Sunday, December 7, 2014

Cinta Tumbuh di Sudut Kota Yogyakarta



Cinta ini tumbuh di warung kopi pukul tiga pagi. Cinta ini tumbuh di sepanjang jalan Malioboro. Cinta ini tumbuh di antara gemerlap lampu Stadion Maguwoharjo. Cinta ini tumbuh di tempat yang biasa-biasa saja. Di setiap sudut kota Yogyakarta; angkringan nasi kucing, lorong-lorong sosrowijayan, landasan paralayang, derai pasir pantai Gunungkidul, nol kilometer, padepokan teater, warung kopi, alun-alun utara, warung bakmi jawa, pasar ngasem, ringroad, dan bunderan ugm.

Cinta ini tumbuh di tempat yang sederhana. Cinta ini tidak tumbuh di tempat yang menurut orang-orang istimewa.

Kami sering duduk bersama. Menikmati kepulan uap dari cangkir cokelat yang saling bercengkerama. Menertawakan hal-hal kecil dan konyol yang tidak seharusnya ditertawakan. Bercerita tentang semuanya, dari apha sampai zet. Rasanya seperti tidak pernah kehabisan topik, walaupun setiap hari kami bertemu. Entah, ada saja yang ingin diceritakan.

Pernah suatu ketika saya berfikir mungkin saya akan bertemu jodoh saya di antara peron-peron stasiun kereta api atau di basecamp pendakian. Saya tidak menemukannya di sana, tetapi dengannyalah kami menjelajahi tempat-tempat itu.

Saya pernah angkuh untuk tidak menonton bola karena saya tidak menyukainya. Tetapi dengannya, saya tidak keberatan saat menemani menonton tim kesayangannya. Dia begitu serius menyaksikan setiap tendang-sepak para pemain. Saya mencoba ikut menyaksikan, tetapi tetap tidak paham dan malah mengantuk. Kemudian saya memilih untuk memperhatikan matanya yang teduh dan hidungnya yang mancung.

Dia pernah angkuh untuk tidak mau mencoba semua produk olahan sapi. Tetapi setiap kali saya mengajaknya ke tempat semacam Kalimilk, dia tidak menolaknya.

Saya sering mengesalkan setiap kali ingin makan. Karena kami harus mengitari setiap sudut Jogja terlebih dahulu. Setelah berjam-jam berkeliling dalam kebingungan, saya memilih kembali ke tempat awal. Dia tidak marah. Saya tertawa, dia pun ikut tertawa.

Dia sering menyebalkan karena selalu tampil rapi, sedangkan saya hanya memakai celana kolor saat bepergian. Dia sering menyebalkan karena setiap kali saya berusaha tampil cantik, yang ada hanya ditertawakan. Dia sering menyebalkan karena setiap kali ingin bicara, tiba-tiba hanya diam dan mengalihkan pembicaraan. Dia sering menyebalkan karena hidungnya terlalu mancung, sedangkan hidungku tidak.

Dia bukanlah lelaki romantis pada umumnya. Setiap turun dari gunung, dia selalu membawakanku batu. Katanya, kalau membawakan batu tidak perlu mengeluarkan biaya. Kadang-kadang dia memberikanku bunga. Tetapi bukan bunga mawar yang dibeli di Kotabaru, melainkan bunga kecil yang dipetik di jalan. Dia lucu. Dan setiap ke-tidak-romantisan-nya membuat dia jauh lebih romantis daripada lelaki pada umumnya.

Saya merasa sangat dicintai atas kekurangan dan ketidaksempurnaan yang saya miliki. Saya merasa sempurna dengan hadirnya, dan merasa bahagia setiap kali bertemu dengannya. Untungnya, cinta tumbuh di tempat yang sederhana, yang biasa-biasa saja. Cinta tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk berfoya-foya. Cinta adalah 'saya' dan 'dia' yang berubah menjadi 'kami'. Cinta adalah Yogyakarta, di setiap sudut keromantisannya.



Seumpama Kami Anjing, Dengarkan Suara Kami

Puisi ini saya buat khusus dipersembahkan dalam perayaan Hari Aids Sedunia, 1 Desember 2014. Waktu itu, kami sedang sibuk menghadapi ujian akhir semester. Saya tahu bahwa semua siswa sedang tenggelam dalam tumpukan materi biologi. Namun seharian ini saya malah berkutat dengan kertas dan pensil. Hingga pukul 21.00, kertas ini masih kosong karena belum ada inspirasi sama sekali. Akhirnya pada tengah malam, puisi ini jadi dan siap untuk dibacakan di Jogja City Mall dalam acara malam final pemilihan Duta HIV/Aids 2014.


Seumpama kami anjing
Kami adalah anjing yang dipenjarakan suaranya
Tapi apakah engkau peduli?
Pada kami, pada anjing-anjing yang tidak pernah didengar suaranya

Kami di sini, berbaris rapi
Di antara anjing-anjing dan anjing berbulu domba
Kami berteriak
Dengan dahaga dan lapar yang menganga
Dengar, dengarkan kami

Batin kami menangis
Lirih tak berdaya dihempas kedzaliman
Para penjilat yang merampas keadilan hak-hak kami
Yang kemudian dipasung
Dan suara kami dipenjarakan dalam kubangan stigma dan diskriminasi

Dengar
Dengarkan kami
Dengarkan jiwa kami yang meronta tanpa suara
Dengarkan jiwa kami yang resah, gelisah, dan goyah
Dengarkan jiwa kami yang pecah, terbang melambung tak terarah
Kau kemanakan nasib kami?
Kau kemanakan nasib kami
Yang hanya seekor anjing lemas dan tertindas

Dengarkan kami, dengarkan suara kami
Bantu kami menanggung beban dalam badan
Bantu kami untuk berdiri
Bantu kami memerangi sakit ini

Kami bukan penderita HIV
Kami juga bukan penderita Aids
Karena kami tidak menderita kawan
Kami adalah Orang Dengan HIV dan Aids
Kami butuh dukunganmu
Kami butuh simpatimu
Kami butuh rangkulanmu

Dan seumpama kau mengira bahwa kami adalah anjing
Setidaknya, dengarkan segala keluh kesah dan suara kami

Wednesday, September 3, 2014

Merapi

Kali ini stasiun bukan menjadi tempatku melambaikan tangan. Pun terminal tak lagi bisu karena harus berpisah denganmu untuk sementara waktu. Sabtu sore kali itu kau mendatangiku,  berpamitan seraya melambaikan tangan. Aku tidak meminta apa-apa selain menjaga dirimu baik-baik, dan segera memberi kabar ketika sudah sampai di tempat tujuan. Kau mengangguk—mengiyakan permintaanku. Kemudian kau tersenyum dan membalikkan badan. Dan aku, tersenyum pada pundak tegapmu yang digelayuti tas carrier 100 liter.

Malam harinya, aku memandang langit dari atas fly over. Bintang berjajar rapi di antara bentang langit yang sangat cerah. Aku tahu, pemandangan dari atas Merapi pasti lebih indah. Mungkin saat ini kau sedang bersenda gurau sambil memandangi deret lampu kota Jogjakarta, atau mungkin kau sedang tertidur di antara bebatuan karena terlalu lama berisirahat. Jadi aku tidak perlu khawatir, kau pasti baik-baik di sana.

Tut tut tut. Aku membuka ponselku dan mataku terbuka lebar. Sebuah kabar yang sangat menyenangkan ketika mengetahui kau sudah kembali ke basecamp. Karena, tidak ada yang lebih romantis dari sebuah pesan yang dikirim dari basecamp pendakian. Sekalipun itu hanya satu atau dua kalimat.


Esoknya, kau membawakanku potret keindahan Merapi. Kau bercerita, aku mendengarkan dengan suka cita. Matamu sangat antusias menceritakan detail demi detail. Dan aku jatuh cinta pada setiap potong kata dan cerita, yang kadang kau sisipi tawa.

We can only appreciate the miracle of a sunrise if we wait in the darkness. -Bhismo

Camp Pasar Bubrah


 Mendaki merupakan petualangan yang sangat menyenangkan. Maka tidak akan ada kata lelah walaupun jauh jalan yang kau tempuh, berat beban yang kau pikul, dan pegal setiap ruas tubuhmu.

Akhirnya dapet foto fullteam, tapi cuma berempat doang.


Akan ada saatnya, kita berada di puncak yang sama, menikmati elegi senja, dan bercengkerama hingga malam tiba.
 

Monday, August 4, 2014

Selamat Ulang Tahun, Reg.

