Saturday, May 27, 2017

Tidak Ada yang Sehangat Nasi Masakan Ibu Pukul Dua Pagi

Ini tahun kedua saya. Merayakan sahur di kota yang letaknya puluhan kilometer dari segala damai yang disebut rumah. Yang akan mengulang tiga puluh hari segala gempita adzan pertanda puasa harus segera dibuka. Siapa yang tidak bersedih jika harus jauh dari keluarga saat bulan Ramadhan tiba? Saya pikir tidak ada. Pun kalau ada, ia hanyalah berpura-pura untuk telihat baik-baik saja. Mungkin sering sekali kita mendengar slentingan-slentingan seperti; Ah udah besar ngapain sedih? Dibiasain dong biar mandiri. Ih banci banget cowok kok sedih. Cengeng dah lu dasar cewek.

Sebentar. Saya pikir, sedih itu adalah hak setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada batasan dan takaran untuk keduanya. Tidak ada aturan bahwa kesedihan hanya milik perempuan dan kemarahan hanya milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa perasaan hanya milik perempuan dan logika hanya milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa air mata hanya milik perempuan dan teriakan hanya milik laki-laki. Kalau kau masih berfikir seperti itu, segeralah ambil air wudhu dan basuh segala kedangkalanmu.

Sedih itu ada karena kita merasa memiliki. Memiliki keluarga, menganggapnya sebagai rumah satu-satunya dimana kita bisa melepas segala penat dan tak perlu berpura-pura untuk menjadi kuat. Mandiri bukan berarti tidak boleh sedih ketika jauh dari orang tua. Tidak ada korelasi antar keduanya. Sebab mandiri dan tidak-boleh-sedih adalah dua hal yang terpisah. Jika kau merasa sedih ketika jauh dari rumah, berarti kau memang dibesarkan dari keluarga yang benar-benar hangat dan penuh kedamaian. Keluarga yang penuh kasih dan bertebar sayang ketika kau dekat. Keluarga yang berlimpah rasa percaya dan sejuta doa ketika kau jauh darinya.

Pertanyaannya adalah, wajarkah jika kita merasa sedih ketika adzan isya bergema di kota yang letaknya ribuan hasta dari lengan ibu? Lalu kita melangkahkan kaki ke masjid yang bukan masjid sebelah rumah. Mengangkat tangan dan mengamitkan niat untuk 11 atau 23 rakaat. Berdoa agar bangun pukul tiga sebab tidak ada jaminan untuk segala tidur-bangun-dan sahurmu esok hari. Wajarkah jika kita merasa sedih ketika adzan shubuh bersua di kota yang letaknya jutaan depa dari jemari ayah? Lalu kita terdiam dan menjauhkan piring dari warung ramesan. Piring yang berisi nasi dan lauk pauk yang kita ambil sesuka hati. Yang dibandrol 8ribu untuk nasi ayam dan 6ribu untuk nasi telor. Yang hangat tapi tidak pernah sehangat masakan ibu untuk sahur anak-anaknya.


Saya pikir semua terlihat baik-baik saja ketika jam tiga pagi kita berkelana mencari makan, tertawa bersama kawan, bercanda tanpa tujuan, dan menunggu waktu imsya di warung ramesan. Tanpa pernah berfikir sedang makan apa ayah dan ibu di rumah? Apakah mereka kesepian tanpa saya? Atau justru baik-baik saja? Di rumah, saya sering mengeluh karena kantuk yang menggelayuti ujung-ujung lakrima. Padahal ibu sudah bangun dari pukul dua pagi untuk menanak nasi dan merapal doa untuk sang Illahi. Tetapi saya sering bangun pukul empat ketika semua sudah tertata rapi. Terkadang saya suka mengeluh jika masakannya kurang asin, terlalu pedas, atau agak gosong. Padahal bu, tidak ada yang sehangat masakanmu di kota rantau ini. Yang dibalur kantuk dan sekantung ikhlas demi perut anak-anaknya. Yang tak pernah kecewa meski kita terlalu banyak meminta. Yang selalu ada dalam perputaran sahur dan buka meski tak puasa. Yang mendekap erat segala keluh lapar dan rasa dahaga.



Purwokerto, 27 Mei 2017.
Sekian kilometer dari Yogyakarta.