Wednesday, October 19, 2016

Tenaga Kesehatan, Mengabdilah.

Ada yang sibuk berdebat dan berdiskusi bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ada yang sibuk mengkritik kinerja para birokrat dan menghujatnya mati-matian. Ada yang hari demi hari hanya berteriak lantang dengan dalih berjuang. Kita selalu dipenuhi dengan polusi wacana, semangat bergerak yang menggebu-gebu, sampai tidak tahu apa yang sebenarnya kita lakukan. Padahal, peduli terhadap kesehatan masyarakat dan memberikan akses pengobatan gratis saja sudah lebih dari cukup.

Pernah saya membaca tulisan dari seorang dokter spesialisasi bedah, dr Lie Dharmawan namanya. Beliau berkata, “Kalau kamu menjadi dokter, kamu jangan memeras orang miskin. Mereka akan membayar, tapi mereka akan menangis karena ketika pulang mereka tak punya uang untuk membeli beras.” Kata-kata beliau selalu saya abadikan dalam memori dan ingatan saya. Sebait petuah yang membuat saya berambisi ingin menjadi dokter dan mengabdi untuk masyarakat hingga detik ini.

Tetapi saya sadar, semua pilar tenaga kesehatan memegang peranannya masing-masing dalam kontribusinya di masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana saling membantu antara  disiplin ilmu satu dengan yang lainnya. Sebagai tenaga medis, mengabdilah sebaik-baiknya untuk masyarakat. Maka, tidak ada lagi Ayah yang bersedih sebab tidak sanggup membawa keluarganya ke rumah sakit. Maka, tidak ada lagi Ibu yang menangis sebab obat-obatan mahal ditebus, sedang anaknya panas dan menangis berhari. Maka, tidak ada lagi anak yang kebingungan sebab orang tuanya jatuh sakit dan tidak tahu harus berbuat apa.

Thursday, July 7, 2016

Selamat Menua, Beler.

Saya melaju kencang 90 km/jam mengendarai kuda jepang beroda dua. Menembus sudut kota dari Kedai Kopi di bilangan Abubakar Ali, Kotabaru menuju sepetak tanah di seberang Candi Prambanan. Yogyakarta sedang sepi-sepinya dini hari ini. Sepertinya semua sedang terlelap dalam hingar bingar ketupat dan opor ayam. Sepaket makanan yang tidak pernah alpa dari sajian hari raya.

Hari ini teman saya berulang tahun. Beruntung sekali dia, merayakan hari kelahiran dalam suasana lebaran. Sebenarnya saya ingin membuatkannya sepenggal kalimat yang berisi ucapan selamat. Tetapi dia bilang, dia tidak suka dengan tulisan-tulisan saya. Dia tidak suka dengan rangkaian kata-kata saya yang terkesan mengada-ada. Dia lebih suka ucapan apa adanya yang tidak perlu dipikir lama-lama. Jadi, diam-diam saja ya, tidak usah beritahu dia jika saya tetap membuatnya di blog pribadi saya.



Teruntuk,
Lelaki yang hari ini genap berusia 21 tahun.

Hai, selamat pagi. Sebenarnya saya tidak punya inspirasi ingin menulis apa, bahkan sampai pukul 3 pagi tulisan ini masih carut marut keadaannya, jadi saya memilih menutup laptop saya dan pergi tidur setelahnya. Asal kau tahu, tulisan ini ditulis di samping kolam ikan, sebelah taman, dengan semangkuk bakso di kanan, dan secangkir kopi hitam di tegukan. Jadi maaf jika sedikit asal-asalan he he. Lalu, apa yang sedang kau lakukan pagi-pagi hari seperti ini? Saya berani bertaruh kau masih tidur meringkuk, di bawah selimut, dengan celana pendek kesukaanmu tentunya.

Mari merotasi mundur waktu dua minggu yang lalu. Sore itu hujan deras mengguyur seluruh kota Purwokerto. Saya sedang gabut-gabutnya di rumah kontrakan, lalu kau mengirimi pesan mengajak hujan-hujan. Saya mengiyakan. Tetapi gagal karena hujan buru-buru dikebiri oleh langit. Sembunyi, sengaja berkonspirasi agar kita duduk manis saja menikmati mie ayam di deretan Gor Satria. Perkenalan sore itu, lucu sekali rasanya.