Aku ingin langsung duduk dan minum teh di ruang tamu milikmu. Tetapi, aku tahu bahwa itu tidak sopan. Seperti menyelonong rasanya, masuk tanpa ketuk malam-malam begini. Walaupun sebenarnya aku tahu, bahwa kamu tidak akan marah meski aku masuk lewat jendela, mencongkel atap rumah, ataupun lewat cerobong asap. Aku tahu bahwa kamu selalu mempersilakanku masuk, membuka pintumu lebar-lebar, dan tak pernah tertutup meski angin selalu mengganggu tidurmu.

Awalnya kita sama-sama anak kecil yang selalu merengek minta dibelikan balon. Aku selalu takut padamu karena wajahmu yang menyeramkan. Tiap kali berjumpa denganmu, aku selalu bersembunyi di balik baju Ibu. Menarik pakaian Ibu dan mengajaknya agar segera kembali ke rumah.

Aku selalu menarik pakaian Ibu dan menangis. Kemudian, kamu datang membawa tisu dan mengusap airmataku. Semenjak itu aku tidak lagi takut padamu. Aku tersenyum; dan tak pernah menangis lagi.

Kamu selalu mengajakku bermain petak umpet di pekarangan rumah nenek. Menjagaku seperti kakak; membagi biscuit milikmu agar aku tidak kelaparan, memarahi laki-laki lain jika ada yang usil menggangguku, menggendongku ketika aku jatuh tersandung batu.

Tiga tahun kemudian, Ibu mengajakku pindah rumah. Ia bilang pendidikan di kota lebih bagus. Aku menurut saja. Setelah itu kita tidak pernah berjumpa, berangsur-angsur menjadi saling lupa. Hingga detik bergulir menjadi tahun, cepat rasanya.

Aku ingin sesekali kembali ke desa. Sekedar mengunjungimu. Mengunjungi tisu yang pernah mengusap air mataku. Namun, kerap kali yang kutemui hanya canggung dan seutas kalimat ‘hai’ yang sudah basi. Aku lupa, lupa bagaimana bisa kita tertawa lepas dan puas seperti dulu. Aku lupa, lupa bagaimana rasanya menghabiskan waktu dari pagi hingga pagi lagi. Aku lupa.

Apa hidup memang seperti ini? Yang pernah begitu dekat, pada akhirnya akan canggung yang sangat amat. Aku tidak tahu, dan enggan mencari tahu.

Hari ini aku kembali ke desa lagi, menunggumu di pekarangan rumah nenek. Bukan untuk mengajakmu bermain petak umpet seperti dulu, tetapi hanya ingin mengucapkan sebuah kalimat. Selamat ulang tahun, teman kecil. Semoga hari baik selalu menemanimu.




Teruntuk,
Rega Aditya Doyosi.

Tuesday, July 8, 2014

Di Bawah Dinginnya Mahameru

Halo, saya sedang berada di puncak tertinggi di Pulau Jawa---puncak Mahameru; puncaknya para dewa.

Kalimat tersebut hanya sebatas angin mimpi dua tahun silam. Mimpi yang saya gantungkan di pintu kamar; bersama sederet mimpi-mimpi yang lain. Mimpi yang tidak pernah terbayang kapan akan terwujud. Mimpi yang berupa tulisan sederhana---dan kini menjadi nyata.

Terminal Giwangan pukul 8 malam terlihat cukup lara ketika kami bertiga harus meninggalkan kota ini. Kota yang terbuat dari air mata di setiap kali kepulangan dan kehilangan. Kota yang menyimpan banyak cerita duka dan bahagia. Yogyakarta; kota yang selalu istimewa, di setiap senja ataupun pagi buta. Bus Handoyo yang membawa tiga anak kecil dengan carrier masing-masing bergerak meninggalkan terminal pada pukul 20.20 WIB. Saya duduk di deretan kursi nomer dua, menempelkan sebagian wajah saya di jendela bus, seraya melambaikan tangan pada bayangan lelaki yang lebih dulu pergi sebelum bus datang memasuki pintu terminal.

Setelah 4 jam tertidur di dalam bus dengan fasilitas super ini, kami tiba di Kurnia Jawa Timur & Pusat Oleh-Oleh di deretan Jalan Raya Solo Ngawi KM 7 Telp (0351) 745 897. Karena bus yang kami pilih merupakan bus VIP maka dari itu lauknya pun tidak mengecewakan alias VIP juga. Setelah 30 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi.

Bus malam memang sangat syahdu, dengan lagu-lagu yang luar biasa merindu, dan suasana yang bikin pilu. Satu lagi, sensasi menaiki bus malam ini sudah seperti roller coaster. Dengan lihainya sang supir menyalip dan menikung dengan kecepatan yang menakutkan.


Saat membuka mata, ternyata saya sudah berada di Malang. Kota yang menyajikan deretan gunung-gunung cantik yang membuat saya akan selalu merindukan kota ini. Pukul 6 pagi saya tiba di Terminal Arjosari, kemudian bertemu dengan teman saya yang akan menemani ke Semeru, Hanif Ramadhani namanya.

Kami bergegas melanjutkan perjalanan. Beginilah rutenya:
1. Terminal Arjosari-Pasar Tumpang
    Menggunakan mikrolet (angkot) putih.
    Biaya: Rp 10.000/orang.
2. Pasar Tumpang
    Melengkapi berkas perjininan:
    - Surat keterangan sehat (bila belum membawa, bisa mencari di puskesmas Tumpang).
    - Fotokopi KTP/Kartu Identitas  (bila belum fotokopi, bisa fotokopi di dekat Alfamart Tumpang).
    - Materai 6000 (bisa dibeli di Alfamart Tumpang).
    Membeli kebutuhan sayur-mayur di dalam pasar untuk beberapa hari mendatang.
    Membeli jas hujan karena saya lupa membawa.
    Membeli tambahan logistik di Alfamart Tumpang.
3. Pasar Tumpang-Rest Area
    Menggunakan mikrolet (angkot) hijau toska.
    Biaya: Rp 6000/orang. Kalau ingin menyarter dikenai biaya Rp 50.000/angkot.
4. Rest Area-Ranu Pane
    Daerah terakhir yang memiliki sinyal sebelum tiba di Ranu Pane.
    Terdapat kamar mandi apabila ingin membersihkan diri terlebih dahulu.
    Menggunakan: Jeep Rp 550.000
                           Truk Sayur Rp 45.000/orang (dengan syarat harus terisi 15 penumpang).
    Jarak tempuh menggunakan Jeep sekitar 1 jam, apabila truk sayur tentunya lebih lama karena lambat.
    
Karena sepi pendaki (mendekati bulan puasa), selama berjam-jam hanya kami berempat yang berada di Rest Area. Akhirnya ada supir Jeep yang menawari kami dengan harga Rp 50.000/orang.

Selfie dulu biar gaul:))

Perjalanan menggunakan Jeep cukup memacu adrenalin, terlebih apabila naik di atas Jeep dengan kecepatan super. Jalanan berlubang dan berkelok-kelok menjadi sensasi tersendiri, apalagi banyak ranting pohon yang menggantung di tengah-tengah dan menabrak muka yang tidak awas. Pemandangan di kanan dan kiri cukup menghipnotis mata dan membuat saya berulang kali berteriak kagum. Di tengah perjalanan, biasanya supir Jeep akan berhenti sejenak untuk foto-foto dengan latar Bukit Teletubbies dan Lautan Pasir milik Gunung Bromo. Setelah puas berfoto-ria, lanjut lagi perjalanan yang membuat perut terkocak-kocak mual.

 Bukit Teletubbies

 Langitnya cerah.

Selamat datangnya di sini, tapi Ranu Pane-nya masih jauh.

Akhirnya kami tiba di Desa Ranu Pani. Desa yang masih asri dan damai dengan penduduk yang luar biasa ramah. Kami segera mendaftarkan rombongan, kemudian mengisi checklist barang bawaan.

Sebelumnya, kami makan dan menghabiskan siang di Ranu Regulo; 2100 mdpl.

Sebelum meninggalkan Ranu Pane.

Pukul 2 siang kami meninggalkan jejak-jejak menuju Ranu Kumbolo. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 memang sangat jauh, membuat jengkel karena tidak sampai-sampai juga. Pukul 17.30 kami tiba di pos 3, saat itu kondisi saya sudah melemah karena asam lambung yang tidak kunjung turun sejak tadi siang. Kami terpaksa beristirahat sejenak karena cuaca pun sedang hujan. Di tengah gelap dan dinginnya malam, Alvian sibuk mengeluarkan nasting dan menyalakan kompor. Berusaha memasak mie dan membuat minuman hangat agar saya tidak jatuh sakit.

Istirahat di Pos 3.

Pukul 20.30 kami berkemas, memakai jas hujan dan bergegas meninggalkan pos 3. Bintang yang berjajar di langit seakan berteriak riuh menyuruh kami agar segera tiba di Ranu Kumbolo. Begitu tiba di pesisir danau, kami masih harus mengitari punggungan bukit untuk tiba di Camp Area.

