Hidup itu lucu, ya?
Saya pernah menangis kencang.
Saya pernah jatuh dan sempat kehilangan penopang.
Saya tidak mau makan.
Saya kehilangan hasrat untuk bertemu teman.
Saya hampir kehilangan harapan.
Saya terlihat menyedihkan.
Saat itu.
Karena tiga kali ditolak kampus biru, yang notabene kampus terbaik; yang terletak di kota pelajar ini.
Alasannya mungkin terdengar sangat konyol.
Kemudian,
untuk keempat kalinya saya mendaftar.
Hanya iseng mungkin.
Tidak belajar dan tidak berharap diterima;
setelah tiga kali ditolak kampus yang sama.
Hari pengumuman tiba.
Lucunya, saya malah diterima.
Bahkan di pilihan pertama.
Saya senang tidak terkira.
Saya loncat-loncat dan memeluk semuanya.
Andai saja saya lelah dan berhenti di ujian ketiga.
Andai saja saya tidak melanjutkan ujian saya.
Andai saja saya sudah terlanjur kecewa.
Mungkin saya tidak pernah merasakan rasanya,
"Selamat Anda diterima di Universitas Gajah Mada!"
Tetapi sekali lagi, hidup itu lucu, sayang.
Saya memilih melepas apa yang sudah susah-susah saya dapatkan.
Yang sudah susah-susah saya perjuangkan.
Saya melepas kampus negeri maupun swasta milik saya.
Hidup itu lucu ya,
saya pernah menangisinya,
tetapi dengan mudah saya melepasnya.
Tuesday, August 11, 2015
Friday, July 17, 2015
Saya Mencintaimu
Saya meminta air. Tetapi Dia memberi benua dan lautannya.
Saya meminta angin. Tetapi Dia memberi angkasa dan lapisannya.
Saya meminta gerhana. Tetapi Dia memberi bumi dan satelitnya.
Saya meminta cahaya. Tetapi Dia memberi bintang dan seluruh tata surya.
Saya meminta tanah. Tetapi Dia memberi jagad raya dan seisinya.
Saya tahu Tuhan Maha Baik. Dan akan selalu baik.
Ketika saya meminta bahagia, justru Dia memberi kamu dengan segala cinta dan kasih sayang.
Yang tidak pernah berhenti sedetik-pun untuk mencintai.
Yang tidak pernah lelah sekejap-pun untuk menyayangi.
Yang tidak pernah mengeluh sepatah-pun untuk melindungi.
Terima kasih telah mengetahui segala kekurangan, dan tetap memilih tinggal.
Saya mencintaimu,
dengan seuntuhnya.
Apa adanya, dan tidak mengada-ada.
Saya meminta angin. Tetapi Dia memberi angkasa dan lapisannya.
Saya meminta gerhana. Tetapi Dia memberi bumi dan satelitnya.
Saya meminta cahaya. Tetapi Dia memberi bintang dan seluruh tata surya.
Saya meminta tanah. Tetapi Dia memberi jagad raya dan seisinya.
Saya tahu Tuhan Maha Baik. Dan akan selalu baik.
Ketika saya meminta bahagia, justru Dia memberi kamu dengan segala cinta dan kasih sayang.
Yang tidak pernah berhenti sedetik-pun untuk mencintai.
Yang tidak pernah lelah sekejap-pun untuk menyayangi.
Yang tidak pernah mengeluh sepatah-pun untuk melindungi.
Terima kasih telah mengetahui segala kekurangan, dan tetap memilih tinggal.
Saya mencintaimu,
dengan seuntuhnya.
Apa adanya, dan tidak mengada-ada.
Hari Raya
Bahkan sayang, gema takbirmu tepat setahun yang lalu masih memenuhi ruang semestaku. Rasanya cepat sekali. Hari berganti hari, siang berganti malam, panas berganti dingin, hujan berganti angin, luka berganti suka, dan bahagia akan tetap menjadi bahagia. Tidak akan pernah berganti. Setiap saat. Hingga setahun bergulir. Hingga tidak sadar kita berjumpa dengan Idul Fitri kembali.
Selalu, dan akan terus, tanpa henti, tanpa lelah. Aku mencintaimu. Sesederhana itu.
Selamat Hari Raya Idul Fitri.
Thursday, July 16, 2015
Surat Yang Ditulis Dengan Sepenggal Maaf
Teruntuk:
Ayah dan Ibu
Saya menulis surat ini bukan
tanpa alasan. Pertama, tanpa basa-basi, saya ingin meminta maaf. Meminta maaf
atas segala kesedihan dan kekecewaan yang Ayah dan Ibu alami. Saya tahu, Ayah
dan Ibu pasti sangat kecewa melihat putri kesayangannya-yang seharusnya bisa
dibanggakan-gagal. Tidak hanya sekali, namun berulangkali. Saya gagal, Yah.
Saya gagal, Bu. Berulangkali.
Mungkin saya memang payah, dengan
mudahnya bisa berkata maaf, padahal saya tahu perasaan Ayah dan Ibu sekarang pasti
sedang remuk seremuk-remuknya. Saya tahu perasaan Ayah dan Ibu sekarang pasti
sedang hancur sehancur-hancurnya. Saya tahu, tetapi tidak ada yang bisa saya
lakukan saat ini selain berkata maaf.
9 Mei 2015 pukul lima sore. Hujan
lebat mengguyur Yogyakarta. Membuat seluruh badan saya basah kuyup. Saya nyaris
menggigil di perjalanan. Kemudian, saya memilih berhenti di sebuah Kedai Kopi
di pinggir jalan dan memesan secangkir coklat panas. Waktu itu tepat dengan
pengumuman SNMPTN. Sebagian besar teman saya sudah saling memberi kabar; baik ataupun
buruk. Saya segera membuka laptop, tetapi sinyal WiFi tidak begitu mendukung
saya untuk membuka website SNMPTN. Saya keluar Kedai untuk mencari warnet,
ternyata hanya 3 petak di sebelah kiri. Saya bergegas menuju warnet tersebut.
Setelah membuka, hanya kotak berwarna merah yang saya dapati. Saya menangis
kencang dan tidak bisa berhenti. Saya kembali ke Kedai masih dengan lingangan
airmata di mana-mana. Saya sedih dan nyaris tidak mau pulang ke rumah. Entah
apa yang akan saya katakan dengan kedua orangtua saya, saya tidak bisa berfikir
saat itu, saya tahu pasti mereka sangat sedih mendengar kabar ini.