Saya selalu suka setiap kali kau bercerita tentang hal hal yang menurutku baru. Menarik rasanya. Lagipula, kita banyak sekali kesamaan. Tentang perjalanan dan pendakian. Tentang teman, tentang Tuhan, tentang pemikiran. Bedanya, kau sangat rapi, sedang saya tidak pernah memikirkan penampilan. Bedanya, kau suka teh, sedang saya sangat maniak kopi. Bedanya, kau suka hal berbau ilmiah, sedang saya menyukai sastra dan bualan-bualannya.

Ah, lupakan basa basi tidak penting di atas. Saya hanya ingin mengucapkan selamat atas hadirnya tujuh juli, atas hadirnya hari bahagiamu yang tidak bisa saya hadiri. Ucapan ini memang hanya sebatas kata-kata, tetapi doa ikhlas saya tidak pernah mengada-ada. Semoga semesta mengaminkan setiap harapan baikmu. Harapan yang tumbuh dari jantung bumi, dan jatuh kembali di pangkuan Illahi.

Teruntuk lelaki yang hari ini genap berusia 21 tahun, semoga selalu diliputi perasaan bahagia. Semoga selalu dipermudah setiap jalannya dalam meraih cita-cita. Semoga selalu dilancarkan setiap jengkal rejeki yang ada. Semoga jika sudah meninggi kelak, tidak pernah lupa jalan pulang ke rumah orang tua.

Maaf jka tidak banyak yang bisa saya doakan untukmu. Tetapi ketahuilah bahwa saya ikhlas mendoakan untuk setiap kebaikanmu.

Pada waktunya nanti, kita akan berjalan dengan prinsip masing-masing. Mencari kesepakatan, menuju jalan dan kepercayaan yang kita punya. Semoga pertemanan kita tidak saling menerakakan. Tidak saling baku hantam dan berkhianat di punggung kawan. Satu hal, kita percaya konsep bahwa tidak ada yang namanya teman, sebab dua manusia saling berhubungan atas dasar kepentingan tertentu. Maka datang dan pergi adalah hal yang wajar. Iya, kan? 




Ditulis dengan sadar di kota Yogyakarta, tepat pada hari kelahiran teman saya bernama Beler. Yang sedang merayakan gegap gempita bahagia dalam hitungan ke 21. Semoga panjang umur!

Wednesday, July 6, 2016

Selamat Hari Raya, Kotaku.

Riuh gema takbir memenuhi setiap inchi di semesta kepala. Gemercik kembang api dan lantunan ayat Tuhan berputar-putar di sudut kota. Yogyakarta seolah sedang merayakan malam kemenangan, malam penuh kebahagiaan. Anak-anak sibuk bermain petasan, yang muda sibuk mengitari jalanan, dan orang dewasa sibuk menyiapkan makanan. Semua tumpah ruah dalam setiap depa jalan perkampungan.

Inilah kotaku. Kota yang selalu hangat menyapa setiap kepulangan anak-anaknya. Menyapa para perantau yang selalu disibukkan dengan ambisi dan cita-cita. Menyapa para kapitalis yang kerap kali menjadi penjilat di luaran sana. Menyapa para intelek yang terkadang lupa dengan kerja keras bapak ibunya di rumah. Tapi Yogyakarta tidak pernah tamat berkhianat. Yogyakarta tidak pernah lupa ataupun ingkar janji. Yogyakarta selalu menjadi rumah untuk setiap kepulangan dan kepergian. Nyaman untuk ditinggali. Ya, inilah kota yang turut mendewasakanku sejak 19 tahun silam.

