Saturday, November 3, 2018

Sakit Apa?


Alfu sakit apa? Alfu kenapa? Alfu kok bolak-balik rumah sakit? Kamu sih nggak jaga kesehatan. Kamu sih kebanyakan ngopi. Kamu sih diet-diet mulu. Makan gih yang banyak biar cepet sembuh. Nih makan, makan dulu, makan dulu jangan males, kamu mau apa, ini makan nasi dulu, kalo nggak makan nanti nggak sembuh-sembuh ..........................................................

Let me tell you. Hampir 4 minggu ini aku sakit perut. Mungkin kelihatannya sepele. Sakit perut sampai harus opname dua kali di rumah sakit.  Setiap orang datang dengan spekulasi masing-masing. Setiap orang punya opini sendiri tentang apa yang sedang aku alami. Jogja; 7 Oktober menjadi awal mula segala yang aku rasa. Aku bangun dengan perasaan lemas, mual, melilit. Aku tau ini pasti ada yang tidak beres. Keracunan mungkin. Pikirku saat itu. Aku bangun dengan susah payah menuju kamar mandi. Aku diare.

Mengitung jam menuju siang, aku bolak-balik ke kamar mandi sampai akhirnya tidak ada lagi isi perut yang bisa aku keluarkan. Aku tetap sakit perut. Semakin sulit berjalan karena saking sakitnya. Padahal sore harinya aku harus naik kereta menuju ke Purwokerto. Aku paksa diriku. Aku harus ke Purwokerto. Senin ada jadwal praktikum. Aku harus masuk. Aku harus kuat. Aku harus meyakinkan orangtuaku bahwa aku sehat, “Mungkin cuma masuk angin, Mi. Nggak papa kok kan Jogja-Purwokerto cuma bentar, nanti sampai kos langsung istirahat. Besok aku praktikum jadi nggak bisa bolos.” [Oh iya, Mi adalah Umi. Sebutanku memanggil Ibu]. Aku duduk hampir 4 jam di kereta dengan perut melilit dan keringat dingin mengujur di sekujur tubuh. Aku terus mensugesti bahwa aku kuat. Aku kuat. Aku kuat.

Senin 8 Oktober aku praktikum pagi. Aku merengek-rengek kesakitan tapi tetap harus praktikum. Setelah selesai praktikum, aku pulang. Aku tidak peduli. Aku bolos 4 sks alias dua mata kuliah. Aku terus menangis mengucur di sepanjang tidur. Di sela-sela sehat yang aku punya, aku mencari jurnal-jurnal melalui ponsel mengenai keluhan, tanda, dan gejala yang aku punya. Sampailah pada kesimpulan bahwa kemungkinan aku terkena IBS (Irritable Bowel Syndrome); yaitu penyakit pencernaan yang mempengaruhi kerja usus besar---yang akhirnya menyebabkan keluhan nyeri/melilit/tidak nyaman sehingga dapat menyebabkan diare dan/atau konstipasi [untuk lebih lanjutnya kalian bisa googling ya].

Malamnya aku pergi ke apotek karena sudah tahu obat apa saja yang harus saya beli untuk diagnosa IBS. Karena antibiotik tidak dapat dibeli secara bebas, aku memilih membeli probiotik. Yaitu tablet yang berisi milyaran bakteri baik, yang ketika dimasukkan ke dalam tubuh, akan membantu tubuh untuk berperang melawan bakteri-bakteri jahat yang ada di saluran pencernaan. Untuk mengurangi sakit perut akibat kontraksi yang tidak teratur, aku membeli antispasmodik (digunakan untuk meredakan kram perut, bekerja dengan cara melemaskan otot-otot pada saluran cerna dan saluran kemih) dan dikombinasi dengan antinyeri (yang ini mah jelas buat penahan nyeri; aku pilih paracetamol dosis tinggi karena relatif lebih aman daripada golongan NSAID karena aku sendiri punya riwayat maag).

Selasa 9 Oktober, aku bolos lagi kuliah pagi karena aku harus mempersiapkan fisik untuk praktikum siang sampai sore hari. Setelah selesai, aku pulang. Aku ambruk. Aku minum lagi obatku. Sampai akhirnya aku tidak sanggup menahan sakit hanya dengan obat oral (yang diminum lewat saluran cerna; tablet/kapsul). Aku butuh injeksi. Aku butuh obat yang langsung masuk ke pembuluh darahku. Aku lari ke UGD. Aku disuntik antinyeri. Lalu dokter meminta sampel urin dan sampel darah. Aku dinyatakan ISK (Infeksi Saluran Kemih). Aku diberi obat dan disuruh pulang karena tidak termasuk dalam indikasi kegawat-daruratan untuk rawat inap. Obat yang dokter resepkan sama seperti yang aku beli; antispasmodik-antinyeri, ditambah antibiotik untuk ISK, dan diazepam agar aku tenang dan tidur. Tidak, aku yakin betul ini bukan hanya ISK. ISK hanya penyerta, yang sebenarnya ada diagnosis lain yang belum ditegakkan. Aku percaya ada masalah lain di dalam ususku.