Di tengah dinginnya Ranu Kumbolo masih bisa narsis ya?:>

Malam itu ribuan bintang berjejer rapi di langit Ranu Kumbolo. Angin berhembus tanpa permisi dan membawa dingin yang luar biasa. Membuat kami kesusahan mendirikan tenda. Sementara Alvian, Diah dan Hanif sibuk mendirikan tenda, saya mengupas wortel dan kentang. Rencananya kami ingin membuat sup untuk menghangatkan tubuh yang menggigil sedari tadi, tetapi dinginnya malam itu membuat kami memilih tidur dan meninggalkan potongan sayur di teras tenda.

Ranu Kumbolo.

Dingin membalut rata danau dengan ketinggian 2500 mdpl tersebut. Membawa dingin yang menusuk dan angin yang tak henti-hentinya berpendar hingga ke dalam tenda. Dengan masih berbalutkan sleeping bag, saya membuka kantung tenda perlahan. Memandang luas danau dengan gulungan kabut di atasnya. Sesaat kemudian, mentari muncul dari balik punggungan. Rona merah pada langit yang membelah kedua bukit memancarkan cahaya ke sekeliling lembahan. Sungguh luar biasa saya memulai kehidupan pagi ini.

 Aku nggak paham sama Diah kalo kecemplung paling cuma tulung-tulung:|

Airnya sangat tenang saat masih pagi, jadi kaya cermin gitu.

Ranu Kumbolo; inilah surganya Gunung Semeru. Tempat peristirahatan para pendaki yang-akan naik atau turun-dari Mahameru. Danau seluas 14 hektar yang dikelilingi bukit demi bukit yang terjal dan gersang merupakan lukisan alam yang luar biasa indah.

Setelah puas menghabiskan pagi di Ranu Kumbolo, pukul 1 siang kami berkemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Melewati tanjakan cinta memiliki sensasi tersendiri. Seperti kata orang-orang, apabila terus melangkah tanpa istirahat dan tidak menoleh ke belakang, maka jodohmu adalah orang yang menjadi motivasimu saat melewati tanjakan cinta. Hahaha nggak masuk akal sih, tapi nggak papa lah buat lucu-lucuan. Lagipula medannya tidak seberat bukit-bukit di Merbabu, kok.

Selepas tanjakan cinta, rutenya adalah mengitari punggungan bukit. Namun kami memilih membelah sabana yang menyajikan padang lavender tersebut. Setelah puas berputar-putar dalam labirin lavender, kami tiba di Cemoro Kandang. Di sini kami bertemu dengan pasangan suami istri yang masih muda dan sangat romantis, asal Banjarmasin. Cantik dan tampan memang. Tetapi sayangnya, mereka sok tahu jadi saya agak sebal dengan mereka berdua.

“Aku baju dobel 6 sama pake 2 jaket aja masih kedinginan lho. Kaos kaki sama sarung tangan juga dobel-dobel nyampe mati rasa. Jam 4 sore di Kalimati aja dinginnya udah minta ampun. Sampe menggigil semua.”
“Kalian bawa sepatu nggak? Rasain sendiri gimana dinginnya di pasir-pasir nanti. Trus air sama bekalnya yang cukup, nanti mati kalian.”
“Ada yang udah pernah ke sini belum? Nanti deh rasain sendiri.”

Saya hanya tersenyum. Dalam hati saya ingin berteriak tepat di depan wajahnya, “Mbak, temen saya sudah 12 kali ke sini. Jadi mending mbaknya diem deh. Ke sini bawa porter aja blagu amat.”

Kami kembali berjalan setelah cukup bercengkrama di atas batang pohon tua yang sudah tumbang. Melewati hutan-hutan yang kering, gersang dan berdebu. Sayangnya, Hanif yang sejak tadi pagi sakit belum sembuh juga. Kami terpaksa beristirahat agak lama. Mengeluarkan kompor dan menyeduh minuman hangat.

Kami tiba di Jambangan pukul 5. Pemandangan Mahameru sudah jelas dari sini. Puncak para dewa tersebut seperti hanya tinggal beberapa langkah lagi. Kami segera melanjutkan perjalanan karena angin berhembus kencang menembus jaket yang kami kenakan. Membuat gigil dan bulu kuduk kami berdiri.

Puncaknya kayaknya deket ya dari Jambangan.

Sekitar satu jam, kami tiba di Kalimati. Mendirikan tenda, memasak nasi, dan menyeduh jahe. Hanif yang buru-buru mengunci diri di dalam sleeping bag menolak untuk makan ataupun minum obat. Saya khawatir karena nanti pukul 11 kami harus bergegas menuju puncak, tapi kalau kondisinya seperti ini tidak mungkin meninggalkan dia sendirian-kedinginan dan kelaparan-di dalam tenda. Saya acuh, memilih segera tidur karena waktu sudah menujukkan pukul 8 malam. Seperti membuang energi berulang kali menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu, namun dia memilih mengunci dirinya dalam kantung tidur.

Alarm dari salah satu handphone berdering membangunkan kami. Waktu menujukkan pukul 11 malam. Udara dingin menusuk menembus keempat kaos kaki yang saya kenakan. Masuk ke dalam tulang rusuk. Gemeretak gigil gigi geraham tak henti-hentinya menjadi pertunjukkan malam itu. Kami dihadapkan pada pilihan yang sangat berat; bertiga melanjutkan perjalanan ke puncak atau langkah kami harus terhenti di sini. Bagaimana pun, konyol rasanya meninggalkan teman yang sakit sendirian di tenda-yang sedari tadi pagi belum makan-dalam kondisi yang sedingin ini. Tetapi sorot mata Diah ingin sekali ke puncak. Alvian sedari tadi memilih diam. Aku menunduk, tidak berkata apa-apa. Hanif yang tidak bisa dibangunkan membuat suasana semakin dingin. Kami saling diam, membiarkan angin menggerogoti tulang-tulang kami. Saya tetap menunduk, dan akhirnya mengatakan, “Kalian berdua aja yang muncak. Aku di sini jagain Hanif.” Entah dalam keadaan sadar atau tidak saya mengucapkan kalimat tersebut. Membiarkan mereka berdua melanjutkan perjuangan hingga tapak tertinggi di tanah Jawa. Sementara saya di sini, tetap berada di ketinggian 2600 mdpl. Menikmati dinginnya Kalimati dari dalam tenda. Berdoa agar mereka berdua selalu diberi perlindungan, selamat menuju dan kembali dari puncak. Tepat tengah malam, saya menutup pintu tenda, melepas kepergian dua anak yang notabene masih adik kelas saya. Kembali membenamkan diri dalam balutan sleeping bag, mengunci diri rapat-rapat, membiarkan air mata mengering sebelum keluar menyentuh udara malam.

“Selamat tidur kembali, gadis kecil. Tidak apa-apa hanya sampai sini. Lebih baik menjaga daripada terjadi apa-apa.” ucapku, dalam hati.

Pukul 11 siang dan mereka belum juga kembali. Saya berulangkali keluar masuk tenda, sekedar memastikan keadaan luar. Kabut tebal menyelimuti Kalimati siang itu. Dinginnya embun menetes-netes di atas tenda milik kami. 30 menit kemudian, Alvian muncul dengan langkah gontai dan wajah pucat-menembus tebalnya kabut-sendirian.

“Aku hampir pingsan. 10 jam aku jalan.” ---ucapnya tanpa tenaga.
“Di mana Diah?” ---tanyaku cemas.
“Di belakang. Aku pisah sejak perjalanan muncak. Dia malah ngobrol sama mas-mas lama banget, yaudah tak tinggal.” ---jawabnya tanpa daya.
Sesaat kemudian, Diah muncul dari balik kabut. Tersenyum dengan sisa-sisa tenaganya. Berjalan menuju tenda. Lalu tidur.

Secapek itukah? ----tanyaku dalam hati.

Oleh-oleh dari Alvian sewaktu di puncak Mahameru.

“Baliknya besok ya. Aku pengen muncak nih.” ---ujarku dengan nada bercanda.

Siapa sih yang tidak ingin sampai di atas sana? Tanyaku dalam hati, sambil memandangi puncak Mahameru dari balik tenda.