Kota ini banyak mengajarkan hal-hal yang sama sekali tidak saya temui di bangku sekolahan. Sewaktu kecil dulu, saya pernah jatuh dari sepeda, tetapi Yogyakarta mengajarkan saya bahwa setiap luka tidak harus berakhir dengan air mata. Sewaktu saya menginjak remaja, saya pernah jatuh cinta lalu luka sejadi-jadinya, tetapi Yogyakarta menawarkan peluk dan mengusap semua sedih saya. Sewaktu saya semakin dewasa, saya harus bercerai dengan rumah dan meninggalkan ayah ibu, setelah sebegitu nyaman dengan segala yang ada. Kali ini, Yogyakarta mengajarkan kepada saya bahwa kemana pun saya pergi, kota inilah yang selalu menjadi rumah, menidurkan lelah, dan mencurahkan segala keluh kesah. Sampai kapan pun.

Hari ini saya pulang, Yah. Hari ini saya pulang, Bu. Setelah hampir seluruh sahur dan buka saya berulang setiap hari tanpa keluarga. Saya pulang, Yah. Saya pulang, Bu. Untuk melantunkan takbir, merayakan malam kemenangan bersama-sama. Berbagi cerita dan tertawa bahagia. Melupakan duka dan segala nestapa. Memeluk erat setiap cinta Ibu dan kasih Ayah yang tidak pernah lelah untuk bekerja. Pagi, malam, hingga pagi lagi. Maafkan saya, Yah. Maafkan saya, Bu. Selama ini saya hanya bisa merengek, meminta, dan membuat kecewa. Saya tidak akan berjanji untuk menjadi bla bla bla. Tetapi satu hal, semoga Ayah dan Ibu tetap panjang umur dan selalu dilimpahi bahagia sampai saya bisa pulang membawa apa yang bisa saya persembahkan kelak.

Hari ini, kebahagiaan mendekap satu sama lain. Dalam riuh gema semesta takbir. Selamat hari Raya Idul Fitri. Selamat menikmati waktu sebahagia-bahagianya bersama keluarga.



Dalam dekap kota Yogyakarta,


Ditulis dengan sadar pada 1 Syawal 1437 H.

Monday, March 28, 2016

Reuni Puspala


Setiap Sabtu selalu sama, tiap sudutnya penuh dengan kendaraan yang tumpah ruah di sudut jalan. Mulai dari roda dua hingga roda delapan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua. Semua bersuka cita merayakan akhir pekan, setelah lima hari bergelut dengan urusan masing-masing.

Yogyakarta, kota yang selalu padat, penuh dengan hiruk pikuk manusia. Tidak harus menunggu akhir pekan atau libur semesteran, bahkan tiap pagi dan sore selepas pulang kerja di sepanjang jalan solo sudah sesak, penuh orang-orang berjubelan.

Di kota yang penuh dengan kebahagiaan ini, terajut masa putih abu yang tak sekedar abu-abu. Masa putih abu yang kenangannya tidak bisa dibeli dengan rupiah maupun poundsterling. Masa putih abu yang bermula di Kotagede, di situ pula saya dan teman-teman secara kesadaran penuh masuk dalam lingkaran keluarga yang bernama “PUSPALA”. Puspanegara Pecinta Alam, lebih dari sekedar komunitas pecinta alam, sebab di sini kami belajar banyak hal. Tentang semua hal yang alpa dan segala derivatnya. Tentang segala hal yang menyenangkan, sangat menyenangkan, dan menyenangkan sekali. Sebab, tidak ada yang namanya kesedihan di sini.

Sabtu pekan lalu, tepat 26 Maret 2016, semua pulang ke daratan setelah berlayar dari perairannya masing-masing. Kami memang pulang dengan cerita sukses masing-masing, tapi segala memori dan kenangannya tetap sama, tetap satu, tetap PUSPALA.


Persiapan panitia sehari sebelum acara.

Kepulangan alumni dari Jakarta.

Acara yang diadakan di SMA Negeri 5 Yogyakarta di deretan Nyi Pembayun 39 Kotagede ini dihadiri lebih dari 100 orang, sungguh melebihi target yang ditetapkan panitia oleh sebelumnya yaitu 66 orang. Mulai dari angkatan tahun 1983 dari awal berdirinya PUSPALA hingga tahun 2015 yang baru lulus kemarin. Acara ini dimulai pada pukul 16.00 Waktu Indonesia Bagian Puspala. Begitu memasuki gerbang sekolah, masing-masing dari kami akan disambut oleh salam hangat dan sapaan manis dari adik-adik puspala yang masih duduk di bangku sekolah. Duduk di meja registrasi, mengisi daftar hadir dan mengambil kaos reuni yang sudah dipesan sebelumnya.