Rabu 10 Oktober, aku bolos kuliah lagi. 3 Jam setelah aku minum obat justru aku semakin meraung-raung kesakitan, aku minum lagi, aku minum lagi, aku minum. Padahal obat-obat ini harus berjeda 6-8 jam. Aku yang ketakutan overdosis akhirnya memutuskan ke UGD lagi. Aku merengek minta rawat inap. Akhirnya aku dirawat. Teman-temanku datang dan panik kenapa bisa sakit sampai masuk rumah sakit. Besoknya, makin banyak teman yang datang. Besoknya lagi semakin banyak. Mereka bertanya, alfu kenapa alfu sakit apa. Aku jawab aku sakit perut nggak bisa pup. Buah-buah dibawa sebanyak yang tak kukira, seperti memindahkan pasar buah ke dalam rumah sakit. Mereka datang dengan spekulasi masing-masing. Mereka menyuruhku makan buah, makan pepaya, makan ini, makan itu, jangan makan ini, jangan makan itu. Aku tak kurang-kurang makan buah, semua makananku dibuat khusus dengan menu tinggi serat. Tapi ke-tidak-mampuan pup adalah hal lain yang menjadi tanda tanya. Jalan terakhir adalah memberi obat pencahar tingkat tinggi yang disertai dengan tanda tangan hitam di atas putih. Aku tanda tangan secara sadar. Prosedur dilakukan. Tak ada pup yang keluar. Aku kesakitan. Dokter kebingungan. Hasil USG normal, hasil rontgen normal. Dokter angkat tangan. Aku keluar rumah sakit. Aku kesakitan.

Senin 15 Oktober, aku memutuskan masuk kuliah karena ada kuis. Semua kira aku sudah sehat. Tapi tidak. Setelah konstipasi selama seminggu, akhirnya aku diare hebat selama 4 hari, dari hari minggu sampai rabu. Aku kepayahan setiap malam. Lemas rasanya hingga kadang tidak kuat berdiri. Aku tidak lari ke UGD lagi. Aku merawat diriku sendiri.

Kamis 18 Oktober, aku bertemu dokter spesialis penyakit dalam-subspesialis gastro di RS Margono timur. Dokter yang fokus ke penyakit perut. Aku menceritakan segala yang aku rasa. Dokter melakukan tindakan colok dubur. Ada bercak darah di sarung tangan yang beliau kenakan. Dokter menginstruksikan tindakan colon in loop dan tes CEA (tes darah untuk penanda adanya tumor/kanker). Di kertas pemeriksaan, tertulis diagnosa sementara: Irritable Bowel Syndrome [YAELAH SAMA AJA INI MAH KAYA YANG AKU CARI DI JURNAL WKWK]. Dokter tidak memberiku obat. Mungkin beliau kira aku hanya sakit ringan.

Jumat 19 Oktober, aku mengalami nyeri tulang rusuk. Rasanya sampai tertusuk-tusuk. Semakin hari semakin hebat. Aku kesusahan jalan. Aku semakin kesakitan. Aku kesulitan bernafas. Aku tidak bisa tertawa, batuk, dan sendawa. Seluruh badanku rasanya remuk. Aku kesulitan tidur. Aku lari ke UGD. Dokter menyarankan opname. Aku menolak karena senin depan ada UTS. Aku minta disuntik antinyeri. Lalu pulang dengan sekantong obat lagi.

Senin 22-30 Oktober aku harus mengikuti serangkaian UTS. Aku hampir tidak pernah belajar. Aku selalu dibuat tidur oleh diazepam. Aku kesulitan beraktivitas. Jalan tak bisa tegak, tidur tak bisa nyenyak. Aku men-dopping 6-8 obat setiap hari. Motivasiku hanya satu, aku harus tetap mengikuti UTS. Aku tidak mau susulan, selain prosedur yang sulit di jurusanku, nilai yang diberikan untuk ujian susulan juga tidak bisa maksimal. Aku harus UTS. Harus.

Sabtu 27 Oktober, aku siap untuk colon in loop. Dua hari sebelum tindakan aku hanya diperbolehkan makan bubur, tahu, dan telur. Semalam sebelum tindakan, aku melakukan kuras lambung dan usus. Semua isi perutku seakan-akan habis. Rasa sakitnya seperti diperas, dipaksa dikeluarkan semua isi perutnya. Sakit, tapi asyik juga sebenarnya karena tidak perlu mengejan untuk buang air besar. Ditinggal bernafas aja sudah otomatis keluar. Aku juga harus puasa bicara karena harus benar-benar steril dari makanan, kotoran, bahkan gas sekalipun.