Saya tiba di rumah dan langsung
mengurung diri di kamar. Hati saya hampir seluruhnya remuk saat itu. Saya
begitu yakin lolos tetapi kenyataan berkata lain. Saya gagal.
Keadaan kembali normal. Hari-hari
berjalan seperti biasa. Meski pagi nampak sendu dan malam selalu muram, tetapi
saya yakin musim semi akan segera tiba. Saya yakin harapan akan selalu ada.
Saya yakin.
Saya membuang segala keinginan
untuk jalan-jalan, melupakan segala kesenangan, dan hanya berkutat pada buku.
Saya jenuh? Tidak. Meski terkadang mengeluh, namun saya tidak sebenar-benarnya
jenuh. Saya hanya merasa sedikit bosan karena tidak ada teman seperjuangan.
Mungkin karena sebagian teman dekat saya sudah lolos jalur undangan, jadi hal
tersebut sedikit memengaruhi psikologis saya.
Saya tidak kenal lelah untuk
belajar, hingga saya sering mengabaikan kesehatan saya. Jarang tidur dan tidak
pernah absen minum kopi. Saya membuat jadwal belajar saya sendiri, lengkap
dengan jam dan target bab yang harus saya kuasai. Dari pagi hingga malam. Jam
6.30 saya sudah berada di bimbel, walau saya tahu jam segitu belum ada satupun
tentor yang datang, tetapi saya semangat untuk datang lebih pagi, bersamaan
dengan satpam atau cleaning service. Sepulang
bimbel, terkadang saya bermain ke Perpustakaan Kota. Jika mengantuk, saya
membuat secangkir kopi, entah siang atau malam. Sesampainya di rumah, saya
kembali membuka buku hingga malam tiba. Saya selalu semangat. Selalu. Dan
selalu yakin bahwa usaha saya ini tidak akan sia-sia. Yakin bahwa apa yang saya
perjuangkan ini pasti akan berbuah manis. Apa yang saya tanam, pasti akan saya
petik.
Genap sebulan saya memfosir tubuh
saya. Alhamdulillah saya tidak jatuh sakit atau merasa depresi akibat terlalu
banyak belajar. 9 Juni 2015 saya mengerjakan soal SBMPTN di Fakultas Kedokteran
Hewan. Sendirian, tidak ada teman yang saya kenal saat itu. Tetapi bukan
masalah, saya selalu optimis dan berjuang dengan maksimal.
Selang 5 hari, saya mengikuti
Ujian Mandiri UGM. Lokasi ujian saya ada di Fakultas Kedokteran. Saya jatuh
cinta seketika pada tempat ini. Selepas mengerjakan ujian, saya langsung sholat
di Masjid Ibnu Sina. Berdoa, semoga saya bisa menjadi bagian dari tempat
istimewa ini. Kedokteran adalah cinta pertama saya. Dan menjadi dokter adalah
satu hal yang selalu saya impikan, sejak saya masih kecil.
Saya juga mendaftar SM UNS,
karena seleksinya menggunakan nilai SBMPTN. Tidak perlu tes lagi, jadi tidak
usah repot-repot sampai Solo.
Ramadhan tiba. Sebulan terasa
begitu lama.
9 Juli 2015, bertepatan dengan buber
angkatan. Beragam raut wajah yang saya jumpai saat itu. Ada yang panik, ada
yang sudah menangis sebelum membuka hasilnya, ada yang parno, ada yang
penasaran, ada yang santai-santai. Saya memutuskan untuk membuka hasilnya nanti
sepulang buber, karena selain tidak ada koneksi, saya juga sedang sibuk wira-wiri.
Sesampainya di rumah, saya
bertanya ke pada Ibu. Beliau menjawab tidak lolos. Saya bengong dan memilih
untuk tidak membukanya sampai kapanpun. Saya tidak sanggup melihat kotak merah
yang berisi tulisan tidak lolos serta permintaan maaf, untuk yang kedua
kalinya. Saya menerima dengan lapang dada, toh masih ada SM UNS dan UM UGM. Saya
menaruh sebesar-besar perasaan optimis saya pada dua seleksi tersebut, karena
selain saya bisa mengerjakan, pilihan ketiga yang saya ambil sudah benar-benar
aman.
Dua hari berlalu. Saya terbangun
pada bilangan 13 bulan Juli dengan perasaan optimis. Segera menyalakan laptop,
tetapi pengumumannya masih jam 11 malam nanti. Saya menunggu dengan gembira,
tidak sabar menyaksikan betapa harunya saya nanti. Yang saya lakukan seharian
hanya memandangi website SPMB UNS, walau saya tahu itu adalah hal bodoh.
Tepat pukul 11. Dysa, teman saya
sudah bertanya tentang kabar UNS. Saya, Ibu, Ayah, dan Dysa sibuk membantu saya
untuk masuk web karena server sedang down, saking banyaknya yang mengakses
sepertinya. Akhirnya pukul 12 lebih Dysa berhasil masuk web, dia mengirimiku screen-capture yang berbunyi Alfu wa Ichda F tidak ada dalam daftar
mahasiswa yang diterima di UNS melalui seleksi mandiri. Saya tidak percaya
setengah mati. Saya mencoba masuk web dan membuktikan kebenarannya. Ternyata
benar, Dysa tidak berbohong. Saya gagal. Untuk ketiga kali.
Dua hari berlalu. Hari ini 15
Juli adalah pengumuman untuk UM UGM. Ibu bilang beliau trauma membuka
pengumuman tapi berulangkali kata gagal yang didapat. Tetapi saya tetap
optimis karena saya bisa mengerjakan. Pukul 4 sore, Hanif, teman saya memberi
kabar bahwa dia tidak lolos. Saya tidak goyah, saya tetap optimis karena saya tahu
saya pantas mendapatkannya.
Takdir berkata lain. Saya gagal. Saya
mengira bakal tersangkut di pilihan pertama ataupun kedua, tetapi kenyataannya
di pilihan ketigapun tidak. Saya memberi tahu Ibu kabar menyedihkan ini. Ibu
tidak percaya, kemudian menjadi tidak berdaya. Saya langsung lari ke kamar,
tidak sanggup jika menyaksikan Ibu menangis untuk kesekian kalinya. Maaf, Bu.
