Lawu; beribu kisah terajut di sana. Ketika aku dan yang lainnya memutuskan untuk menapak sejauh 3265 meter diatas permukaan laut.
Mobil-yang mengangkut dua puluh orang-tiba di basecamp sekitar habis maghrib. Setelah sholat dengan air dingin yang menusuk hingga rusuk dan berdiri dalam keadaan beku dan kaku, kami beristirahat sekiranya di tempat makan sederhana dan ala kadarnya. Nasi goreng yang panas dengan telur mata sapi yang terhidang di atasnya, terasa begitu nikmat ketika suap demi suap masuk ke lambung dan singgah sesaat di kerongkongan. Sambil menyeduh teh tradisional, tawa dan cerita saling membaur dalam atmosfer malam itu.
Sinyal terkadang muncul, terkadang tidak. Hanya satu bar saja aku sudah bersyukur. Setidaknya aku masih bisa keep in touch dengan siapapun di Jogja. Dalam hembus angin Cemoro Sewu, kami masih harus bongkar tas carrier dan packing ulang. Dingin sekali, saat itu.
Jam delapan tepat, pendakian dimulai. Aku memasukkan handphoneku ke dalam kantung plastik dan mengirimkan pesan terakhir untuk orangtuaku, serta Dysa-Iskandar-dan-Zen. Semoga aku sampai puncak, dan kembali dengan selamat.
Tujuan kami hanyalah bertamu, tidak berniat untuk menaklukan gunung ini. Tetap sopan dan jaga etika. Makhluk lain telah lebih dulu singgah di sini, dan kami hanyalah sekedar tamu yang menumpang untuk mengucap syukur atas keindahan alam yang Tuhan ciptakan.
Dysa dan Iskandar berkali-kali memintaku untuk berhati-hati dan sebisa mungkin memberi kabar ketika ada sinyal. Zen, Diaz, Via, Nissa, dan yang lainnya juga. So lucky aku punya mereka yang begitu perhatian sama aku.
Tapak demi tapak kami melangkah di atas bebatuan dan tanah. Hanya hembus angin malam dan remang sinar senter yang menemani perjalanan kami. 18 orang, berjalan pelan-pelan. Kami membuat kode untuk bahasa kami sendiri. Hanya kami yang tahu arti kode tersebut. Kode yang dilontarkan dalam keadaan dan situasi tertentu. 18 orang, saling menunggu dan saling membahu. Saling memberi semangat dan saling mengerti.
Semakin lama kami semakin tidak bisa menjaga jarak antar barisan. Selalu saja ada yang tertinggal. Lelah. Kantuk. Lapar. Dingin. Semua bercampur menjadi satu, malam itu juga.
Ketika raga tidak bisa mentolerir semua rasa yang teraduk menjadi satu, akhirnya kami memutuskan untuk turun beberapa petak dan mendirikan tenda di pos 3. Menyesal rasanya tidak bisa menyentuh puncak malam ini juga. Tapi tidak apa-apa, mungkin kami memang belum pantas untuk disebut pendaki. Pendaki yang berjalan selama 8 jam.
Jam 1 dini hari. 5 jam sudah kami mendaki dengan tas carrier di pundak yang begitu berat. Kami menyeduh jahe, menyantap mie goreng, menatap langit, menghitung bintang, bercanda dan mengumbar tawa bersama-sama. Hilang lelah kami, seketika. Hilang kantuk kami, seketika. Hilang lapar kami, seketika. Tapi dingin tetap ada. Ada bersama kami. Ada, dan membuat segalanya jadi mati rasa. Dingin, kaku dan beku. Bahkan api yang kami pegang secara bergiliran, sama sekali tidak berasa.
Tenda dome yang kami tempati tidak bisa ditutup, mungkin semuanya harus merasakan dingin angin Lawu secara bersamaan. Empat orang laki-laki tidur di luar tenda. Hanya beralas plastik dan berselimut jaket. Awalnya aku tidak mau memejam, aku takut mati beku. Tapi mau tidak mau aku tidur, lengkap dengan kaos kaki dan sleeping bag. Namun bibirku tidak bisa berhenti meraung kedinginan. Menangis saja tidak bisa. Dinginnya sudah tidak bisa digambarkan lagi.
Pagi. Sunrise begitu indah. Membuat bibir tak kuasa berhenti mengucap Subhanallah. Dzat Maha Sempurna yang menciptakan keindahan luar biasa dalam beku pagi ini.
Jam 7, kami melanjutkan langkah kami untuk menempuh puncak. Ada empat orang yang stay di pos 3 untuk menjaga barang-barang. Bau belerang dan kabut tipis menemani perjalanan kami. 14 orang terpisah menjadi rombongan kecil sendiri-sendiri. Ada yang berdua, bertiga, bahkan berempat. Target sampai puncak pukul 10. Tapi karena semua sedang on fire dan fresh, jadinya ada yang tiba pukul 8 dan ada juga yang setengah 9.
Puncak memang luar biasa. Tiada yang lebih menyenangkan lagi. Yang ada hanya tawa dan kebahagiaan dari cekung-cekung bibir. Tidak lagi bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Semua indah sekali. Cantik, dan luar biasa. Subhanallah:").
Thank God for this 16&17th of April with the super people. Danke, Lawu. Xoxo.