Lalu bagaimana  colon in loop dilakukan? Apakah sakit? Prosedurnya adalah aku harus siap baik fisik maupun mental. Aku harus yakin bahwa aku ingin melakukan colon in loop. Aku tidur diatas bed yang dilengkapi peralatan yang aku sendiri tidak hafal nama-namanya. Aku miring ke kiri. Aku menarik nafas sepanjang yang aku bisa. Selang irigator dimasukkan melalui anus. Cairan sebanyak 800-1000ml ditumpahkan sampai memenuhi seluruh usus besarku. Perutku sakit, perutku melilit. Aku menarik nafas sepanjang-panjangnya. Usus besarku difoto-rontgen. Prosedur selanjutnya adalah mengeluarkan cairan tersebut. Sekarang usus besarku sudah kosong. Aku tidur lagi di atas bed. Dengan posisi yang sama. Aku menarik nafas sekuat yang kubisa. Selang irigator masuk lagi ke anusku. Dua tabung gas dipompa masuk ke dalam tubuhku sampai memenuhi usus besarku. Perutku kembung berisi angin. Aku tidak boleh kentut sampai prosedur foto-rontgen selesai. Sakit sih sebenarnya tidak, mungkin kurang nyaman saja rasanya. Setelah selesai aku diperbolehkan kentut. Itu adalah kentut terpanjang, terbanyak, dan ter-tidak-bau yang pernah aku lakukan. Colon in loop selesai, tak ada hasil yang bisa dibawa saat itu. Katanya harus menunggu sampai kontrol selanjutnya. Aku pulang. Kecewa.

Masih ada sisa dua hari UTS yang harus aku jalani; senin dan selasa. Selepas selesai, aku sampai menitikkan air mata, hah akhirnya selesai juga ujian kali ini. Selasa sore aku pergi ke bioskop, mungkin satu film bisa memperbaiki psikisku. Setelah itu, aku memutuskan untuk opname lagi. Selasa, 30 Oktober sekitar pukul 9 malam aku lari ke UGD. Dokter jaga yang menanganiku tidak percaya kalau aku benar-benar sakit. Dia kira aku nyeri haid atau nyeri perut biasa. Aku disuruh tes urin lagi. Mungkin dia pikir aku nyeri karena ISK (Infeksi Saluran Kemih) atau semacamnya. YATUHAN AKU SUDAH MUAK DENGAN TES URIN. [Memang berhubungan antara konstipasi dengan ISK karena massa feses tertumpuk di dalam sehingga dapat mendorong kantung kemih sehingga menyebabkan paparan bakteri]. Aku kesal sampai rasanya ingin membakar rumah sakit. Ya kalaupun ada ISK itu wajar, hanya saja aku penasaran kenapa perutku sakit sampai ke tulang-tulang rusuk bahkan naik ke ulu hati. Aku terlantar di UGD. Dokter jaga tersebut baru menginstruksikan boleh opname pukul 1 dini hari. Pihak RS mengatakan ruangan kelas 1, 2, 3 penuh semua. Kalau mau, menunggu di UDG sampai waktu yang tidak ditentukan. Kalau mau membayar lebih, bisa naik kelas ke VIP atau VVIP. Aku sudah bilang ingin opname kenapa prosedurnya dipersulit? Kalau ruangan penuh kenapa tidak bilang dari tadi? Kalau tahu begini kan aku bisa pindah daritadi jam 9, tidak harus menunggu sampai dini hari begini. Aku kesal bukan main. Aku minta segera dicarikan ruangan. Ruangan tersedia. Aku dibawa menggunakan ambulance pukul 2 dini hari. Membelah kota; dari RS Margono timur menuju RS Margono barat. Sekitar pukul 4 pagi, aku tidur di ruanganku sendiri.

Rabu 31 Oktober, aku mulai dirawat di RS Margono barat (sering disebut RS Geriatri). Aku bisa memilih dokterku sendiri. Aku mau dirawat oleh dokter Harno (dokter yang sama ketika aku melakukan colok dubur). Sore hari dokter Harno datang ke ruangan. Tidak seperti dokter-dokter lain yang datang dengan lagak wibawa, tegas, lugas; dokter Harno beda. Beliau datang dengan gayanya yang ramah dan pribadi yang menyenangkan. Hasil colon in loop memang belum keluar, beliau merekomendasikan menunggu dulu hasilnya. Aku menolak, menawarkan opsi untuk endoskopi saja karena perut bagian atasku sakit. Dokter bilang belum begitu perlu, tapi beliau tidak langsung menolak opsiku. Hitam di atas putih dibuat. Kesepakatan didapat. Dokter akhirnya setuju.

