Kalau mau
membayar lebih, bisa naik kelas ke VIP atau VVIP. Aku sudah bilang ingin opname
kenapa prosedurnya dipersulit? Kalau ruangan penuh kenapa tidak bilang dari tadi?
Kalau tahu begini kan aku bisa pindah daritadi jam 9, tidak harus menunggu
sampai dini hari begini. Aku kesal bukan main. Aku minta segera dicarikan
ruangan. Ruangan tersedia. Aku dibawa menggunakan ambulance pukul 2 dini hari. Membelah kota; dari RS Margono timur
menuju RS Margono barat. Sekitar pukul 4 pagi, aku tidur di ruanganku sendiri.
Rabu 31 Oktober, aku mulai
dirawat di RS Margono barat (sering disebut RS Geriatri). Aku bisa memilih
dokterku sendiri. Aku mau dirawat oleh dokter Harno (dokter yang sama ketika
aku melakukan colok dubur). Sore hari dokter Harno datang ke ruangan. Tidak
seperti dokter-dokter lain yang datang dengan lagak wibawa, tegas, lugas;
dokter Harno beda. Beliau datang dengan gayanya yang ramah dan pribadi yang
menyenangkan. Hasil colon in loop
memang belum keluar, beliau merekomendasikan menunggu dulu hasilnya. Aku
menolak, menawarkan opsi untuk endoskopi saja karena perut bagian atasku sakit.
Dokter bilang belum begitu perlu, tapi beliau tidak langsung menolak opsiku. Hitam
di atas putih dibuat. Kesepakatan didapat. Dokter akhirnya setuju.
Apapun yang akan terjadi esok
hari adalah biarlah menjadi rahasia esok hari. Aku sudah setuju untuk melakukan
endoskopi atas permintaan sendiri. Ada beberapa orang bilang sakit, ada
beberapa yang bilang tidak. Ada tetap pada pendirianku.
Sesakit-atau-setidaknyaman prosedur yang akan dilakukan esok hari, aku harus
tetap lakukan karena aku ingin tahu apa yang ada di dalam perutku. Sakit
endoskopi tidak akan sebanding dengan sakit lebih dari 3 minggu yang aku
rasakan. Jadi, aku harus siap.
Kamis 1 November pukul 7 pagi,
aku sudah siap di ruang endoskopi. Oh iya, endoskopi adalah prosedur
pemeriksaan dengan memasukkan alat dari mulut untuk melihat kondisi
kerongkongan, lambung, sampai ke usus 12 jari. Alat yang gunakan dilengkapi
dengan kamera diujungnya. Jadi, kita bisa melihat kondisi organ dalam kita
secara real melalui layar. Pertama,
aku membuka mulut dan disempot lidokain (bius lokal) di ujung telak. Aku telan.
Tak kunjung kebas. Disemprot lagi. Lagi. Sampai empat kali dan dokter Harno
cuma bilang ke perawat, “tambahin lagi, ini anak agak unik kayanya” sambil
senyum. Alat dimasukkan. Pelan-pelan. Aku muntah. Semakin dalam,
semakin dalam. Aku muntah. Cairan lambungku keluar. Cairan empeduku keluar. Aku
bahkan sampe ingin memukul tangan dokter. Perawat mengusap usap kepalaku.
Memegangi tanganku. Keringat bercucuran di tangan-tanganku. Aku panik. Dokter
tahu aku panik. Endoskopi belum juga selesai. Aku muntah sejadi-jadiku. Perawat
menyuruhku mengambil nafas panjang. Sejenak aku rileks. Aku atur nafasku dan
tutup mataku. Aku diam. Dokter malah usil sambil berkata “Loh kok diam, ini tidur atau pingsan?” Aku ingin ketawa sambil
menendang dokter. Ingin berkata “Ih
enggak aku masih bangun dokter tuh iseng” tapi tidak bisa, mulutku masih
terkunci oleh alat endoskopi. Dokter memasukkan alat biopsi, semacam penjepit
dan gunting. Jaringan lambungku dipotong. Aku mengerang kesakitan.
Alat endoskopi ditarik keluar.
Aku masih muntah-muntah. Aku berkata “Ih
lambungku diambil rasanya kaya dipancing.” Dokter tertawa. Beliau
menjelaskan ada luka dari kerongkongan sampai ke lambung. Ditambah hasil colon in loop, juga ada luka di usus
besar. Sebanyak itu ternyata luka yang ada di dalam tubuhku. Darimana luka itu
berasal? Apakah karena makan? Apakah aku tidak menjaga kesehatan? Apakah aku
makan sembarangan? Apakah karena sering minum kopi? Tidak.