Persediaan air kami habis, sehingga sampai sore hari kami hanya goler-goler di dalam tenda. Bolak-balik mengambil air di Sumber Mane sekitar 1 jam. Dalam kabut setebal dan sedingin ini siapa yang rela turun dan mengambil berliter-liter air; dalam jarak tempuh yang terbilang tidak dekat? Malas rasanya. Hingga pukul 5 sore yang kami lakukan hanya lempar-lemparan tugas untuk mengambil air. Akhirnya dengan sedikit memaksa, saya mengajak Hanif untuk mengambil air. Saya membawa 3 botol, sedangkan dia 4 botol. Mata air di sini sangat jernih karena mengalir; turun ke bawah. Dengan frekuensi yang tidak begitu deras. Jadi harus sabar saat mengisi ulang botol berukuran 1,5 liter tersebut. Terlebih kalau harus antri dengan pendaki lain, maka yang dibutuhkan hanya kesabaran ekstra. Selesai mengisi 7 botol, saya menyadari bahwa langit sudah mulai gelap. Dan bodohnya kami kelupaan membawa headlamp. Kami berjalan pelan-pelan, memasang mata awas, berhati-hati dengan setiap turunan dan jalan menanjak. Hanif tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan berusaha mengeluarkan isi perutnya. Namun berulang kali yang ia keluarkan hanya ludah, karena memang sejak kemarin pagi perutnya tidak diisi dengan nasi. Setiap kali dia berusaha untuk muntah, yang bisa saya lakukan hanya memijat lehernya, sambil memberi semangat untuk kembali ke tenda. Untungnya, di tengah perjalanan kami bertemu dengan porter dan pendaki lain. Pendaki tersebut menyapa kami, lalu saya balik sapa.

“Mari mas. Dari mana mas?”
“Malang mbak.”
“Nanti mau muncak ya mas?”
“Iya mbak, gimana?”
“Kalau saya bareng boleh nggak mas? Soalnya temen udah muncak tadi malem.”
“Boleh mbak, gabung aja. Tenda kita di deket shelter.”

Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan entah. Entah senang karena nanti malam mendapat teman untuk muncak, atau entah bingung karena keputusan yang saya ambil tanpa memikirkan lebih jauh resikonya.

Setelah melewati tanah-tanah menanjak dan kembali ke Kalimati, saya bingung dengan keberadaan tenda kami. Suasananya sangat gelap saat itu, dengan penerangan yang terbatas dari rembulanan yang muram. Kemudian saya berteriak memanggil Alvian dan Diah. Sesaat, Diah muncul dari balik pepohonan dengan headlampnya; kemudian menyusul dan membawa kami kembali ke tenda.

Setelah memasak beraneka ragam, saya membangunkan Hanif dan Alvian. Memaksa mereka untuk makan agar tidak drop. Saya juga memaksa Hanif untuk minum obat, dengan harapan besok pagi sudah sehat sehingga bisa pulang secepatnya. Pukul 11 malam, alarm handphone berbunyi samar-samar; membangunkanku. Sementara yang lain masih tertidur dalam kantung tidurnya masing-masing. Dengan kantuk yang masih menggelayut di kedua kelopak mata, saya berkemas-kemas menyiapkan segala kebutuhan termasuk air, logistik, P3K, kamera, jas hujan, slayer, kertas, spidol, dan tongkat kayu. Setelah merangkap baju yang saya kenakan, saya membangunkan Alvian dan Diah.

“Aku berangkat dulu ya. Kalo sampe jam 1 siang besok aku nggak balik ke tenda, kalian duluan aja ke Ranu Kumbolo.”
“Enggak mbak. Berangkat bareng-bareng pulangnya juga bareng-bareng. Hati-hati ya, mbak.” Entah Diah atau Alvian yang menjawab saya lupa, tetapi mereka pun menjawab dengan setengah sadar, mungkin karena masih kantuk.

Shelter dan tenda-tenda milik pendaki lain berada di seberang sabana. Saya berjalan sendirian-dalam dingin dan hembus angin-membelah sabana Kalimati. Saya mengetuk tenda demi tenda, bertanya apakah yang di dalam merupakan rombongan dari Malang yang tadi sore bertemu di Sumber Mane. Sampai akhirnya saya di depan tenda yang menjawab ‘iya’ kemudian membukakan pintu. Setelah dibuka ternyata salah orang. Kalo ini mah bapak-bapak yang stylish nan rempong dengan porter dan guidenya. Tetapi beliau malah ngajak bareng dan mempersilakan masuk ke tendanya terlebih dahulu. Saya disuguhi almond, roti, yogurt, milo, dan kopi. Terakhir, saya ditawari untuk memakai sunblock. Dalam hati saya bertanya, bapak ini mau piknik apa naik gunung sih?

Pukul 1.30 dini hari, saya keluar tenda dan memulai perjalanan agung. Melangkah dengan mantap. Melewati tanjakan demi tanjakan; yang akhirnya membuat nafas saya terengal-engal dan tidak bisa mengikuti langkah mereka. Sebentar-bentar saya berhenti, sebentar-bentar saya istirahat. Sementara saya tertinggal lumayan jauh dengan dua orang di depan, saya didampingi oleh mas porter, yang ternyata masih mahasiswa semester 4 di UIN Malang. Saya berulang kali meminta maaf karena sudah merepotkan, tetapi dia malah menjawab, “Santai aja, mbak. Saya juga sambil istirahat kok.” Saya tahu bahwa bapak rempong di depan sudah membayar mahal porter dan guide ini, dan beliau sangat terobsesi dengan sunrise di puncak Mahameru, makanya saya sangat merasa bersalah ke pada beliau.

Setelah 2 jam melewati tanjakan yang lumayan menguras energi sekaligus nafas, kini kami tiba di batas vegetasi. Jalur yang kami lewati merupakan jalur baru, yaitu dengan tidak melewati Arcopodo, karena selain daerahnya yang rawan runtuh juga lebih lama karena harus mlipir punggungan dulu. Selepas batas vegetasi, saya berhenti sejenak, memandang dari bawah ke atas, perlahan. Saya terdiam dan hanya berkata waw---tanpa suara. Saya menapaki pasir-pasir dengan elevasi kemiringan hampir 60 derajat. Setiap 3 langkah turun 2 langkah, terkadang malah kembali ke posisi awal, sehingga apa yang saya lakukan hanya sia-sia belaka.  Lebih menyakitkan lagi kalau sudah berjalan 5 langkah tetapi hanya terhitung 1 langkah. Lantas kapan saya sampai di atas? Hah. 1,5 jam sudah saya berjalan menapaki pasir-pasir Mahameru dengan tenaga dan nafas yang hampir habis. Saya hampir putus asa sampai akhirnya menemukanan dua orang lelaki yang sedang duduk beristirahat di tengah-tengah bukit pasir. Saya menyapa, kemudian kedua lelaki tersebut memberi semangat. Saya hanya menjawab, “Mbok aku digendong sampe atas, mas. Udah nggak kuat.” Saya hanya iseng berkata tetapi kedua lelaki baik tersebut-entah karena kasihan atau karena memang baik-menuntun saya langkah demi langkah. Dengan sendirinya saya terpisah dengan rombongan bapak rempong tersebut. Lelaki satunya membuatkan tapak-tapak kaki secara zig-zag, lalu yang satunya menjaga di bawah saya. Kemudian tangan saya ditarik. Begitu seterusnya, hingga kami seperti kawan baik yang saling bahu membahu padahal belum saling kenal. Salah satu dari mereka memperkenalkan diri, Fitriyanto namanya, yang ternyata adalah petugas dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya seperti dipertemukan dengan malaikat milik Tuhan. Saya tersenyum, tak henti-hentinya heran sambil mengucap syukur. Dan kalimat yang sedari tadi menyesaki pikiran saya hanyalah: kok bisa?

Saya mengajak kenalan lelaki satunya, tetapi dia berkata nanti saja di puncak biar romantis. Saya hanya tertawa. Bang Fitriyanto ini sangat ngantuk karena tadi belum tidur, makanya dia berjalan ke puncak mendului kami---lalu tidur di sana. Maka dengan sabar lelaki satunya menuntun jalan saya pelan-pelan. Berungkali tangan saya ditarik karena kaki yang sudah tidak kuat untuk melangkah. Tiga perempat bagian pasir sudah terlewati, dan mentari mulai menampakkan dirinya. Semburat oranye membelah angkasa, berada di atas gumpalan-gumpalan awan putih nan cantik. Satu persatu bintang menghilang. Saya mengawali pagi ini dengan potret pemandangan yang sangat luar biasa. Dan saya juga baru bisa melihat wajah lelaki yang sedari tadi sabar menuntun saya. Maka apakah ada yang lebih baik dari lelaki yang kenal saja belum, tahu wajahnya saja belum, tetapi mau menolong gadis kecil yang cepat capek, mengeluh, dan seringkali tidak kuat melangkah---yang baru saja ditemuinya dini hari di bukit pasir milik Mahameru? HAHAHA.

Sunrise di atas awan, dari bukit pasir Mahameru.