Apapun yang akan terjadi esok hari adalah biarlah menjadi rahasia esok hari. Aku sudah setuju untuk melakukan endoskopi atas permintaan sendiri. Ada beberapa orang bilang sakit, ada beberapa yang bilang tidak. Ada tetap pada pendirianku. Sesakit-atau-setidaknyaman prosedur yang akan dilakukan esok hari, aku harus tetap lakukan karena aku ingin tahu apa yang ada di dalam perutku. Sakit endoskopi tidak akan sebanding dengan sakit lebih dari 3 minggu yang aku rasakan. Jadi, aku harus siap.

Kamis 1 November pukul 7 pagi, aku sudah siap di ruang endoskopi. Oh iya, endoskopi adalah prosedur pemeriksaan dengan memasukkan alat dari mulut untuk melihat kondisi kerongkongan, lambung, sampai ke usus 12 jari. Alat yang gunakan dilengkapi dengan kamera diujungnya. Jadi, kita bisa melihat kondisi organ dalam kita secara real melalui layar. Pertama, aku membuka mulut dan disempot lidokain (bius lokal) di ujung telak. Aku telan. Tak kunjung kebas. Disemprot lagi. Lagi. Sampai empat kali dan dokter Harno cuma bilang ke perawat, “tambahin lagi, ini anak agak unik kayanya” sambil senyum. Alat dimasukkan. Pelan-pelan. Aku muntah. Semakin dalam, semakin dalam. Aku muntah. Cairan lambungku keluar. Cairan empeduku keluar. Aku bahkan sampe ingin memukul tangan dokter. Perawat mengusap usap kepalaku. Memegangi tanganku. Keringat bercucuran di tangan-tanganku. Aku panik. Dokter tahu aku panik. Endoskopi belum juga selesai. Aku muntah sejadi-jadiku. Perawat menyuruhku mengambil nafas panjang. Sejenak aku rileks. Aku atur nafasku dan tutup mataku. Aku diam. Dokter malah usil sambil berkata “Loh kok diam, ini tidur atau pingsan?” Aku ingin ketawa sambil menendang dokter. Ingin berkata “Ih enggak aku masih bangun dokter tuh iseng” tapi tidak bisa, mulutku masih terkunci oleh alat endoskopi. Dokter memasukkan alat biopsi, semacam penjepit dan gunting. Jaringan lambungku dipotong. Aku mengerang kesakitan.

Alat endoskopi ditarik keluar. Aku masih muntah-muntah. Aku berkata “Ih lambungku diambil rasanya kaya dipancing.” Dokter tertawa. Beliau menjelaskan ada luka dari kerongkongan sampai ke lambung. Ditambah hasil colon in loop, juga ada luka di usus besar. Sebanyak itu ternyata luka yang ada di dalam tubuhku. Darimana luka itu berasal? Apakah karena makan? Apakah aku tidak menjaga kesehatan? Apakah aku makan sembarangan? Apakah karena sering minum kopi? Tidak.



Saturday, May 27, 2017

Tidak Ada yang Sehangat Nasi Masakan Ibu Pukul Dua Pagi

Ini tahun kedua saya. Merayakan sahur di kota yang letaknya puluhan kilometer dari segala damai yang disebut rumah. Yang akan mengulang tiga puluh hari segala gempita adzan pertanda puasa harus segera dibuka. Siapa yang tidak bersedih jika harus jauh dari keluarga saat bulan Ramadhan tiba? Saya pikir tidak ada. Pun kalau ada, ia hanyalah berpura-pura untuk telihat baik-baik saja. Mungkin sering sekali kita mendengar slentingan-slentingan seperti; Ah udah besar ngapain sedih? Dibiasain dong biar mandiri. Ih banci banget cowok kok sedih. Cengeng dah lu dasar cewek.

Sebentar. Saya pikir, sedih itu adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada batasan dan takaran untuk keduanya. Tidak ada aturan bahwa kesedihan hanya milik perempuan dan kemarahan hanya milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa perasaan hanya milik perempuan dan logika hanya milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa air mata hanya milik perempuan dan teriakan hanya milik laki-laki. Kalau kau masih berfikir seperti itu, segeralah ambil air wudhu dan basuh segala kedangkalanmu.

Sedih itu ada karena kita merasa memiliki. Memiliki keluarga, menganggapnya sebagai rumah satu-satunya dimana kita bisa melepas segala penat dan tak perlu berpura-pura untuk menjadi kuat. Mandiri bukan berarti tidak boleh sedih ketika jauh dari orang tua. Tidak ada korelasi antar keduanya. Sebab mandiri dan tidak-boleh-sedih adalah dua hal yang terpisah. Jika kau merasa sedih ketika jauh dari rumah, berarti kau memang dibesarkan dari keluarga yang benar-benar hangat dan penuh kedamaian. Keluarga yang penuh kasih dan bertebar sayang ketika kau dekat. Keluarga yang berlimpah rasa percaya dan sejuta doa ketika kau jauh darinya.