Selepas mengurus registrasi dan segala tetek bengeknya di lobi depan, kami melangkah menuju lapangan tengah, lalu belok ke kanan menuju lapangan basket. Di antara lapangan tengah dengan lapangan basket terdapat lorong seperti goa yang berisikan foto-foto kenangan dari tahun 1983 hingga sekarang. Berkelap-kelip lampu ornamen merah kuning hijau. Di dekat stand makanan juga terdapat stand foto dengan aneka properti yang ada. Untuk memudahkan mengenali satu demi satu, kami memakai cocard yang sudah diberikan oleh panitia.

Stand foto yang disediakan oleh panitia.


Berbagai angkatan melebur menjadi satu.

Suasana sore hari sebelum acara dimulai.

Setiap dari kami melepas pangkat, melepas usia, melepas segala yang melekat dan menjadi muda kembali. Semua serasa seusia. Masing-masing dari kami menjadi pribadi yang menyenangkan. Duduk melingkar di meja depan panggung, menceritakan kisah dengan gaya khas masing-masing. Canda dan tawa kami menggema hingga ke langit-langit.

Deru adzan maghrib memecah hiruk pikuk petang itu. Kami bergegas menuju masjid untuk menjalankan ibadah berjamaah. Selepas itu, kami kembali ke tempat duduk semula. Suasana begitu syahdu petang itu. Menikmati berbagai hidangan yang telah disediakan oleh panitia sambil ditemani alunan akustik yang mendayu-dayu sendu. Selanjutnya, ada acara games yang dipandu oleh Fabri Hidayatullah. Games ini menarik antusias para hadirin, semua tertawa dan bergoyang-goyang melakukan senam. Tidak pandang usia, semua berkumpul menjadi satu lingkaran.


Acara selanjutnya, ada sambutan dan penyerahan pembangunan wall-climbing secara simbolis dari puspala kepada pihak sekolah. Kemudian dilanjutkan oleh sharing-sharing cerita dari senior PUSPALA. Kami semua mendengarkan dengan antusias. Semua terasa hangat, terasa dekat, terasa menyatu. Malam itu.

Penyerahan secara simbolis kepada pihak sekolah.

Sharing cerita dari para senior.

Semangat puspala tidak pernah mengenal usia. Tua, tapi tak renta.


Friday, February 26, 2016

Pada Senyummu yang Kesembilanbelas

Pada senyummu yang ke-sembilan-belas, mana mungkin aku tidak jatuh, lalu mencintai. Mencintai kedua pelupuk yang menghamparkan langit bagi segala yang alpa. Ingin rasanya bersembunyi dan menggelayut manja di dalamnya. Bola mata yang damainya seluas jagat raya, Ah! Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta.

Denganmu, cinta tak perlu basa basi. Cinta bukanlah rutinitas ucapan salam pagi seperti petugas Indomaret. Cinta bukanlah melapor hendak kemana dan pulang jam berapa seperti satpam perumahan. Cinta bukanlah larangan bermain dengan siapa seperti kubu geng anak TK. Cinta bukanlah menyampah kotak masuk seperti mama minta pulsa. Tapi cinta kita memang sederhana, bukan? Tak perlu basa basi.

Tak perlu kiranya aku menghujani tulisan ini dengan seonggok doa. Sebab ini bukan sebait ayat pada lembar-lembar alkitab, begelimang doa dan harapan baik. Tetapi, bukan berarti aku tidak berdoa untuk kebaikanmu, tanpa kau minta pun pasti sudah kulakukan ritual itu setiap pagi. Kau tahu itu, sayang.

Pada senyummu yang ke-sembilan-belas, mana mungkin aku tidak jatuh, lalu mencintai. Mencintai yang hari ini sedang berulang tahun. Selamat menua, selamat berkarya. Semesta di pihakmu, selalu. Doaku, di detak nadimu, setiap waktu.

Aku mencintaimu, sayang. Sepanjang usia Tuhan.

Teruntuk,
Ahmad Zainal Abidin.