Perjalanan kurang 100 meter, tetapi saya benar-benar tidak kuat untuk menggerakkan kedua kaki saya. Saya sudah menyerah dan menyuruh lelaki tersebut melanjutkan perjalanan ke puncak sedangkan saya akan menunggu di sini. Tetapi lelaki itu malah memilih membawakan tas carrier yang saya bawa dan menarik tangan saya dengan sisa-sisa tenaganya. Saya sudah hampir menangis karena tidak kuat tetapi dia selalu berkata: kamu nggak mau lihat awan yang cantik itu dari atas sana? Ayo kurang dikit. Saya hanya menggeleng sambil mengeluh tidak kuat. Lalu dia berkata lagi: masa kalah sama arek Jakarta. Masa kalah sama bule-bule itu. Saya menggeleng lagi. Dia berkata: Ayo bang Fitri udah nunggu di atas, nggak malu sama dia? Saya hanya diam dan memaksakan kedua kaki saya untuk tetap melangkah. Tidak ada tenaga lagi. Satu langkah melorot, satu langkah melorot. Dan lelaki itu hanya tertawa. Ayo sini tangannya. Saya mengulurkan tangan kanan saya.

Sudah 1 km vertikal saya tempuh dengan kemiringan yang luar biasa, akhirnya ketika saya menginjakkan kaki di puncak, saya hanya berteriak hampir menangis---tidak karuan rasanya. Saya langsung merebahkan badan saya di tanah Mahameru, tak sanggup berkata apa-apa. 6 jam 15 menit perjalanan yang menguras segalanya terbayar dengan pemandangan yang sangat cantik. Langit begitu cerah dan matahari begitu indah. Deretan gunung Arjuno, Paderman, Welirang, Bromo, Raung, Argopuro mengitari tanah tertinggi Jawa ini. Gumpalan awan putih berjajar rapi memenuhi sudut angkasa. Lautan selatan dan utara seolah bersatu dengan debur ombak yang mempesona. Deretan kota yang terlihat dari atas menambah kesan eksotis lukisan alam pagi ini. Ditambah dentuman kawah yang meletus tiap 15-30 menit sekali dan mengeluarkan asap, memenuhi bibir kawah. Tuhan, pesona yang saya saksikan pagi ini sungguh luar biasa sempurna. Saya benar-benar merasa kecil, Tuhan.

Thank you, 3676 mdpl.

Dua pahlawan saya; bang Jep (kanan) dan bang Fit (kiri).

Lebih dari 100 menit saya menyaksikan keagungan Tuhan tersebut, dan tidak henti-hentinya mengucapkan Subhanallah. Saya turun pukul 08.20 dengan perasaan puas sepuas-puasnya, senang sesenang-senangnya, bangga sebangga-bangganya, haru seharu-harunya. Menuruni bukit pasir ini dapat saya tempuh dengan waktu 35 menit. Betapa jengkelnya bila dibayangkan perjuangan naik selama 4 jam lebih hanya dibayar dengan berseluncur-ria selama 35 menit.

Sebelum seluncuran, tapi badan udah capek duluan.

Oiya sebelumnya, saya sudah berkenalan dengan lelaki satunya, Jefri namanya. Saat berseluncur-ria di bukit pasir dia berulang kali berteriak, “Gue keren karena turunan, kalo udah nanjak ya jelek lagi.”

Wah setuju bang, gue banget itu hahahaha. Lalu saya ikut meneriakkan kalimat tersebut.

Kaki saya sudah terlanjur sakit akibat naik tadi pagi, sehingga sekarang susah digerakkan untuk menuruni tanah-tanah berdebu selepas bukit pasir. Kami istirahat sejenak. Bang Fitri memberiku krim mati rasa agar kakiku tetap bisa berjalan. Saya melepas ketiga kaos kaki yang saya kenakan, mengoleskannya mengitari kaki.

Kurang dari 1 jam, saya tiba di Kalimati. Saya berjalan menuju tenda; dengan senyum dan langkah gontai, tanpa tenaga. Mereka bertiga menyambut kedatangan saya, menanyakan kabar dan perjalanan ke puncak. Saya bercerita antusias; dengan nafas terengal-engal.

Dengan sisa tenaga sejak tadi malam, saya dan Diah harus turun ke Sumber Mane untuk mengambil air. Sedangkan Alvian dan Hanif membereskan tenda seisinya. Selepas mengisi air, saya baru merasakan lelah yang sangat, disorientasi, tidak bisa melangkahkan kaki, dan tidak bisa berucap. Saya lupa jalan pulang dan tidak bisa berfikir ataupun mengingat. Saya dan Diah sempat berdebat panjang ketika menyadari bahwa kami sudah tersesat jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke posisi terakhir yang kami ingat, dan mencoba jalan satu-satu.

Tenda sudah ter-packing. Sungguh kenyataan yang menyakitkan ketika menyadari bahwa kami harus segera turun ke Ranu Pane. Bukan karena saya mencintai tempat ini dan ingin berlama-lama di sini, tetapi karena kondisi saya yang berada dalam posisi sangat lelah, yang sejak jam 11 tadi malam belum beristirahat. Terlebih kedua kaki saya yang tidak henti-hentinya menapaki tanjakan dan turunan Semeru. Kalau bisa menjerit, mungkin kaki saya sudah menangis meronta-ronta dengan kekuatan 50.000 desibel. Sedangkan perjalanan Kalimati-Ranu Pane terbilang cukup jauh. Sewajarnya pendakian-setelah turun dari puncak-mereka akan menginap satu malam lagi di Ranu Kumbolo. Tetapi logistik dan persediaan gas yang menuntut kami segera pulang ke basecamp.

Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Kalimati.

Pukul 3 sore lebih 20 menit, kami berjalan meninggalkan Kalimati. Melewati hutan yang kering dan berdebu. Kalau tidak memakai masker, saya kasihan dengan organ pernafasan saya. Dengan sendirinya kami terpisah-pisah sesuai kemampuan dan sisa tenaga. Toh gunung ini sedang sepi-sepinya karena bulan puasa, jadi jarang sekali menemui pendaki yang naik ataupun turun. Saya melangkah pelan-pelan sekali, tetapi tidak istirahat. Diah dan Hanif-yang memiliki tenaga paling banyak-memilih berlari ketika menuruni Semeru. Sementara dengan sabarnya, Alvian berada di belakang saya dan membawakan tas milik saya. Membiarkan saya memilih secepat apa saya melangkah. Bertanya, apakah saya masih kuat atau tidak. Saya kagum dengannya, lelaki yang pernah meninggalkan kelompok saat perjalanan menuju puncak Merbabu ternyata begitu peduli dengan temannya---terlebih perempuan. Sejak awal perjalanan pendakian dia memang tidak pernah membiarkan perempuan berjalan sendirian. Di hari pertama waktu itu, dia sering kali memarahi Hanif yang berulang kali meninggalkan Diah sendirian, atau menyusul saya ketika berjalan sendirian dan tidak lagi bersama Hanif.

Di Cemoro Kandang ada penduduk Tengger yang berjualan makanan, dan satu yang harus di coba-ketika berada di batas antara hutan dengan sabana-adalah gorengan dengan sambal bala-bala yang luar biasa pedas. Satu gorengan dibandrol dengan harga 2 ribu rupiah.

Oleh-oleh dari bang Jep saat melewati padang lavender, selepas Cemoro Kandang.

Kami tiba di Ranu Kumbolo sudah hampir petang. Semburat langit di antara dua bukit sangat cantik, gradasi biru ungu dan merah muda. Satu hal, Ranu Kumbolo ini sangat sepi! Hanya ada 4 buah tenda di sini. Tidak seperti biasanya, tenda-tenda menyesaki setiap sudut tempat hingga terlihat seperti sebuah ‘desa’ pendaki. Di situ kami bertemu bang Jep dan bang Fit, kami ditawari bermalam di sini tetapi kami tolak karena kami memang bertekat ingin sampai di basecamp malam ini.

Pukul 21.30 saya berada di akhir tenaga, tidak bisa melanjutkan perjalanan ini karena hampir 24 jam saya belum beristirahat dan kaki saya belum berhenti melangkah. Akhirnya kami mendirikan tenda di pos 1. Bermalam di situ. Tanpa logistik.

Pagi hari kami bangun dengan perasahaan maha malas. Karena malam ini bisa tidur dengan udara yang tidak begitu dingin, kami sangat nyaman dan enggan bergegas keluar dari kantung tidur. Saya iseng menyalakan handphone, ternyata di sini ada sinyal. Kemudian saya mengirimkan pesan singkat, sekedar kabar ke pada orang-orang yang saya sayangi, agar mereka tidak khawatir. Ibu saya menelfon dan kami bercakap lumayan lama. Hebat ya di sini, padahal di Ranu Pane tidak ada sinyal.