Saya juga mengabari Ayah melalu ponsel karena beliau sedang tidak di rumah.
Ayah mengatakan tidak apa-apa, semoga diberi yang terbaik. Saya menangis
membaca kalimat singkat tersebut. Maaf, Yah. Sekali lagi, maaf telah
mengecewakan berulang kali.
Hati saya hampir remuk seluruhnya.
Saya tidak bisa berfikir dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya sedih. Sedih
sebenar-benarnya sedih. Setiap bulir air yang jatuh dari mata saya menyisakan
pedih yang teramat di dalam hati. Jika sedih ini adalah dosa, mungkin saya
telah menjadi penghuni neraka.
No one knows about what actually
I feel. Right now.
Saat itu juga, saya pergi ke
rumah Guru Fisika saya, Pak Irwan, sambil membawakan parsel lebaran. Saya
hendak mengucapkan terima kasih telah membimbing saya selama ini. Saya
bercerita banyak tentang semua yang saya alami. Beliau tidak percaya. Tidak mungkin seorang Alfu tidak lolos.
Sehari-hari kemampuannya bagus. Dia termasuk gadis pandai. Saya tidak pernah mendapati
Alfu sedih, karena dia selalu tertawa setiap saat. Begitu katanya. Saya
percaya bahwa saya pintar, bukannya sombong, tapi tidak mungkin seorang guru sampai berbohong, saya tahu Pak Irwan selalu
peduli dan mengamati murid-muridnya. And he really recharge my spirit when
nobody can’t.
Saya bertanya apakah saya bodoh
kepada teman-teman saya. Dan jawaban yang saya dapatkan selalu sama. Kamu itu
pintar, Fu.
Semua saja berkata bahwa kamu itu
pintar Fu, tapi kenyataannya yang tidak lebih pintar dari saya malah lolos.
Semua saja berkata bahwa belum tentu aku bisa garap kaya kamu Fu, tapi
kenyataannya kalian yang tidak bisa mengerjakan malah lolos.
Ibu, Ayah, saya hendak meminta
maaf karena yang kalian banggakan sepenuh hati justru malah mengecewakan seenak
hati. Maaf saya belum bisa menjadi apa yang kalian impikan.
Jika ditanya apakah saya sedih,
iya memang saya sedih. Saya sedih, tetapi Ibu mencoba menghibur dengan mengatakan
“sedihmu juga sedih kami”. Saya sedih, yang seharusnya bisa dibanggakan, pada
kenyataannya hanya menanggalkan harapan. Saya sedih, impian Ayah dan Ibu yang
begitu istimewa, malah saya tukar dengan air mata kecewa.
Saya telah gagal, tidak hanya
sekali, namun berulang kali. Jika Ayah dan Ibu hendak kecewa, kecewalah. Saya
ikhlas.
Gadismu,
Alfu.
Saturday, April 18, 2015
Petualangan Agung di Dataran Hyang Argopuro
Akhirnya, pada hari kelima kita tiba di simpang puncak. Tempat ini merupakan persimpangan di antara ketiga puncak; Rengganis, Argopuro, dan Arca. Dataran Hyang yang membentang mengelilingi lestarinya pegunungan Argopuro ini benar-benar menyisakan sejuta kenangan. Canda tawa suka duka tangis lelah emosi marah sedih letih sebal semuanya bercampur jadi satu. Petualangan agung ini bermula dari Stasiun Lempuyangan, 13 hingga 21 April 2014. Tepat setahun yang lalu.
Hari pertama, kami berjalan meninggalkan Pos Baderan, pelan-pelan menikmati terik yang membuat keringat mengucur tanpa henti. Jalan bebatuan yang kami lewati tidak begitu terjal. Tapi cukup membuat sepatu saya rusak. Di sisi terdapat tebing yang tidak begitu tinggi. Sedang di sisi kanan merupakan jurang, banyak sekali air terjun yang bisa dilihat dari kejauhan. Tiba-tiba saya menyadari handphone saya terjatuh. Saya kembali menyusuri jalan keberangkatan tadi, tetapi tidak menemukan apapun. Saya pasrah. Memilih membiarkan dan melanjutkan perjalanan. Belum tiba di Makadam, cuaca terik sepagian berubah menjadi mendung dan menjatuhkan bulir-bulir hujan. Lama kelamaan menjadi deras. Jalanan yang hanya selebar ban motor menjadi sangat licin. Membuat saya terus terjatuh dan mengeluh. Saya sebal dan sempat menangis. Saya mengajukan pertanyaan, "Ini kapan sampai?" Konyol sekali. Sampai di mana? Belum ada sepertujuh perjalanan saja sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Kami belum mencapai mata air 1, tetapi hari sudah gelap. Kami memilih mendirikan tenda di sini. Di tempat sempit, tidak tahu namanya. Kami segera mengganti pakaian kami yang basah kuyup, kemudian menjerengnya di pohon-pohon. Berharap esok cerah sehingga kami bisa menjemur pakaian-pakaian ini. Kami segera membuat sup kentang dan wedang jahe untuk menghangatkan badan. Kami juga memasak nasi dan tumis buncis. Lapar sekali rasanya.
Hari kedua, cuaca sangat cerah. Pukul 7 mentari sudah menyibakkan teriknya menembus celah pepohonan; tempat kami beristirahat. Kami segera memasang tali dan membuat jemuran. Setelah dirasa cukup kering, pukul 9 kami segera mengemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Tengah siang, kami tiba di Mata Air I. Mengisi ulang air minum dan mengisi ulang tenaga kami. Berbekal golok yang dibawa salah satu teman saya, kami membuat senjata untuk mainan. Seperti panah-panahan, tombak, dan trisula. Kami melanjutkan perjalanan. Rombongan terpisah menjadi dua. Tujuh orang di depan dan lima orang di belakang. Saya bersama keempat teman saya, yang kebetulan merupakan rombongan belakang, berjalan sangat lambat dan sering sekali istirahat. Katanya, kalo tidak dinikmati nanti rugi. Keempat teman saya menggendong carrier sangat besar, 80L hingga 100L. Sedangkan saya hanya menenteng tas serut sambil makan kuaci. Kami bermalam di Mata Air II. Banyak sekali hewan kecil yang suka menggigit, kami menamainya nyoy-nyoy. Kami membuat api unggun dan menyeduh jahe bakar.