Pertanyaannya adalah, wajarkah jika kita merasa sedih ketika adzan isya bergema di kota yang letaknya ribuan hasta dari lengan ibu? Lalu kita melangkahkan kaki ke masjid yang bukan masjid sebelah rumah. Mengangkat tangan dan mengamitkan niat untuk 11 atau 23 rakaat. Berdoa agar bangun pukul tiga sebab tidak ada jaminan untuk segala tidur-bangun-dan sahurmu esok hari. Wajarkah jika kita merasa sedih ketika adzan shubuh bersua di kota yang letaknya jutaan depa dari jemari ayah? Lalu kita terdiam dan menjauhkan piring dari warung ramesan. Piring yang berisi nasi dan lauk pauk yang kita ambil sesuka hati. Yang dibandrol 8ribu untuk nasi ayam dan 6ribu untuk nasi telor. Yang hangat tapi tidak pernah sehangat masakan ibu untuk sahur anak-anaknya.


Saya pikir semua terlihat baik-baik saja ketika jam tiga pagi kita berkelana mencari makan, tertawa bersama kawan, bercanda tanpa tujuan, dan menunggu waktu imsya di warung ramesan. Tanpa pernah berfikir sedang makan apa ayah dan ibu di rumah? Apakah mereka kesepian tanpa saya? Atau justru baik-baik saja? Di rumah, saya sering mengeluh karena kantuk yang menggelayuti ujung-ujung lakrima. Padahal ibu sudah bangun dari pukul dua pagi untuk menanak nasi dan merapal doa untuk sang Illahi. Tetapi saya sering bangun pukul empat ketika semua sudah tertata rapi. Terkadang saya suka mengeluh jika masakannya kurang asin, terlalu pedas, atau agak gosong. Padahal bu, tidak ada yang sehangat masakanmu di kota rantau ini. Yang dibalur kantuk dan sekantung ikhlas demi perut anak-anaknya. Yang tak pernah kecewa meski kita terlalu banyak meminta. Yang selalu ada dalam perputaran sahur dan buka meski tak puasa. Yang mendekap erat segala keluh lapar dan rasa dahaga.



Purwokerto, 27 Mei 2017.
Sekian kilometer dari Yogyakarta.

Wednesday, October 19, 2016

Tenaga Kesehatan, Mengabdilah.

Ada yang sibuk berdebat dan berdiskusi bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ada yang sibuk mengkritik kinerja para birokrat dan menghujatnya mati-matian. Ada yang hari demi hari hanya berteriak lantang dengan dalih berjuang. Kita selalu dipenuhi dengan polusi wacana, semangat bergerak yang menggebu-gebu, sampai tidak tahu apa yang sebenarnya kita lakukan. Padahal, peduli terhadap kesehatan masyarakat dan memberikan akses pengobatan gratis saja sudah lebih dari cukup.

Pernah saya membaca tulisan dari seorang dokter spesialisasi bedah, dr Lie Dharmawan namanya. Beliau berkata, “Kalau kamu menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras.” Kata-kata beliau selalu saya abadikan dalam memori dan ingatan saya. Sebait petuah yang membuat saya berambisi ingin menjadi dokter dan mengabdi untuk masyarakat hingga detik ini.

Tetapi saya sadar, semua pilar tenaga kesehatan memegang peranannya masing-masing dalam kontribusinya di masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana saling membantu antara  disiplin ilmu satu dengan yang lainnya. Sebagai tenaga medis, mengabdilah sebaik-baiknya untuk masyarakat. Maka, tidak ada lagi Ayah yang bersedih sebab tidak sanggup membawa keluarganya ke rumah sakit. Maka, tidak ada lagi Ibu yang menangis sebab obat-obatan mahal ditebus, sedang anaknya panas dan menangis berhari. Maka, tidak ada lagi anak yang kebingungan sebab orang tuanya jatuh sakit dan tidak tahu harus berbuat apa.

Thursday, July 7, 2016

Selamat Menua, Beler.

Saya melaju kencang 90 km/jam mengendarai kuda jepang beroda dua. Menembus sudut kota dari Kedai Kopi di bilangan Abubakar Ali, Kotabaru menuju sepetak tanah di seberang Candi Prambanan. Yogyakarta sedang sepi-sepinya dini hari ini. Sepertinya semua sedang terlelap dalam hingar bingar ketupat dan opor ayam. Sepaket makanan yang tidak pernah alpa dari sajian hari raya.