Walaupun belum terisi makanan, tetapi kondisi saya sudah lumayan baikan karena kaki saya sudah beristirahat nyenyak semalam. Setelah sabar berjalan melewati jalan setapak yang lumayan jauh, akhirnya kami tiba di Ranu Pane. Saya sampai bingung harus berucap apa, senang rasanya, haru rasanya, bahagia rasanya, capek rasanya, semua campur aduk menjadi satu.

SAYA BAHAGIA. TERIMAKASIH:>

Catatan kecil:
1. Jangan lupa membawa masker, sarung tangan, sepatu dan baju rangkap jika berniat ke puncak.
2. Perhatikan bekal, karena begitu sampai puncak akan terasa lapar sekali.
3. Sebelum berangkat ke puncak kita harus mengisi perut terlebih dahulu agar mempunyai energi yang kuat.
4. Semakin tinggi, oksigennya semakin berkurang. Bagi yang belum biasa, kepala biasanya pusing.
5. Jangan pernah ada kata menyerah!
6. Jangan tinggalkan sampah di gunung, bawa turun kembali ke Ranu Pane.
7. Jika buang air kecil/besar jangan mencemari mata air.
8. Jika buang air besar gali dulu tanahnya, lalu dikubur. Jangan di sembarang tempat.
9. Setelah dari Semeru, jangan langsung pulang ke Jogja. Berkelilinglah dahulu di sekitar Kota Malang jika bekal uangnya mencukupi.
10. Keberangkatan menggunakan bus Handoyo Rp 115.000/orang.
      Kelas: VIP
      Fasilitas: toilet dalam, makanan enak.
      Dari terminal Giwangan 20.20, tiba di terminal Arjosari 06.05.
11. Kepulangan menggunakan bus Rosalia Indah Rp 105.000/orang.
      Kelas: Eksekutif
      Fasilitas: sandaran kaki, bantal, selimut, air mineral saat kedatangan, toilet dalam, makanan padang.
      Ditambah pendataan tempat tujuan saat awal keberangkatan.
      Saat kita tertidur, akan dibangunkan oleh petugas ketika sudah sampai di tempat tujuan pilihan.
      Bis ini juga akan berhenti di rumah makan waktu sahur.
12. Biaya pendakian Gunung Semeru untuk satu orang: 17.500/hari kerja. 22.500/weekend dan hari libur.

Tuesday, July 1, 2014

Rindu yang dikirim dari Malang untuk lelaki yang berada di Jogja

Selamat malam, tuan.

Sebelumnya, saya tidak akan bertanya kabar karena saya tahu bahwa kau selalu dalam keadaan baik. Jadi, sedang apa di sana? Saya rindu.

Salam,
Gadis kecilmu.

Monday, June 23, 2014

Selamat Ulang Tahun, Dyandra.

Teruntuk,
gadis cengeng yang sekarang sudah besar.

Dys, hidup adalah perkara pergi dan ditinggal pergi. Namun saat yang lain pergi, aku berharap aku masih memiliki tempat yang sama di ruang hatimu.
Dys, akan ada saatnya kita terjatuh dan tidak ada tangan yang menopang, tidak ada bahu untuk bersandar, tidak ada kaki yang menemani melangkah. Saat itulah kita harus belajar mandiri dan berdiri sendiri.
Dys, setiap manusia tidak pernah sama. Mereka berubah menjadi lebih baik, pun kau.
Dys, aku tidak meminta apapun padamu, aku hanya berharap  malaikat turut mengaminkan setiap doa yang kau pinta.

"tidak ada yang lebih tabah
dari hujan Bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu." -Sapardi

Tidak ada yang lebih tabah,
dari gadis cengeng yang sekarang sudah besar.
Selamat ulang tahun, sayang.

Dari,
gadis kecil yang berharap masih memiliki tempat yang sama di ruang hatimu.


-ditulis pada dini hari 22 Juni 2014, di kediaman rumah Alfu.

Saturday, June 14, 2014

Aku Suka

Tuan, beribu rindu yang saya miliki tiba-tiba menguap dalam pertemuan singkat malam ini. Kau hadir kembali dalam semestaku, masih dengan tampang yang sama, masih dengan aroma yang senada, masih dengan senyum paling sempurna.

Tuan, aku suka bagaimana kita saling bercerita hingga jalanan tak seramah milik senja. Aku suka bagimana kita saling tertawa dalam detik detak jam yang hampir menunjukkan tengah malam. Aku suka bagaimana kita saling melirik malu-malu di kursi ruang tamu. Aku suka, pada setiap cara Tuhan memisah dan pertemukan kita—sampai waktunya nanti.

Wednesday, June 11, 2014

Trip to Bali

 Sangeh.

 Pantai Sanur.

 Hutan Mangroove.

 Pas mau naik flying fish di Tanjung Benoa.

 Lagi bacain puisinya Agus Noor nih sama Rega, di pendopo hotel.

 Monumen Bom Bali 1. 

 Legian st.

 Selfie dulu sama bule.

 Hard Rock Cafe.

 Kalo yang tadi cafenya, yang ini di depan hotelnya.

 Kuta, dini hari.

 Di depan beachwalk.

 Discovery Mall.

 Lupa di mana:|

 Perjalanan pulang nih.

Good bye, Bali. See you next trip.

Sunday, June 1, 2014

Hujan Bulan Juni

“tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu” 

- Sapardi Djoko Damono

Thursday, May 29, 2014

Argopuro

Stasiun Lempuyangan.

Minggu, 13 April 2014 menjadi awal mula perjuangan kami. Setelah sebelumnya kami tertawa ria di gerbong 3 Kereta Api Sri Tanjung jurusan Jogja- Probolinggo selama 8 jam 15 menit. Begitu tiba di kota kecil-yang menyajikan berbagai becak unik-ini, kami ditawari untuk menyarter Bison ke Bremi dengan harga 550rb. Tetapi bukan Bremi tujuan kami, kami memilih Baderan-yang terletak di Kabupaten Situbondo-sebagai tonggak awal pendakian kami. Perjalanan menuju Baderan dapat ditempuh sekitar 3 jam dengan harga bison-yang awal mulanya 750rb menjadi-600rb. Akhirnya kami tiba di depan pintu, yang ternyata ruangan dengan ukuran kecil dengan 1 kamar mandi, tanpa fasilitas yang memadai. Tidak ada warung makan ataupun warung yang menyediakan perlengkapan pendakian. Apa ini yang disebut basecamp? Kami terheran-heran tidak karuan.

Pukul 9 pagi kami mulai meninggalkan basecamp, berjalan pelan-pelan menapaki bebatuan menanjak. Kami ketinggalan satu langkah, ternyata sang surya sudah berdiri tegap di atas dataran tinggi dengan ribuan air terjun ini. Membuat perjalanan awal kami penuh peluh dan dahaga yang menyiksa.

Perjalanan awal, sebelum mencapai Makadam.

Senja di Mata Air II membuat kami lupa akan rasa capai sejak dua hari silam. Pohon-lebat-yang menjulang tinggi seolah menjadi benteng dan mengitari camp; tempat kami mendirikan tenda. Tempat ini tidak terlalu lebar, tetapi cukup untuk mendirikan 4 tenda. Sejak sore tadi angin berhembus dramatis, membawa dingin yang seakan tidak mau ketinggalan untuk menyambut kedatangan kami. Banyak sekali nyoy-nyoy di sini; hewan kecil yang terbang bergerompolan dan suka menggigit bagian kulit yang terbuka. Pada awalnya kami memang merasa terganggu dan sulit beradaptasi. Atau mungkin, kehadiran kami yang terlalu asing bagi kawanan mereka.

Senja di Mata Air II.

Ketika malam tiba seutuhnya, kami segera membuat perapian di depan tenda untuk menghangatkan badan. Kami memasak seperti biasa untuk memulihkan tenaga; menanak nasi pada nasting, membuat sup kentang, dan menggoreng kornet dengan telur. Tetapi Bram sibuk dengan jahe yang ia bakar pada kobaran api, kemudian meracik dan menyeduhnya.

Perapian yang dibuat dengan kayu seadanya.

Bulannya cantik.

Purnama tepat di atas kepala ketika saya memutuskan untuk masuk tenda dan memilih tidur lebih dulu. Ada 6 orang yang masih terjaga dan sibuk bercengkrama. Mungkin sebagian dari mereka sedang memandangi betapa cantiknya Dewi Nawang Wulan malam ini.

Ini adalah malam kedua kami di Argopuro. Sebelumnya, kami bermalam di bawah Mata Air I. Hanya sepetak tanah sempit tanpa sumber air, namun cukup nyaman untuk beristirahat karena tidak begitu dingin. Seharian itu kami diguyur hujan, dan medan yang kami lalui merupakan jalan air dengan tapak menanjak yang sangat sempit dan licin. Track yang monoton dan membosankan ini menjadi penyebab gagalnya kami menempuh Mata Air I di hari pertama. Tetapi kami tetap melangkah dengan tabah menapaki tanah-tanah basah.