Hari ketiga, kami kembali menjemur pakaian-pakaian basah kami. Sayangnya, ada teman kami yang jatuh sakit. Tetapi tidak begitu parah sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan. Kami membuat jus tomat serta wedang kopi-gulajawa untuk bekal hari ini. Hari memang cerah, tetapi ketika melewati hutan lumut tetap saja basah dan lembab. Setelah melewati banyak sekali-yang entah apa nama dari setiap sabana tersebut-kami tiba di alun alun kecil. Kami berteriak sepuasnya di sini, karena sejak hari pertama pendakian, kami hanya bertemu dengan tiga orang dari SMA N 3 Malang. Selebihnya hanya burung rumput dan pohon yang menjadi teman tertawa kami. Kami melewati padang verbena, yang kerap kali disebut lavender. Sejauh mata memandang, hanya hamparan ungu yang terlihat. Lebih cantik dari Oro-Oro Ombo milik Semeru. Sebelum petang, kami tiba di Cikasur. Aliran air di Cikasur sangat jernih! Kami segera memanen jembak dan menjadikannya pecel sebagai menu makan malam kami.
Semburat merah jingga yang muncul di ufuk timur mengawali pagi keempat kami. Menambah damainya pagi di Cikasur. Saya menikmati secangkir kopi, sementara Musa sibuk dengan kameranya. Berlarian mengejar merak di antara luasnya bekas landasan pesawat terbang pada masa kolonial. Beberapa dari kami ada sibuk menjemur pakaian, ada yang memasak, ada yang bermain air sambil memanem jembak, ada juga yang hanya duduk menikmati kepulan asap dari beberapa batang rokok. Syahdu sekali pagi itu. Kami meninggalkan Cikasur yang Maha-Luas dan berjalan menuju Cisentor. Kami memasuki hutan yang berdebu dan kotor. Banyak sekali pohon tumbang dan beberapa rute tertutup oleh tanaman liar. Tidak ada sampah sama sekali, jadi kami sempat kebingungan dan tersesat. Sunyi dan hanya suara angin yang ada. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Setelah melewati hutan, kami tiba di sabana. Kemudian ada padang verbena lagi. Kemudian memasuki hutan lagi. Kami memanen murbei dan tomat mini. Kami juga melewati hutan edelweiss. Akhirnya kami tiba di Cisentor. Setelah membersihkan diri, mengisi ulang air minum, dan makan, kami berjalan menuju Rawa Embik. Malam di Rawa Embik sangat-sangat dingin. Saat kami memasak, beberapa dari teman saya sudah mengunci rapat-rapat dirinya di dalam kantung tidur. Enggan keluar tenda.
Saya suka pagi kelima di Rawa Embik. Cerah dan cantik langit di sini. Ribuan dandelion merengek-rengek minta dipetik dan ditiup. Seperti biasa, kami menjemur semua pakaian basah kami sebelum melanjutkan perjalanan. Rawa Embik merupakan sumber air terakhir, jadi kami mengisi semua botol milik kami. Sekitar pukul 11, kami berjalan menuju Simpang Puncak. Setelah berulangkali memasuki hutan dan padang edelweiss, kami akhirnya tiba di Simpang Puncak. Kami segera membuat perapian karena menipisnya bahan bakar. Sebelum mentari tenggelam di ufuk barat, kami berlarian menuju Puncak Argopuro. Ada yang cekeran karena lelahnya memakai sepatu selama lima hari, ada yang hanya berbalut sarung, ada juga yang membawa secangkir teh panas. Kami menikmati sunset di Puncak Argopuro. Romantis? Biasa saja. Menu makan malam kali ini sangat istimewa, Spaghetti with Bolognese Sauce ditambah makaroni sebagai pelengkap. Sambil menunggu rembulan muncul di permukaan, kami bergiliran membacakan puisi, duduk melingkar di depan perapian.
Pada pagi keenam, tepat pukul 5 sebelum mentari memancarkan semburat merah jingganya, kami berlarian menuju Puncak Rengganis. Di sini, ada bekas petilasan Dewi Rengganis. Setelah berjalan turun, saya dan dua teman saya melakukan remidi ke Puncak Argopuro dilanjut ke Puncak Arca. Pukul 11, kami merapel sarapan sekaligus makan siang. Tepat tengah hari, kami melanjutkan perjalanan. Logistik yang habis dan air minum yang menipis menuntun kami harus tiba di Pos Bremi malam ini juga. Sebelumnya, dua teman saya sudah kembali ke Rawa Embik untuk mengisi ulang air minum.
Kami secara tidak langsung terpisah menjadi dua rombongan. Rombongan depan berisi 5 laki-laki super kuat yang berjalan tanpa bekal, mereka tiba di Pos Bremi pukul 9 malam. Di antara mereka sempat terjadi cekcok, masalahnya hanya sepele, tetapi jika lapar dingin dan dehidrasi bercampur jadi satu, hal itu menjadikan kami lebih mudah emosi. Semua tahu itu.