Hari ini teman saya berulang tahun. Beruntung sekali dia, merayakan hari kelahiran dalam suasana lebaran. Sebenarnya saya ingin membuatkannya sepenggal kalimat yang berisi ucapan selamat. Tetapi dia bilang, dia tidak suka dengan tulisan-tulisan saya. Dia tidak suka dengan rangkaian kata-kata saya yang terkesan mengada-ada. Dia lebih suka ucapan apa adanya yang tidak perlu dipikir lama-lama. Jadi, diam-diam saja ya, tidak usah beritahu dia jika saya tetap membuatnya di blog pribadi saya.



Teruntuk,
Lelaki yang hari ini genap berusia 21 tahun.

Hai, selamat pagi. Sebenarnya saya tidak punya inspirasi ingin menulis apa, bahkan sampai pukul 3 pagi tulisan ini masih carut marut keadaannya, jadi saya memilih menutup laptop saya dan pergi tidur setelahnya. Asal kau tahu, tulisan ini ditulis di samping kolam ikan, sebelah taman, dengan semangkuk bakso di kanan, dan secangkir kopi hitam di tegukan. Jadi maaf jika sedikit asal-asalan he he. Lalu, apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi hari seperti ini? Saya berani bertaruh kau masih tidur meringkuk, di bawah selimut, dengan celana pendek kesukaanmu tentunya.

Mari merotasi mundur waktu dua minggu yang lalu. Sore itu hujan deras mengguyur seluruh kota Purwokerto. Saya sedang gabut-gabutnya di rumah kontrakan, lalu kau mengirimi pesan mengajak hujan-hujan. Saya mengiyakan. Tetapi gagal karena hujan buru-buru dikebiri oleh langit. Sembunyi, sengaja berkonspirasi agar kita duduk manis saja menikmati mie ayam di deretan Gor Satria. Perkenalan sore itu, lucu sekali rasanya.

Saya selalu suka setiap kali kau bercerita tentang hal hal yang menurutku baru. Menarik rasanya. Lagipula, kita banyak sekali kesamaan. Tentang perjalanan dan pendakian. Tentang teman, tentang Tuhan, tentang pemikiran. Bedanya, kau sangat rapi, sedang saya tidak pernah memikirkan penampilan. Bedanya, kau suka teh, sedang saya sangat maniak kopi. Bedanya, kau suka hal berbau ilmiah, sedang saya menyukai sastra dan bualan-bualannya.

Ah, lupakan basa basi tidak penting di atas. Saya hanya ingin mengucapkan selamat atas hadirnya tujuh juli, atas hadirnya hari bahagiamu yang tidak bisa saya hadiri. Ucapan ini memang hanya sebatas kata-kata, tetapi doa ikhlas saya tidak pernah mengada-ada. Semoga semesta mengaminkan setiap harapan baikmu. Harapan yang tumbuh dari jantung bumi, dan jatuh kembali di pangkuan Illahi.

Teruntuk lelaki yang hari ini genap berusia 21 tahun, semoga selalu diliputi perasaan bahagia. Semoga selalu dipermudah setiap jalannya dalam meraih cita-cita. Semoga selalu dilancarkan setiap jengkal rejeki yang ada. Semoga jika sudah meninggi kelak, tidak pernah lupa jalan pulang ke rumah orang tua.

Maaf jka tidak banyak yang bisa saya doakan untukmu. Tetapi ketahuilah bahwa saya ikhlas mendoakan untuk setiap kebaikanmu.

Pada waktunya nanti, kita akan berjalan dengan prinsip masing-masing. Mencari kesepakatan, menuju jalan dan kepercayaan yang kita punya. Semoga pertemanan kita tidak saling menerakakan. Tidak saling baku hantam dan berkhianat di punggung kawan. Satu hal, kita percaya konsep bahwa tidak ada yang namanya teman, sebab dua manusia saling berhubungan atas dasar kepentingan tertentu. Maka datang dan pergi adalah hal yang wajar. Iya, kan? 




Ditulis dengan sadar di kota Yogyakarta, tepat pada hari kelahiran teman saya bernama Beler. Yang sedang merayakan gegap gempita bahagia dalam hitungan ke 21. Semoga panjang umur!

Wednesday, July 6, 2016

Selamat Hari Raya, Kotaku.

Riuh gema takbir memenuhi setiap inchi di semesta kepala. Gemercik kembang api dan lantunan ayat Tuhan berputar-putar di sudut kota. Yogyakarta seolah sedang merayakan malam kemenangan, malam penuh kebahagiaan. Anak-anak sibuk bermain petasan, yang muda sibuk mengitari jalanan, dan orang dewasa sibuk menyiapkan makanan. Semua tumpah ruah dalam setiap depa jalan perkampungan.

