Surat ini kubuat dalam waktu yang sangat singkat pagi ini. Aku tidak berpikir panjang dalam merangkai bait-bait kalimat ini. Atau lebih tepatnya, mungkin aku sedang tidak bisa berpikir secara normal. Mungkin saja pikiranku sedang penuh dengan sampah-sampah masa lalu.
Sesungguhnya tadi malam aku berniat menghabiskan waktuku untuk menulis surat sambil ditemani bercangkir-cangkir kopi dan dan beberapa syair lagu. Entah kecapaian atau akunya yang sedang tidak enak badan, tetapi aku malah ketiduran dan membiarkan laptopku menyala hingga dini hari. Jadi aku baru sempat menulisnya sekarang.
Oiya, aku belum menyapa dan mengucapkan selamat pagi. Jadi langsung saja. Hai. Selamat pagi. Selanjutnya, apa aku perlu menanyakan kabarmu? Kabarmu pasti baik-baik saja, bukan? Mungkin sekarang kamu sedang duduk di balkon sambil menyeduh secangkir coklat dan ditemani beberapa batang rokok. Atau mungkin kamu sedang bermain games dengan senang dan gembira. Atau mungkin kamu sudah tersenyum lagi bersama perempuan lain. Atau mungkin kamu sedang tidur nyenyak dan merangkai mimpimu sendiri. Atau mungkin, mungkin kamu sedang tertawa terbahak-bahak karena memenangkan drama ini. Aku tidak akan mengganggu kebahagianmu lagi.
Aku? Aku baik-baik saja. Aku sudah bisa berdiri sendiri. Jadi kamu tidak perlu mengkhawatirkanku lagi.
Semua kalimatku di sini memang tidak sistematis. Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Ini terlalu rumit dan diluar nalarku sendiri. Kamu bilang aku berubah, lantas apa kamu juga tidak berpikir kalo kamu berubah? Semakin hari kamu semakin aneh. Semakin hari kamu semakin tidak bisa dinalar. Semakin hari aku semakin tidak mengerti jalan pikiranmu. Untuk apa bertahan kalau sudah tidak ada kepercayaan lagi di antara kita? Cuma sama-sama menyakiti. Cuma saling mengukir luka. Memang tidak ada perpisahan yang baik-baik saja. Pasti ada yang terluka, entah salah satu atau justru keduanya. Aku tidak mau pada akhirnya cinta adalah kita yang saling benci.
"Beberapa perpisahan memang harus ada, karena bertahan tak selalu berarti bahagia." -Mentari
Surat terakhir yang kamu kirim melalui email membuatku tidak bisa berkata-kata. Aku terdiam dalam waktu yang sangat lama hingga akhirnya air mata memecah kesunyian yang ada dalam tubuhku. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ada di pikiranmu. Aku tidak habis pikir kenapa kamu tega melakukannya. Dan kamu melibatkan banyak sekali orang-orang di dalamnya, bukan cuma aku semata. Tetapi terimakasih, setidaknya aku sudah menjadi pemeran utama dalam ceritamu. Secara tidak langsung aku sudah menjadi actress tanpa bayaran.
Apa kamu tidak pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi aku? Aku ini terlalu rapuh. Kenapa kamu tidak memilih seseorang yang lebih kuat agar bisa kau jadikan pemeran dalam sandiwaramu itu? Hahahahahahaha. I'm a loser baby, so why don't you kill me? Bunuh saja daripada tersiksa lama-lama.
Oiya, aku hampir saja lupa. Terimakasih juga atas segala-galanya. Mungkin saja sayangmu hanya mainan, rindumu hanya candaan, perhatianmu hanya gurauan. Karena semuanya sudah tersusun rapih sejak awal. Tons of applause for you. Aku berikan penghargaan tertinggi untukmu. Kamu. Hebat. Tapi. Jahat.
Kamu itu manusia pengukir luka, ya? Good.
Untuk,
Manusia.
Dari,
Manusia.