Sedangkan rombongan kedua berisi 4 laki-laki dan 3 perempuan. Semua kaki kami sudah luka-luka, baik rombongan depan maupun belakang, tapi kami tidak mungkin berhenti, kami harus melanjutkan perjalanan karena logistik sangat menipis. Saya sempat masuk ke jurang, tapi alhamdulillah saya tersangkut di antara pepohonan dan masih bisa diselamatkan oleh teman-teman saya. Kami melewati padang ilalang setinggi 2 meter. Ternyata rumputnya basah terguyur hujan tadi pagi, membuat badan kami basah kuyup. Kami lupa tidak memakai jas hujan saat itu. Selanjutnya, kami melewati Hutan Hujan Tropis. Saya takut saat itu, berjalan sangat cepat dan tidak berkata sepatah kata pun. Hari hampir petang saat kami tiba di Danau Taman Hidup, namun mistis sekali saat itu, suasana penuh kabut dan kami tidak bisa melihat apapun. Kami segera melanjutkan perjalanan. Pukul 8 malam, salah satu teman perempuan saya jatuh sakit. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menikmati bekal terakhir kami. Sup makaroni tinggal sebungkus, kornet dan sarden juga tinggal sekaleng. Mengetahui tidak cukup untuk bertujuh, dua dari kami memilih melanjutkan perjalanan. Setelah makan, keadaan tidak kunjung baik. Saya tahu, baju kami basah sejak siang tadi, perut kami lapar, tenggorokan kami dahaga,pundak kami lelah, kaki kami sakit, pikiran kami buyar. Dua dari kami terkena hipotermia, satu lagi sudah hilang fokus dan ambyar karena mengantuk. Sekarang tinggal dua, saya dan Musa. Saya bingung, kemudian memutar otak, memilih membawa satu teman saya yang terkena hipotermia untuk dipaksa turun ke basecamp. Tidak mungkin kami berlima tinggal di gunung tanpa bekal. Musa menjaga teman perempuan saya yang sakit dan terkena hipotermia, ditambah teman laki-laki saya yang hilang fokus dan ambyar tadi. Air minum tinggal 1 botol, saya membaginya dengan Musa. Saya menuruni jalanan yang sangat terjal ini sambil berdzikir, berharap semua baik-baik saja hingga nanti. Laki-laki di sebelah saya ini benar-benar sudah disorientasi, sejak tadi hanya hanya ngelindur seperti orang kesurupan. Saya menamparnya dan mengguyurnya dengan air terakhir milik saya. Tetapi dia belum juga sadarkan diri. Baju kami basah. Saya pun ikut menggigil sedari tadi. Saya mensugesti diri, saya kuat dan semuanya akan baik-baik saja. Saya takut dan sempat menangis, takut jika yang saya bawa turun ini pada akhirnya kesurupan. Saya terus berdoa. Akhirnya saya tiba di Hutan Damar. Saya menyadari bahwa sinar headlamp saya tidak lebih terang dari rembulan di atas sana, maka dari itu saya memilih mematikannya. Saya akhirnya bertemu dengan dua teman saya yang tadi berpisah pukul 8 malam. Mereka tertidur di Hutan Damar katanya. Kemudian kami berempat melanjutkan perjalanan menuju basecamp.
Tiba di Desa Bremi, kami tidak tahu di mana letak basecampnya. Saya melihat jam, ternyata pukul 3 pagi. Tidak ada kehidupan jam segini, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada yang tahu di mana rombongan pertama saat ini berada. Kami berempat akhirnya tertidur di depan warung. Entah milik siapa. Pagi harinya, kami mencari rombongan pertama. Akhirnya kami bertemu dan menceritakan apa yang kami alami. Tiga dari mereka menyusul ketiga teman saya yang tertinggal di hutan. Membawakan air, susu, dan roti. Setelah beberapa saat, dari kejauhan tampak perempuan sedang digendong teman laki-laki saya. Mereka berjalan bersama 4 laki-laki lain. Pincang, semua kakinya sedang luka-luka. Tapi kami tersenyum bahagia, akhirnya semua baik-baik saja dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
Hari pertama, kami berjalan meninggalkan Pos Baderan, pelan-pelan menikmati terik yang membuat keringat mengucur tanpa henti. Jalan bebatuan yang kami lewati tidak begitu terjal. Tapi cukup membuat sepatu saya rusak. Di sisi terdapat tebing yang tidak begitu tinggi. Sedang di sisi kanan merupakan jurang, banyak sekali air terjun yang bisa dilihat dari kejauhan. Tiba-tiba saya menyadari handphone saya terjatuh. Saya kembali menyusuri jalan keberangkatan tadi, tetapi tidak menemukan apapun. Saya pasrah. Memilih membiarkan dan melanjutkan perjalanan. Belum tiba di Makadam, cuaca terik sepagian berubah menjadi mendung dan menjatuhkan bulir-bulir hujan. Lama kelamaan menjadi deras. Jalanan yang hanya selebar ban motor menjadi sangat licin. Membuat saya terus terjatuh dan mengeluh. Saya sebal dan sempat menangis. Saya mengajukan pertanyaan, "Ini kapan sampai?" Konyol sekali. Sampai di mana? Belum ada sepertujuh perjalanan saja sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Kami belum mencapai mata air 1, tetapi hari sudah gelap. Kami memilih mendirikan tenda di sini. Di tempat sempit, tidak tahu namanya. Kami segera mengganti pakaian kami yang basah kuyup, kemudian menjerengnya di pohon-pohon. Berharap esok cerah sehingga kami bisa menjemur pakaian-pakaian ini. Kami segera membuat sup kentang dan wedang jahe untuk menghangatkan badan. Kami juga memasak nasi dan tumis buncis. Lapar sekali rasanya.
Hari kedua, cuaca sangat cerah. Pukul 7 mentari sudah menyibakkan teriknya menembus celah pepohonan; tempat kami beristirahat. Kami segera memasang tali dan membuat jemuran. Setelah dirasa cukup kering, pukul 9 kami segera mengemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Tengah siang, kami tiba di Mata Air I. Mengisi ulang air minum dan mengisi ulang tenaga kami. Berbekal golok yang dibawa salah satu teman saya, kami membuat senjata untuk mainan. Seperti panah-panahan, tombak, dan trisula. Kami melanjutkan perjalanan. Rombongan terpisah menjadi dua. Tujuh orang di depan dan lima orang di belakang. Saya bersama keempat teman saya, yang kebetulan merupakan rombongan belakang, berjalan sangat lambat dan sering sekali istirahat. Katanya, kalo tidak dinikmati nanti rugi. Keempat teman saya menggendong carrier sangat besar, 80L hingga 100L. Sedangkan saya hanya menenteng tas serut sambil makan kuaci. Kami bermalam di Mata Air II. Banyak sekali hewan kecil yang suka menggigit, kami menamainya nyoy-nyoy. Kami membuat api unggun dan menyeduh jahe bakar.
Hari ketiga, kami kembali menjemur pakaian-pakaian basah kami. Sayangnya, ada teman kami yang jatuh sakit. Tetapi tidak begitu parah sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan. Kami membuat jus tomat serta wedang kopi-gulajawa untuk bekal hari ini. Hari memang cerah, tetapi ketika melewati hutan lumut tetap saja basah dan lembab. Setelah melewati banyak sekali-yang entah apa nama dari setiap sabana tersebut-kami tiba di alun alun kecil. Kami berteriak sepuasnya di sini, karena sejak hari pertama pendakian, kami hanya bertemu dengan tiga orang dari SMA N 3 Malang. Selebihnya hanya burung rumput dan pohon yang menjadi teman tertawa kami. Kami melewati padang verbena, yang kerap kali disebut lavender. Sejauh mata memandang, hanya hamparan ungu yang terlihat. Lebih cantik dari Oro-Oro Ombo milik Semeru. Sebelum petang, kami tiba di Cikasur. Aliran air di Cikasur sangat jernih! Kami segera memanen jembak dan menjadikannya pecel sebagai menu makan malam kami.
