Tuesday, April 23, 2013

Lawu

Lawu; beribu kisah terajut di sana. Ketika aku dan yang lainnya memutuskan untuk menapak sejauh 3265 meter diatas permukaan laut.

Mobil-yang mengangkut dua puluh orang-tiba di basecamp sekitar habis maghrib. Setelah sholat dengan air dingin yang menusuk hingga rusuk dan berdiri dalam keadaan beku dan kaku, kami beristirahat sekiranya di tempat makan sederhana dan ala kadarnya. Nasi goreng yang panas dengan telur mata sapi yang terhidang di atasnya, terasa begitu nikmat ketika suap demi suap masuk ke lambung dan singgah sesaat di kerongkongan. Sambil menyeduh teh tradisional, tawa dan cerita saling membaur dalam atmosfer malam itu.

Sinyal terkadang muncul, terkadang tidak. Hanya satu bar saja aku sudah bersyukur. Setidaknya aku masih bisa keep in touch dengan siapapun di Jogja. Dalam hembus angin Cemoro Sewu, kami masih harus bongkar tas carrier dan packing ulang. Dingin sekali, saat itu.

Jam delapan tepat, pendakian dimulai. Aku memasukkan handphoneku ke dalam kantung plastik dan mengirimkan pesan terakhir untuk orangtuaku, serta Dysa-Iskandar-dan-Zen. Semoga aku sampai puncak, dan kembali dengan selamat.

Tujuan kami hanyalah bertamu, tidak berniat untuk menaklukan gunung ini. Tetap sopan dan jaga etika. Makhluk lain telah lebih dulu singgah di sini, dan kami hanyalah sekedar tamu yang menumpang untuk mengucap syukur atas keindahan alam yang Tuhan ciptakan.

Dysa dan Iskandar berkali-kali memintaku untuk berhati-hati dan sebisa mungkin memberi kabar ketika ada sinyal. Zen, Diaz, Via, Nissa, dan yang lainnya juga. So lucky aku punya mereka yang begitu perhatian sama aku.

Tapak demi tapak kami melangkah di atas bebatuan dan tanah. Hanya hembus angin malam dan remang sinar senter yang menemani perjalanan kami. 18 orang, berjalan pelan-pelan. Kami membuat kode untuk bahasa kami sendiri. Hanya kami yang tahu arti kode tersebut. Kode yang dilontarkan dalam keadaan dan situasi tertentu. 18 orang, saling menunggu dan saling membahu. Saling memberi semangat dan saling mengerti.

Semakin lama kami semakin tidak bisa menjaga jarak antar barisan. Selalu saja ada yang tertinggal. Lelah. Kantuk. Lapar. Dingin. Semua bercampur menjadi satu, malam itu juga.

Ketika raga tidak bisa mentolerir semua rasa yang teraduk menjadi satu, akhirnya kami memutuskan untuk turun beberapa petak dan mendirikan tenda di pos 3. Menyesal rasanya tidak bisa menyentuh puncak malam ini juga. Tapi tidak apa-apa, mungkin kami memang belum pantas untuk disebut pendaki. Pendaki yang berjalan selama 8 jam. 

Jam 1 dini hari. 5 jam sudah kami mendaki dengan tas carrier di pundak yang begitu berat. Kami menyeduh jahe, menyantap mie goreng, menatap langit, menghitung bintang, bercanda dan mengumbar tawa bersama-sama. Hilang lelah kami, seketika. Hilang kantuk kami, seketika. Hilang lapar kami, seketika. Tapi dingin tetap ada. Ada bersama kami. Ada, dan membuat segalanya jadi mati rasa. Dingin, kaku dan beku. Bahkan api yang kami pegang secara bergiliran, sama sekali tidak berasa.

Tenda dome yang kami tempati tidak bisa ditutup, mungkin semuanya harus merasakan dingin angin Lawu secara bersamaan. Empat orang laki-laki tidur di luar tenda. Hanya beralas plastik dan berselimut jaket. Awalnya aku tidak mau memejam, aku takut mati beku. Tapi mau tidak mau aku tidur, lengkap dengan kaos kaki dan sleeping bag. Namun bibirku tidak bisa berhenti meraung kedinginan. Menangis saja tidak bisa. Dinginnya sudah tidak bisa digambarkan lagi.

Pagi. Sunrise begitu indah. Membuat bibir tak kuasa berhenti mengucap Subhanallah. Dzat Maha Sempurna yang menciptakan keindahan luar biasa dalam beku pagi ini.

Jam 7, kami melanjutkan langkah kami untuk menempuh puncak. Ada empat orang yang stay di pos 3 untuk menjaga barang-barang. Bau belerang dan kabut tipis menemani perjalanan kami. 14 orang terpisah menjadi rombongan kecil sendiri-sendiri. Ada yang berdua, bertiga, bahkan berempat. Target sampai puncak pukul 10. Tapi karena semua sedang on fire dan fresh, jadinya ada yang tiba pukul 8 dan ada juga yang setengah 9.

Puncak memang luar biasa. Tiada yang lebih menyenangkan lagi. Yang ada hanya tawa dan kebahagiaan dari cekung-cekung bibir. Tidak lagi bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Semua indah sekali. Cantik, dan luar biasa. Subhanallah:").













Thank God for this 16&17th of April with the super people. Danke, Lawu. Xoxo.