Inilah kotaku. Kota yang selalu hangat menyapa setiap kepulangan anak-anaknya. Menyapa para perantau yang selalu disibukkan dengan ambisi dan cita-cita. Menyapa para kapitalis yang kerap kali menjadi penjilat di luaran sana. Menyapa para intelek yang terkadang lupa dengan kerja keras bapak ibunya di rumah. Tapi Yogyakarta tidak pernah tamat berkhianat. Yogyakarta tidak pernah lupa ataupun ingkar janji. Yogyakarta selalu menjadi rumah untuk setiap kepulangan dan kepergian. Nyaman untuk ditinggali. Ya, inilah kota yang turut mendewasakanku sejak 19 tahun silam.

Kota ini banyak mengajarkan hal-hal yang sama sekali tidak saya temui di bangku sekolahan. Sewaktu kecil dulu, saya pernah jatuh dari sepeda, tetapi Yogyakarta mengajarkan saya bahwa setiap luka tidak harus berakhir dengan air mata. Sewaktu saya menginjak remaja, saya pernah jatuh cinta lalu luka sejadi-jadinya, tetapi Yogyakarta menawarkan peluk dan mengusap semua sedih saya. Sewaktu saya semakin dewasa, saya harus bercerai dengan rumah dan meninggalkan ayah ibu, setelah sebegitu nyaman dengan segala yang ada. Kali ini, Yogyakarta mengajarkan kepada saya bahwa kemana pun saya pergi, kota inilah yang selalu menjadi rumah, menidurkan lelah, dan mencurahkan segala keluh kesah. Sampai kapan pun.

Hari ini saya pulang, Yah. Hari ini saya pulang, Bu. Setelah hampir seluruh sahur dan buka saya berulang setiap hari tanpa keluarga. Saya pulang, Yah. Saya pulang, Bu. Untuk melantunkan takbir, merayakan malam kemenangan bersama-sama. Berbagi cerita dan tertawa bahagia. Melupakan duka dan segala nestapa. Memeluk erat setiap cinta Ibu dan kasih Ayah yang tidak pernah lelah untuk bekerja. Pagi, malam, hingga pagi lagi. Maafkan saya, Yah. Maafkan saya, Bu. Selama ini saya hanya bisa merengek, meminta, dan membuat kecewa. Saya tidak akan berjanji untuk menjadi bla bla bla. Tetapi satu hal, semoga Ayah dan Ibu tetap panjang umur dan selalu dilimpahi bahagia sampai saya bisa pulang membawa apa yang bisa saya persembahkan kelak.

Hari ini, kebahagiaan mendekap satu sama lain. Dalam riuh gema semesta takbir. Selamat hari Raya Idul Fitri. Selamat menikmati waktu sebahagia-bahagianya bersama keluarga.



Dalam dekap kota Yogyakarta,


Ditulis dengan sadar pada 1 Syawal 1437 H.

Monday, March 28, 2016

Reuni Puspala


Setiap Sabtu selalu sama, tiap sudutnya penuh dengan kendaraan yang tumpah ruah di sudut jalan. Mulai dari roda dua hingga roda delapan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua. Semua bersuka cita merayakan akhir pekan, setelah lima hari bergelut dengan urusan masing-masing.

Yogyakarta, kota yang selalu padat, penuh dengan hiruk pikuk manusia. Tidak harus menunggu akhir pekan atau libur semesteran, bahkan tiap pagi dan sore selepas pulang kerja di sepanjang jalan solo sudah sesak, penuh orang-orang berjubelan.

Di kota yang penuh dengan kebahagiaan ini, terajut masa putih abu yang tak sekedar abu-abu. Masa putih abu yang kenangannya tidak bisa dibeli dengan rupiah maupun poundsterling. Masa putih abu yang bermula di Kotagede, di situ pula saya dan teman-teman secara kesadaran penuh masuk dalam lingkaran keluarga yang bernama “PUSPALA”. Puspanegara Pecinta Alam, lebih dari sekedar komunitas pecinta alam, sebab di sini kami belajar banyak hal. Tentang semua hal yang alpa dan segala derivatnya. Tentang segala hal yang menyenangkan, sangat menyenangkan, dan menyenangkan sekali. Sebab, tidak ada yang namanya kesedihan di sini.

Sabtu pekan lalu, tepat 26 Maret 2016, semua pulang ke daratan setelah berlayar dari perairannya masing-masing. Kami memang pulang dengan cerita sukses masing-masing, tapi segala memori dan kenangannya tetap sama, tetap satu, tetap PUSPALA.


Persiapan panitia sehari sebelum acara.

Kepulangan alumni dari Jakarta.