Semburat merah jingga yang muncul di ufuk timur mengawali pagi keempat kami. Menambah damainya pagi di Cikasur. Saya menikmati secangkir kopi, sementara Musa sibuk dengan kameranya. Berlarian mengejar merak di antara luasnya bekas landasan pesawat terbang pada masa kolonial. Beberapa dari kami ada sibuk menjemur pakaian, ada yang memasak, ada yang bermain air sambil memanem jembak, ada juga yang hanya duduk menikmati kepulan asap dari beberapa batang rokok. Syahdu sekali pagi itu. Kami meninggalkan Cikasur yang Maha-Luas dan berjalan menuju Cisentor. Kami memasuki hutan yang berdebu dan kotor. Banyak sekali pohon tumbang dan beberapa rute tertutup oleh tanaman liar. Tidak ada sampah sama sekali, jadi kami sempat kebingungan dan tersesat. Sunyi dan hanya suara angin yang ada. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Setelah melewati hutan, kami tiba di sabana. Kemudian ada padang verbena lagi. Kemudian memasuki hutan lagi. Kami memanen murbei dan tomat mini. Kami juga melewati hutan edelweiss. Akhirnya kami tiba di Cisentor. Setelah membersihkan diri, mengisi ulang air minum, dan makan, kami berjalan menuju Rawa Embik. Malam di Rawa Embik sangat-sangat dingin. Saat kami memasak, beberapa dari teman saya sudah mengunci rapat-rapat dirinya di dalam kantung tidur. Enggan keluar tenda.
Saya suka pagi kelima di Rawa Embik. Cerah dan cantik langit di sini. Ribuan dandelion merengek-rengek minta dipetik dan ditiup. Seperti biasa, kami menjemur semua pakaian basah kami sebelum melanjutkan perjalanan. Rawa Embik merupakan sumber air terakhir, jadi kami mengisi semua botol milik kami. Sekitar pukul 11, kami berjalan menuju Simpang Puncak. Setelah berulangkali memasuki hutan dan padang edelweiss, kami akhirnya tiba di Simpang Puncak. Kami segera membuat perapian karena menipisnya bahan bakar. Sebelum mentari tenggelam di ufuk barat, kami berlarian menuju Puncak Argopuro. Ada yang cekeran karena lelahnya memakai sepatu selama lima hari, ada yang hanya berbalut sarung, ada juga yang membawa secangkir teh panas. Kami menikmati sunset di Puncak Argopuro. Romantis? Biasa saja. Menu makan malam kali ini sangat istimewa, Spaghetti with Bolognese Sauce ditambah makaroni sebagai pelengkap. Sambil menunggu rembulan muncul di permukaan, kami bergiliran membacakan puisi, duduk melingkar di depan perapian.
Pada pagi keenam, tepat pukul 5 sebelum mentari memancarkan semburat merah jingganya, kami berlarian menuju Puncak Rengganis. Di sini, ada bekas petilasan Dewi Rengganis. Setelah berjalan turun, saya dan dua teman saya melakukan remidi ke Puncak Argopuro dilanjut ke Puncak Arca. Pukul 11, kami merapel sarapan sekaligus makan siang. Tepat tengah hari, kami melanjutkan perjalanan. Logistik yang habis dan air minum yang menipis menuntun kami harus tiba di Pos Bremi malam ini juga. Sebelumnya, dua teman saya sudah kembali ke Rawa Embik untuk mengisi ulang air minum.
Kami secara tidak langsung terpisah menjadi dua rombongan. Rombongan depan berisi 5 laki-laki super kuat yang berjalan tanpa bekal, mereka tiba di Pos Bremi pukul 9 malam. Di antara mereka sempat terjadi cekcok, masalahnya hanya sepele, tetapi jika lapar dingin dan dehidrasi bercampur jadi satu, hal itu menjadikan kami lebih mudah emosi. Semua tahu itu.
Sedangkan rombongan kedua berisi 4 laki-laki dan 3 perempuan. Semua kaki kami sudah luka-luka, baik rombongan depan maupun belakang, tapi kami tidak mungkin berhenti, kami harus melanjutkan perjalanan karena logistik sangat menipis. Saya sempat masuk ke jurang, tapi alhamdulillah saya tersangkut di antara pepohonan dan masih bisa diselamatkan oleh teman-teman saya. Kami melewati padang ilalang setinggi 2 meter. Ternyata rumputnya basah terguyur hujan tadi pagi, membuat badan kami basah kuyup. Kami lupa tidak memakai jas hujan saat itu. Selanjutnya, kami melewati Hutan Hujan Tropis. Saya takut saat itu, berjalan sangat cepat dan tidak berkata sepatah kata pun. Hari hampir petang saat kami tiba di Danau Taman Hidup, namun mistis sekali saat itu, suasana penuh kabut dan kami tidak bisa melihat apapun. Kami segera melanjutkan perjalanan. Pukul 8 malam, salah satu teman perempuan saya jatuh sakit. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menikmati bekal terakhir kami. Sup makaroni tinggal sebungkus, kornet dan sarden juga tinggal sekaleng. Mengetahui tidak cukup untuk bertujuh, dua dari kami memilih melanjutkan perjalanan. Setelah makan, keadaan tidak kunjung baik. Saya tahu, baju kami basah sejak siang tadi, perut kami lapar, tenggorokan kami dahaga,pundak kami lelah, kaki kami sakit, pikiran kami buyar. Dua dari kami terkena hipotermia, satu lagi sudah hilang fokus dan ambyar karena mengantuk. Sekarang tinggal dua, saya dan Musa. Saya bingung, kemudian memutar otak, memilih membawa satu teman saya yang terkena hipotermia untuk dipaksa turun ke basecamp. Tidak mungkin kami berlima tinggal di gunung tanpa bekal. Musa menjaga teman perempuan saya yang sakit dan terkena hipotermia, ditambah teman laki-laki saya yang hilang fokus dan ambyar tadi. Air minum tinggal 1 botol, saya membaginya dengan Musa. Saya menuruni jalanan yang sangat terjal ini sambil berdzikir, berharap semua baik-baik saja hingga nanti. Laki-laki di sebelah saya ini benar-benar sudah disorientasi, sejak tadi hanya hanya ngelindur seperti orang kesurupan. Saya menamparnya dan mengguyurnya dengan air terakhir milik saya. Tetapi dia belum juga sadarkan diri. Baju kami basah. Saya pun ikut menggigil sedari tadi. Saya mensugesti diri, saya kuat dan semuanya akan baik-baik saja. Saya takut dan sempat menangis, takut jika yang saya bawa turun ini pada akhirnya kesurupan. Saya terus berdoa. Akhirnya saya tiba di Hutan Damar. Saya menyadari bahwa sinar headlamp saya tidak lebih terang dari rembulan di atas sana, maka dari itu saya memilih mematikannya. Saya akhirnya bertemu dengan dua teman saya yang tadi berpisah pukul 8 malam. Mereka tertidur di Hutan Damar katanya. Kemudian kami berempat melanjutkan perjalanan menuju basecamp.