Saat di Mata Air I dan bertemu dengan rombongan dari SMA N 3 Malang.

Pagi di Mata Air II saat saya masih terlelap dalam pelukan sleeping bag.

Saya mengawali pagi ketiga di Mata Air II ini dengan perasaan yang maha-malas. Berulang kali saya mengeluh; katanya jalannya datar? Katanya vegetasinya cantik? Katanya katanya katanya dan sederat kalimat yang akhirnya membuat rombongan kami terpisah menjadi dua. Rombongan pertama berangkat pukul 9 dan rombongan dua berangkat pukul 11. Setelah Babi berdamai dengan tubuhnya yang sepagian menggigil karena masuk angin, kami meracik kopi dan jus tomat untuk teman perjalanan, kemudian berjalan pelan-pelan; seperti hari-hari sebelumnya.

Potret kemalasan kami saat berada di Mata Air II.

Walau malas, kami tetap harus packing dan melanjutkan perjalanan.

Setelah beranjak pergi dari Mata Air II, kami kembali dipertemukan dengan jalan air yang sempit dan menanjak. Alhamdulillah tidak hujan, jadi jalan ini tidak berubah menjadi plosotan yang dasyat. Setelah beberapa tapak, kami memasuki kawasan hutan lumut. Tempat ini terbilang lembab dan memiliki curah hujan yang tinggi. Sehingga di setiap sudut dipenuhi lumut yang tumbuh jaya dan merajalela. Selepas dari hutan lumut yang gelap dan lembab, kami berjalan melewati bukit-demi-bukit, sabana-demi-sabana, dengan vegetasi yang tersusun rapih dan cantik pada setiap meternya. Ribuan tanaman liar dengan bunga warna-warni tumbuh mengesankan membentuk taman. Ada juga hamparan Verbena brasiliensis yang sukses membuat saya merasa kalah cantik dengan tanaman ungu-yang kebanyakan orang menyebutnya Lavender-ini.

Mulai memasuki hutan lumut yang basah dan lembab.

Kawasan hutan lebat yang membuat saya merasa kecil.

Keluar dari hutan lumut dengan perasaan gembira.

Sabana sebelum mencapai Cikasur.

Hamparan Verbena brasiliensis, yang sering disebut dengan padang Lavender.

Perjalanan dari Mata Air II menuju Cikasur sekitar 4 jam. Setelah puas dibuat kesal dengan tanaman jancukan  seharian (bentuknya seperti daun ganja dengan ribuan duri lembut pada daun dan batangnya, bila menyentuh durinya pelan saja rasanya seperti disengat lebah), akhirnya kami dimanjakan oleh hamparan sabana maha luas nan cantik yang disebut Cikasur. Di bagian bawah terdapat aliran sungai yang sangat jernih dengan banyak selada air di sisi kanan dan kiri. Tanpa pikir panjang, kami langsung membenamkan diri setelah tiga hari tidak mandi. Airnya memang sangat segar, tetapi angin yang berhembus tanpa kira-kira membuat menggigil secara tiba-tiba, kemudian kami menyudahi; bergegas naik dan mendirikan tenda.


Ini jancukan. Cuma di Argopuro bisa ngerasain tanaman dengan sensasi yang luar biasa.

Begitu ada air, Musa langsung beraksi.

Sore yang damai di Cikasur.

Sejenak beristirahat di sisa reruntuhan bangunan jaman Belanda, terdengar suara knalpot meraung-raung. Sebuah motor tiba-tiba melintas di tengah sabana yang maha luas, memecah syahdunya angin Cikasur dan membuat saya tergagap tidak mampu berkata apa-apa. Sebenarnya dari awal saya sudah paham bahwa Baderan-Cikasur dapat ditempuh menggunakan motor, tetapi saya tidak siap menyaksikan petualangan agung yang telah kami lalui selama 3 hari dengan mudahnya disalip oleh kuda Jepang, yang mungkin baru tadi pagi berangkat.

Ketika malam mulai menyelimut dan terang yang tersisa hanya berasal dari cahaya bintang yang perlahan mulai memenuhi langit Cikasur, tempat ini berubah menjadi lebih dramatis. Saya dan Musa kemudian memberanikan diri menerjang angin dan memilih berjalan-jalan. Sebentar saja ternyata badan saya sudah menggigil tidak karuan sampai tidak kuat memegangi senter, kemudian kami memilih kembali ke tenda dan tidur.

Selamat pagi, Cikasur.

Mentari muncul di ufuk timur, membelah hutan cemara, dan membawa panas yang cukup untuk mengeringkan setumpuk baju basah yang digantungkan di batang-batang pohon. “Ada merak!” teriak Musa yang sepagian sudah berkalung DSLR. Dia lantas berlarian membelah sabana, merayap seolah sedang berada dalam arena perang, berharap agar burung cantik tersebut tidak terbang dan menghilang. Sekitar 30 menit setelahnya, Musa kembali dan memamerkan hasil jepretannya. “Aku dapat foto waktu meraknya sedang terbang.” You’re the lucky one, Mus. Karena memang tidak semua orang bisa melihat merak legendaris Cikasur tersebut.


Sarapan pagi di shelter Cikasur.

Dari Cikasur menuju Cisentor ini banyak jalan yang tertutup batang tumbang dan ribuan ilalang. Di perjalanan kami disuguhi buah seperti murbei dan tomat mini. Kami memanen dengan suka cita dan memakannya. Setengah tiga kami tiba, kemudian merefill air minum karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Rawa Embik. Tetapi sebelumnya saya menyempatkan diri untuk mandi di bawah derasnya aliran air terjun. Setengah lima sore kami siap melanjutkan petualangan lagi. Berjalanan beriringan membelah perbukitan, menyusuri lembah dan sabana. Malam datang prematur dan kami belum tiba di Rawa Embik. Kami terpaksa melakukan perjalanan malam walaupun kami tahu bahwa hal itu tidak dianjurkan di sini. Sekali saja salah jalan, maka kami bisa tersesat dan berputar-putar di dalam hutan. Kontur Pegunungan Hyang yang membentengi Argopuro ini benar-benar sepi, itulah sebabnya mengapa gunung ini tetap lestari, tidak seperti kebanyakan gunung di Jawa yang lambat laun berubah menjadi alun-alun. Hutan Edelweiss tidak lagi cantik saat malam hari, sekumpulan dari mereka menjadikan dirinya lebih mistis dari apapun. Pukul 19.00 WIB kami tiba, ternyata rombongan depan sudah mendirikan tenda dan Alvian pun sibuk dengan api unggunnya. Saya akui, dari malam-malam sebelumnya, kali ini yang paling dahsyat, melebihi dinginnya Lawu yang notabene gunung paling dingin setanah Jawa.


Sebelum tiba di Cisentor.

Shelter peristirahatan di Cisentor.

Mari membersihkan diri selagi ada air yang tumpah-melimpah.

Saat lelah dan rindu rumah, kami harus tetap bersabar demi menyelesaikan petualangan agung ini.

Ribuan dandelion ini menemani kami saat menyinggahi Rawa Embik.

Langitnya cantik.

Kami meninggalkan Rawa Embik dan bergerak menuju Simpang Puncak.

Setelah menghabiskan banyak waktu untuk menikmati mata air terakhir di Gunung Argopuro, tepat pukul 12 siang kami meninggalkan Rawa Embik dan berjalan menuju Simpang Puncak, yang kebanyakan orang menyebutnya dengan Savana Lonceng. Sekitar dua jam kami tiba di sabana persimpangan ketiga puncak tersebut; Argopuro, Arca, Rengganis. Kami mendirikan tenda dan membuat perapian sederhana karena bahan bakar sudah menipis.

Perapian sederhana yang kami buat dengan kayu-kayu seadanya.

Pancinya nyampe gosong gitu. Kasihan:|

Syahdunya beribadah dalam balutan kabut di Simpang Puncak.

Sekitar pukul 5 sore, kami menapaki tanah terjal menuju puncak Argopuro untuk menyaksikan sunset. Tetapi hanya kekecewaanlah yang ada karena bagian puncak dikelilingi rapat oleh pohon-pohon dan yang kami lihat hanya semburat oranye di antara batang cemara. Kami turun, tetapi Musa dan Alvian memilih berjalan ke puncak Arca, berusaha mencari celah untuk menyaksikan tenggelamnya sang mentari.

Puncak Argopuro.

Senja di barisan Puncak Argopuro dan Arca.