Acara yang diadakan di SMA Negeri 5 Yogyakarta di deretan Nyi Pembayun 39 Kotagede ini dihadiri lebih dari 100 orang, sungguh melebihi target yang ditetapkan panitia oleh sebelumnya yaitu 66 orang. Mulai dari angkatan tahun 1983 dari awal berdirinya PUSPALA hingga tahun 2015 yang baru lulus kemarin. Acara ini dimulai pada pukul 16.00 Waktu Indonesia Bagian Puspala. Begitu memasuki gerbang sekolah, masing-masing dari kami akan disambut oleh salam hangat dan sapaan manis dari adik-adik puspala yang masih duduk di bangku sekolah. Duduk di meja registrasi, mengisi daftar hadir dan mengambil kaos reuni yang sudah dipesan sebelumnya.

Selepas mengurus registrasi dan segala tetek bengeknya di lobi depan, kami melangkah menuju lapangan tengah, lalu belok ke kanan menuju lapangan basket. Di antara lapangan tengah dengan lapangan basket terdapat lorong seperti goa yang berisikan foto-foto kenangan dari tahun 1983 hingga sekarang. Berkelap-kelip lampu ornamen merah kuning hijau. Di dekat stand makanan juga terdapat stand foto dengan aneka properti yang ada. Untuk memudahkan mengenali satu demi satu, kami memakai cocard yang sudah diberikan oleh panitia.

Stand foto yang disediakan oleh panitia.


Berbagai angkatan melebur menjadi satu.

Suasana sore hari sebelum acara dimulai.

Setiap dari kami melepas pangkat, melepas usia, melepas segala yang melekat dan menjadi muda kembali. Semua serasa seusia. Masing-masing dari kami menjadi pribadi yang menyenangkan. Duduk melingkar di meja depan panggung, menceritakan kisah dengan gaya khas masing-masing. Canda dan tawa kami menggema hingga ke langit-langit.

Deru adzan maghrib memecah hiruk pikuk petang itu. Kami bergegas menuju masjid untuk menjalankan ibadah berjamaah. Selepas itu, kami kembali ke tempat duduk semula. Suasana begitu syahdu petang itu. Menikmati berbagai hidangan yang telah disediakan oleh panitia sambil ditemani alunan akustik yang mendayu-dayu sendu. Selanjutnya, ada acara games yang dipandu oleh Fabri Hidayatullah. Games ini menarik antusias para hadirin, semua tertawa dan bergoyang-goyang melakukan senam. Tidak pandang usia, semua berkumpul menjadi satu lingkaran.


Acara selanjutnya, ada sambutan dan penyerahan pembangunan wall-climbing secara simbolis dari puspala kepada pihak sekolah. Kemudian dilanjutkan oleh sharing-sharing cerita dari senior PUSPALA. Kami semua mendengarkan dengan antusias. Semua terasa hangat, terasa dekat, terasa menyatu. Malam itu.

Penyerahan secara simbolis kepada pihak sekolah.

Sharing cerita dari para senior.

Semangat puspala tidak pernah mengenal usia. Tua, tapi tak renta.


Friday, February 26, 2016

Pada Senyummu yang Kesembilanbelas

Pada senyummu yang ke-sembilan-belas, mana mungkin aku tidak jatuh, lalu mencintai. Mencintai kedua pelupuk yang menghamparkan langit bagi segala yang alpa. Ingin rasanya bersembunyi dan menggelayut manja di dalamnya. Bola mata yang damainya seluas jagat raya, Ah! Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta.

Denganmu, cinta tak perlu basa basi. Cinta bukanlah rutinitas ucapan salam pagi seperti petugas Indomaret. Cinta bukanlah melapor hendak kemana dan pulang jam berapa seperti satpam perumahan. Cinta bukanlah larangan bermain dengan siapa seperti kubu geng anak TK. Cinta bukanlah menyampah kotak masuk seperti mama minta pulsa. Tapi cinta kita memang sederhana, bukan? Tak perlu basa basi.

Tak perlu kiranya aku menghujani tulisan ini dengan seonggok doa. Sebab ini bukan sebait ayat pada lembar-lembar alkitab, begelimang doa dan harapan baik. Tetapi, bukan berarti aku tidak berdoa untuk kebaikanmu, tanpa kau minta pun pasti sudah kulakukan ritual itu setiap pagi. Kau tahu itu, sayang.

Pada senyummu yang ke-sembilan-belas, mana mungkin aku tidak jatuh, lalu mencintai. Mencintai yang hari ini sedang berulang tahun. Selamat menua, selamat berkarya. Semesta di pihakmu, selalu. Doaku, di detak nadimu, setiap waktu.

Aku mencintaimu, sayang. Sepanjang usia Tuhan.

Teruntuk,
Ahmad Zainal Abidin.