Tiba di Desa Bremi, kami tidak tahu di mana letak basecampnya. Saya melihat jam, ternyata pukul 3 pagi. Tidak ada kehidupan jam segini, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada yang tahu di mana rombongan pertama saat ini berada. Kami berempat akhirnya tertidur di depan warung. Entah milik siapa. Pagi harinya, kami mencari rombongan pertama. Akhirnya kami bertemu dan menceritakan apa yang kami alami. Tiga dari mereka menyusul ketiga teman saya yang tertinggal di hutan. Membawakan air, susu, dan roti. Setelah beberapa saat, dari kejauhan tampak perempuan sedang digendong teman laki-laki saya. Mereka berjalan bersama 4 laki-laki lain. Pincang, semua kakinya sedang luka-luka. Tapi kami tersenyum bahagia, akhirnya semua baik-baik saja dan tidak ada hal buruk yang terjadi.
Tuesday, March 17, 2015
Dari Perpisahan Saya Belajar 3 Hal
Yang pertama.
Jika kita-saya dan kamu-memang benar berjodoh, ke manapun dua mata memandang dan dua kaki melangkah, saya akan selalu menjadi tempatmu untuk pulang. Dan kamu, akan selalu menjadi tempat di mana saya bisa tertawa lepas tanpa harus malu-malu. Kita akan sama-sama menidurkan lelah masing-masing setelah sekian lama berpisah. Saya pasti akan sangat merindukanmu kelak. Maka tak ada yang bisa dilakukan selain bermanja-manja dan tidur di pangkuanmu.
Yang kedua.
Jika kita-saya dan kamu-memang tidak berjodoh, pasti akan ada alasan mengapa kita harus berpisah. Akan ada alasan mengapa rindu yang semakin dipendam semakin merajalela ini pada akhirnya tidak sejalan dengan Takdir Tuhan. Saya tidak perlu menghilang jauh agar bisa lupa denganmu. Dan kamu juga tidak perlu pindah ke luar kota atau memutus komunikasi dengan saya. Bukankah kita masih bisa berteman?
Yang ketiga.
Jika memang tidak ada alasan untuk berpisah dan kau malah memilih pergi, mungkin juga tidak ada lagi alasan untuk mempercayaimu. Maka, saya akan ikut pergi. Bukankah hidup itu pilihan?
Thursday, February 26, 2015
Saya Punya Seorang Teman
Saya punya
seorang teman.
Kami sudah dekat
sejak awal masuk sma.
Dia
bercerita banyak ke pada saya tentang gadis pujaan hatinya.
Saya ingin
bercerita juga tentang lelaki pujaan hati saya.
Tetapi saya
malu.
Saya
memillih diam dan mendengarkan ceritanya saja.
Saya punya
seorang teman.
Sekarang dia
sudah bahagia dengan gadis pujaan hatinya.
Dia menghubungi
saya kemudian membagi kebahagiaanya.
Saya kira
setelah bahagia dengan gadis itu, dia lupa dengan saya.
Ternyata dia
tidak lupa dan kami masih bisa berteman.
Saya punya
seorang teman.
Dia sudah
berpisah dengan gadis pujaan hatinya.
Dia
menghubungi saya.
Kemudian
saya mengatakan bahwa saya dekat dengan laki-laki lain.
Dia diam.
Kemudian
pergi.
Saya punya
seorang teman.
Kami
berpisah sejak saat itu.
Dia sering
menghindari saya.
Dia bilang,
dia juga sudah dekat dengan gadis lain.
Dia aneh.
Saya punya
seorang teman.
Kami hilang
kontak lebih dari setahun.
Saya tidak
pernah bertanya kabar.
Pun dia.
Saya punya
seorang teman.
Kami bertemu
lagi di malam ulang tahun teman dekat saya.
Tetapi dia
tidak menyapa.
Mungkin dia
lupa.
Saya punya
seorang teman.
Dia
menghubungi saya kembali.
Dia bertanya
kabar.
Saya jawab
saya baik-baik saja.
Ternyata dia
tidak benar-benar lupa.
Saya punya
seorang teman.
Matanya
teduh.
Hidungnya
mancung.
Kumisnya
tipis.
Jari-jarinya eksotis.
Saya punya
seorang teman.
Ahmad Zainal
Abidin namanya.
Dia bilang
dia sedang berulang tahun hari ini.
Jadi saya
membuatkan puisi ini untuknya.
Saya punya
seorang teman.
Saya jatuh
hati dengannya.
Sejak awal
masuk sma.
Surat Yang Ditulis Untuk Ulang Tahun Ke-18
Sebenarnya aku
benci ketika kau berulang tahun. Aku benci karena aku harus menyiapkan kejutan
dan hadiah. Bukan, bukan benci lebih tepatnya. Tetapi aku memang payah dalam
dua hal tersebut. Pertama, setiap kali aku menyusun kejutanku untukmu, yang ada
hanya gagal dan kau malah mengetahuinya lebih dulu. Kedua, setiap kali aku
harus memberikan hadiah padamu, aku bingung harus memberikan apa. Aku sudah
berfikir lebih dari seminggu, tetapi nampaknya sia-sia. Jadi, aku memilih untuk
tidak melakukan apa-apa.