Sunday, April 14, 2013

Gowes 015

Mau gowes aja ijinnya susah banget, trus akhirnya dibolehin dengan satu alasan; dikawal sampe pulang. Berasa dipingit, huh. Tapi gapapa, yang penting bisa menghilangkan penat dan berbahagia bareng Mache63. Aku berangkat jam 7 kurang dikit, padahal janjian suruh kumpul disekolah habis maghrib. Ngaret, banget. Hahahaha. Aku mengayuh pelan banget, sambil dengerin lagu dan chat sama banyak orang. Tadinya semangat, tapi ditengah perjalanan tbtb gamood. Aku udah nyuruh orang-orang buat ninggal. Aku pingin ke rumah dysa aja, pingin nggalau bareng. Atau menghabisakan sisa malam minggu buat berkelana Jogja. Akhirnya iskandar bilang, "iya aku tinggal fu." Ahmed masih dirumah dysa, aku nyuruh mereka duluan, tapi dysa tetep keukeuh gamau berangkat. 

Aku sms ahmed, "janti." Dia nyuruh aku buat nunggu di depan RS Hardjolukito, tapi setelah itu ada sms lagi, "tunggu di tempat biasa kita ketemu." Maksudnya kalo pagi ketemu, itu di sekitar Goeboek Resto. Karena nggak ada mereka berdua, aku lanjut ke Mache. Hampir sampe Mache, tbtb iskandar telfon, dan dysa yang ngomong, "posdim fu? blablabla." dengan nada nggak nyante. Sampe mache ternyata iskandar nyusul aku, sama iqbal. Aku nggak cuma bisa marah-marah, "kok ditungguin sih? kan aku udah bilang buat ninggal blablabla." Ternyata rombongan yang lain nungguin di depan RS. Padahal aku ngaretnya hampir 2 jam. Sampe iqbal&iskandar ngomong, "teman yang ninggalin teman lainnya itu lebih busuk dari sampah."

Lanjut perjalanan, aku zen iqbal iskandar ngebut lewat jembatan layang, tapi yang lainnya lewat bawah jembatan. Bener-bener tepar kakinya. Huh! :') Lanjut lagi, lewat tugu belok kiri trus akhirnya istirahat di angkringan kr. Disitu, iskandar pisah rombongan soalnya dia harus balik ke bogor jam 11 malem. Hati-hati ya! Pas lagi ngobrol sambil makan nasi kucing, banyak banci ngamen datang silih berganti. Sampe ermar akhirnya dicolek banci dan minta disawer. Aku&dysa sempat foto sama bancinya lho, "tante foto dong." Hahaha.

Sepanjang jalan malioboro ternyata ada komunitas penyepeda juga, dan jalan diblokir sama banyak sepeda. Sampe titik 0 akhirnya pada misah. Aku, dysa, ahmed, syarif misah di JEC. 

Terimakasih untuk malam yang luar biasa. Terimakasih untuk momen yang begitu istimewa. Terimakasih untuk semuanya, Mache63.



Sabtu, 13 April 2013.

Saturday, April 13, 2013

Ada

Ada yang memperhatikanmu diam-diam.
Ada yang mencuri-curi pandangan.
Ada yang mengintip-intip bayangan.
Ada yang menerka-nerka apa yang terjadi.
Ada yang menangis ketika kamu tersenyum.
Ada yang terluka ketika kamu bahagia.
Ada yang kaku kalo papasan sama seseorang.
Ada yang salting dan memilih menghindar kalo ketemu orangnya.
Ada yang sembunyi-sembunyi menatap matanya.
Ada yang saling memendam rasa tapi tak saling berusaha.
Ada yang saling bertatap tapi tak saling bicara.
Ada yang suka berandai-andai dan berangan-angan terlalu jauh.
Ada yang nggak fokus dan selalu hilang arah.
Ada yang stagnan di satu titik, dan nggak bisa menentukan harus maju atau berbalik mundur.
Ada yang mudah terbawa suasana.
Ada yang terlalu berharap pada keadaan.
Ada yang tidak tahu harus berbuat apa.
Ada.

Tuesday, April 9, 2013

Tatapan Tanpa Nama

"Karena...bumi seakan-akan berhenti berotasi ketika tatapan kita saling mengunci."

Aku tidak sengaja melirik ke arahmu; 2 meter tepat di hadapanku. Aku duduk bersila, di tengah kerumunan belasan orang yang sedang membicarakan sesuatu. Kamu duduk-bersandar pada tiang di selasar ruangan-dengan peluh dan jenuh yang tergambar jelas di raut wajahmu. Seketika itu juga, aku mendapati matamu menatap ke arahku. Aku kebingungan. Mata sudah terlanjur terdampar dalam pupil matamu. Terkunci. Kaku. Dingin rasanya. Dingin sekali. Aku tidak bisa bergerak; walau hanya sekedar memutar bayangan dalam retinaku. Fokusku hanya tertuju pada dalam tatapanmu. Bahkan bibir tak mampu berucap, raga tak sanggup berkutik, dan senyum tak dapat terajut. Kami saling menatap-kosong-untuk waktu yang tidak hanya sepersekian detik. Bukan senyum yang tergambar di antara kedua cekung bibir, melainkan hanya sepotong rakitan kebisuan. Tanpa nama.

Aku hanya ingin tahu, apa yang sebenarnya ada di pikiranmu. Apa yang sebenarnya terkunci bisu di ujung mulutmu. Apa yang sebenarnya ingin kau katakan padaku. Beritahu aku, apa arti tatapan tanpa nama itu. Karena  aku tidak ingin berfikir tentang hal-hal yang tinggi. Karena aku tidak ingin berandai-andai terlalu jauh. Karena aku tidak ingin menebak-nebak tentang kemungkinan terburuk yang ada.

Untuk waktu yang cukup lama, aku beranikan diriku untuk berkutik dan berusaha memecah keadaan.
"Kamu kenapa?"