Malam itu angin berhembus kencang. Kami duduk melingkar di depan perapian sambil menanti datangnya sang rembulan. Bercerita tentang hal-hal konyol dan menyebalkan dari hari pertama pendakian. Mendaki itu bukan selalu tentang puncak. Melainkan tentang kebersamaan yang tercipta di antara kita. Tentang bagaimana harus mengerti, berbagi, dan mengendalikan diri. Tentang bahu yang siap menopang saat ada yang lelah. Tentang kaki yang siap melangkah lebih tabah. Tentang tanah tempat kita merebah. Tentang dingin. Tentang angin. Dan yang terakhir, tentang air yang mengalir.

Sambil menunggu bulan naik ke permukaan, kami bergiliran membaca puisi milik Agus Noor, kemudian tertawa-tawa sambil menikmati hangatnya api yang berkobar di depan kami. Satu persatu dari kami beranjak dan memilih tidur karena hampir tengah malam. Namun saya dan ketiga teman saya tetap berada di luar tenda, bercengkrama dan menikmati malam syahdu di simpang puncak hingga pagi tiba.

Selamat pagi, Rengganis.

Pagi pukul lima kami bergegas berkemas untuk menuju Puncak Rengganis, yang konon katanya sangat romantis bila dinikmati saat matahari terbit. Di Puncak Rengganis terdapat kawah dan bau belerangnya masih menyengat. Di sini juga terdapat bekas petilasan Dewi Rengganis; yang pada jaman dahulu pernah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Entah bagaimana ceritanya, namun inilah yang membuat Pegunungan Hyang-yang mengelilingi Gunung Argopuro-terkenal dengan kisah mistisnya.

Mukanya klimis kaya cemplon gosong, iya kan? Nggak papa, yang penting pake kebaya:))

Setelah turun dari Puncak Arca.

Setelah dari Puncak Arca dan kembali ke tempat camp; bersiap untuk makan.

Tepat pukul dua belas, kami berkemas. Logistik yang menipis menuntut kami untuk segera turun ke Bermi tanpa bermalam di Danau Taman Hidup. Awalnya kami sedikit ragu karena dalam rombongan terdapat 3 perempuan, tetapi kami tetap yakin untuk sampai ke Bermi malam ini juga. Rombongan kami terpisah secara alami karena memang begitu keadaannya. Karena jalan yang kami lewati hanya sempit dan berbatasan dengan jurang, makanya kami harus berhati-hati dalam melangkah. Saya sempat terjatuh ke jurang, tetapi Alhamdulillah badan saya masih tersangkut di antara tanaman-tanaman liar, jadi saya masih bisa diselamatkan oleh teman-teman. Jalan yang kami lewati sangat terjal ke bawah. Kemudian kami harus melewati padang ilalang yang tingginya 2-3 meter. Kemudian kami memasuki hutan lumut yang sangat panjang. Hutan ini sangat lembab dan basah. Sekitar pukul 5 kami tiba di Danau Taman Hidup. Namun suasana berkabut saat itu sehingga kami tidak bisa menyaksikan apapun. Tempat ini merupakan rawa-rawa yang becek dan bau. Kami tidak berlama-lama dan segera melanjutkan perjalanan karena cuaca sedang hujan dan bekal kami habis. Kami sudah kehilangan jejak dengan rombongan depan, tetapi setiap bertemu dengan pendaki yang berjalan dari jalur Bermi kami berusaha melontarkan sebuah pertanyaan “Di depan tadi lihat rombongan dari Jogja?” kemudian mereka menjawab “Iya tadi saya lihat, tetapi sudah di depan.”

Malam semakin tidak bersahabat di saat hujan dan jalur yang kami lewati sangat tidak rasional. Tanah becek yang terjal ke bawah membuat langkah kami terhambat oleh kaki yang terpleset setiap kali menapak. Ditambah dinginnya udara saat itu dan cahaya dari senter yang makin redup karena kehabisan baterai. Serta badan menggigil dan kelaparan yang membuat konsentrasi kami sering hilang. Sekitar pukul 8, Chandra sakit dan kami harus berhenti. Kami memasak makaroni-kornet-sarden karena memang tinggal itu logistik yang kami punya. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, Chandra harus bermalam dan mengganti pakainnya yang basah sejak tadi siang. Kami tinggal berlima yang tertinggal; Saya, Musa, Chandra, Bram, dan Mas Tiyok. Kami tidak tahu bagaimana nasib rombongan depan, terlebih nasib Alvian dan Diah yang memilih melanjutkan perjalanan saat kami berhenti memasak. Di antara kami berlima, yang masih waras tinggal saya dan Musa. Sebagian dari kami harus ada yang turun untuk memberi kabar bawah bahwa logistik sudah habis dan Chandra sakit. Jika yang turun saya dan Musa, itu sama saja kami meninggalkan 3 orang sakit tanpa logistik di gunung tanpa ada yang menjaga. Jika yang turun Bram dan Mas Tiyok, itu sama saja kami membiarkan 2 orang sakit berjalan tanpa orientasi. Akhirnya, saya dan Mas Tiyok yang memilih berjalan dan memberi kabar bawah. Saya tidak membawa Bram turun karena saya tidak sanggup membawa beban 2 nyawa orang sakit sendirian.

Saya berjalan pelan-pelan, dengan lampu senter yang redup dan bekal air minum yang sangat minim. Lelaki yang ada di sebelah saya ini sejak tadi ngelantur seperti orang kesurupan. Badannya menggigil dan selalu tidur setiap kali berhenti berjalan. Saya tahu, dia terkena hipotermia karena memang hampir semua baju yang kami kenakan basah sejak tadi siang. Ditambah hilangnya konsentrasi karena kurangnya asupan karbohidrat. Saya sedari tadi hanya bisa menangis dan menampar mukanya berkali-kali, sembari teriak, “Mas tolong sadar.” Tetapi dia tetap seperti orang kesurupan, sesekali menyanyi lingsir wengi, sesekali menyoroti pepohonan sembari berkata, “Katanya Argopuro ini mistis, di mana letak mistisnya?” Saya semakin kencang menangis dan dia tetap tidak sadarkan diri. Air minum terakhir yang hanya separuh botol aqua besar saya ambil dari tas, saya putuskan untuk menyiram wajahnya hingga dua kali namun dia tetap tidak sadar. Akhirnya kami terhenti di jalan buntu, kami bolak-balik naik turun dan tetap tidak menemukan jalan. Saat itu dia sudah mulai sadar, tetapi masih kantuk katanya. Di tengah-tengah kebingungan, kami bertemu rombongan dari Jakarta. Saya bersyukur sekali akhirnya menemukan pendaki lain di dalam hutan belantara seperti ini. Kami istirahat sebentar, menikmati rembulan yang ternyata lebih terang dari senter yang sedari tadi saya bawa di tangan kanan. Sekitar setengah 2 pagi, kami tiba di Hutan Damar dan melihat samar-samar cahaya senter dari bawah. Ternyata itu Alvian dan Diah yang dari tadi berputar-putar di dalam hutan dan belum sampai juga ke Bremi. “Tadi aku makan sarden mentah mbak, trus tidur cuma pake matras karena udah ngantuk banget”, kata Alvian. Akhirnya kami turun bersama-sama dan hanya mengandalkan cahaya bulan. Kaki kami sakit semua dan tidak kuat untuk jalan, tetapi kami tetap memaksa agar cepat sampai bawah. Saya dan Diah melepas alas yang kami kenakan dan memilih cekeran. Setelah menemukan peradaban, saya hanya bisa berteriak dan bersyukur. Tetapi di mana basecampnya? Di mana para rombongan depan yang seharusnya sudah tiba sejak tadi? Segulir pertanyaan berputar-putar di dalam kepala. Karena tidak kuat untuk berjalan lagi, akhirnya kami tidur di sebuah pos kecil; Pos Desa Wisata Bermi.

Paginya saya bangun pukul 10, ternyata Chandra Musa Bram sudah disusul Babi Anggit Arman. Karena kaki Chandra sakit, makanya sepanjang perjalanan Chandra digendong Babi. Walaupun saya tahu bahwa kaki Babi juga luka-luka, dan pasti perih. Kamu hebat, Bab.

Saya tahu, sebanyak dan seindah apapun kalimat ini, tetap tidak bisa menggambarkan keindahan Pegunungan Hyang yang mengelilingi Argopuro serta perjuangan kami untuk berjalan dari Baderan hingga Bermi. Saya bersyukur karena bisa menjadi salah satu bagian dari 12 orang ini. Terimakasih Tuhan, saya belajar banyak hal dari pendakian kali ini. Terimakasih atas perjalanan luar biasa hebat yang tidak akan pernah terlupakan, 12-20 April 2014.


"Terlalu banyak kisah untuk diceritakan, karena ini bukan sekedar tentang puncak. #Argopuro"
Tweeted by @Armandkaramy
Retweeted by @AanLareSae