Aku ingin
mengajakmu jalan-jalan sebagai hadiah di hari ulang tahunmu. Pergi ke tengah
laut yang pinggirnya dikelilingi pegunungan, kemudian kita duduk di atas perahu
kecil dan menghabiskan hari di sana. Tidak usah takut jika tersengat terik, sayang.
Karena aku pasti akan membawakanmu topi yang besar, yang ada rumbai-rumbainya.
Kau pasti sangat tampan jika mengenakannya. Kemudian kita mengulur kail pancing
dan melemparnya sejauh mungkin. Jika tidak mendapat ikan tidak apa-apa, sayang.
Tidak usah memaksa. Toh kita juga tidak akan mati kelaparan jika tidak mendapat
ikan. Aku pasti akan membawakanmu bekal yang banyak untuk kita seharian. Kamu
tidak usah takut jika aku tiba-tiba mendorongmu ke laut sambil mengucapkan “Hei
selamat ulang tahun ya”. Aku tahu kau tidak bisa berenang, jadi pasti tidak
akan ku lakukan. Tenang saja, sayang.
Kalau kau
tidak suka menghabiskan hari di atas perahu juga tidak apa-apa. Aku bisa
mengajakmu untuk bermain layang-layang di tanah lapang. Kita tidak perlu susah payah
untuk menaikkan layangannya, karena angin pasti akan bersahabat denganmu.
Setelah lelah, aku akan mengeluarkan roti isi milikku, kemudian membaginya
denganmu. Kita duduk di bawah pohon beringin di sisi barat. Berdendang
menikmati alunan angin, kemudian aku bersandar di pahamu, sambil memetik jemarimu.
Aku tahu di
umurmu yang ke 18 ini kau tidak lagi membutuhkan roti dan lilin.
Aku tahu di
umurmu yang ke 18 ini kau tidak lagi membutuhkan gandum dan telur.
Aku tahu di
umurmu yang ke 18 ini kau tidak lagi membutuhkan kejutan dan hadiah.
Yang aku
tahu, di umurmu yang ke 18 ini, yang kau butuhkan hanyalah doa.
Aku selalu
berdoa yang terbaik untukmu, sayang. Semoga semesta turut mengaminkan doa-doaku
untukmu, dan doamu tentu saja. Semoga keberuntungan dan Tuhan selalu bersamamu.
Kau tidak
perlu hal-hal yang spesial agar bisa menjadi spesial di hari spesialmu. Bahkan,
ketika kau diam pun kau sudah sangat spesial.
Selamat ulang tahun.
3 tahun yang lalu masih anak-anak.
Tetapi, tidak perlu menjadi anak-anak lagi kan jika ingin bermain layang-layang?
Ternyata Bahagia Tidak Semudah Melupakanmu
Hai. Apa kabar?
Ini adalah
surat kedua-setelah surat yang aku tulis hampir 2 tahun yang lalu-untukmu. Aku
ingat, suratku sewaktu itu adalah surat paling duka yang pernah aku tulis.
Surat yang berujung dengan perpisahan. Yang kemudian memaksa kita-aku dan
kamu-untuk bahagia dengan jalan masing-masing.
Kita sepakat,
tidak ada tangis dan air mata lagi setelah itu. Kita juga sepakat, akan selalu
bahagia dan saling berdoa. Untukku dengan bahagiaku, dan untukmu dengan
bahagiamu. Ya, kita sudah sepakat. Waktu itu.
Maaf,
ternyata aku gagal. Bahagia tidak semudah melupakanmu kemudian mencari
laki-laki lain untuk dicintai. Aku mengkhianati janjiku sendiri. Aku berusaha
untuk tidak menangis, tetapi kenyataannya aku menangis lebih kencang dari
sebelumnya. Kau kira aku baik-baik saja dan selalu bahagia dengan lelakiku
waktu itu? Tidak. Kau dan aku sama-sama tahu jawabannya. Aku melukai perasaanku
sendiri, tetapi aku jauh lebih melukai perasaan lelakiku pada waktu itu. Aku merasa
berdosa karena membohonginya. Bahkan hingga saat ini aku belum juga meminta
maaf ke padanya. Aku berjanji, secepatnya aku akan-entah besok atau lusa.
Aku memilih bertahan
untuk sendiri, meski aku tahu bahwa kau sudah bahagia dengan jalanmu. Dengan
gadis cantik berlesung pipit atau gadis cerdas beralis tebal milikmu itu. Aku hanya
bisa berdoa yang terbaik untukmu; untuk kalian lebih tepatnya. Tidak sopan kan jika tiba-tiba aku menghubungimu dan
memintamu agar kembali? Jadi, aku memilih untuk melupakanmu.
Melupakanmu? Hahaha. Aku tertawa, hingga menangis, hingga tertidur. Besoknya aku terbangun, kemudian
melakukan hal yang sama. Hingga tertidur.
Aku mencoba
jatuh cinta selain denganmu. Tetapi maaf, ternyata aku gagal. Bahagia tidak
semudah melupakanmu kemudian mencari laki-laki lain untuk dicintai. Aku mencoba
untuk menjatuhkan hatiku selain ke hatimu. Tetapi maaf, ternyata aku gagal. Aku
mencoba tertawa dan bahagia dalam teduh mata selain matamu. Tetapi maaf,
ternyata aku gagal. Aku mencoba menikmati dendang alunan jemari selain jemarimu.
Tetapi maaf, ternyata aku gagal. Bahagia tidak semudah melupakanmu kemudian
mencari laki-laki lain untuk dicintai. Iya kan?
Setahun
kemudian, nampaknya semesta berkonspirasi untuk mempertemukan kita pada malam
itu; pada malam ulang tahun teman baikku. Kau datang. Aku datang. Kita tidak
saling berbicara pada waktu itu. Aku ingat, sudah hampir setahun kita tidak
berbicara. Lama ya? Hahaha. Bahkan lidah ini sudah kelu dan lupa bagaimana
caranya untuk menyebut namamu.
Aku lupa kronologi selanjutnya. Yang aku ingat,
sekarang aku sudah bertemu denganmu kembali. Aku bahagia.
Teruntuk,
Yang hari ini genap berusia 18 tahun.
Semoga selalu bahagia.
Subscribe to:
Posts (Atom)