Ini tahun kedua saya. Merayakan sahur di kota yang letaknya
puluhan kilometer dari segala damai yang disebut rumah. Yang akan mengulang
tiga puluh hari segala gempita adzan pertanda puasa harus segera dibuka. Siapa
yang tidak bersedih jika harus jauh dari keluarga saat bulan Ramadhan tiba? Saya
pikir tidak ada. Pun kalau ada, ia hanyalah berpura-pura untuk telihat
baik-baik saja. Mungkin sering sekali kita mendengar slentingan-slentingan
seperti; Ah udah besar ngapain sedih?
Dibiasain dong biar mandiri. Ih banci
banget cowok kok sedih. Cengeng dah lu dasar cewek.
Sebentar. Saya pikir, sedih itu adalah hak setiap orang,
baik laki-laki maupun perempuan. Tidak ada batasan dan takaran untuk keduanya.
Tidak ada aturan bahwa kesedihan hanya milik perempuan dan kemarahan hanya
milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa perasaan hanya milik perempuan dan
logika hanya milik laki-laki. Tidak ada aturan bahwa air mata hanya milik
perempuan dan teriakan hanya milik laki-laki. Kalau kau masih berfikir seperti
itu, segeralah ambil air wudhu dan basuh segala kedangkalanmu.
Sedih itu ada karena kita merasa memiliki. Memiliki
keluarga, menganggapnya sebagai rumah satu-satunya dimana kita bisa melepas
segala penat dan tak perlu berpura-pura untuk menjadi kuat. Mandiri bukan
berarti tidak boleh sedih ketika jauh dari orang tua. Tidak ada korelasi antar
keduanya. Sebab mandiri dan tidak-boleh-sedih adalah dua hal yang terpisah.
Jika kau merasa sedih ketika jauh dari rumah, berarti kau memang dibesarkan dari
keluarga yang benar-benar hangat dan penuh kedamaian. Keluarga yang penuh kasih
dan bertebar sayang ketika kau dekat. Keluarga yang berlimpah rasa percaya dan
sejuta doa ketika kau jauh darinya.
Pertanyaannya adalah, wajarkah jika kita merasa sedih ketika
adzan isya bergema di kota yang letaknya ribuan hasta dari lengan ibu? Lalu
kita melangkahkan kaki ke masjid yang bukan masjid sebelah rumah. Mengangkat
tangan dan mengamitkan niat untuk 11 atau 23 rakaat. Berdoa agar bangun pukul
tiga sebab tidak ada jaminan untuk segala tidur-bangun-dan sahurmu esok hari. Wajarkah
jika kita merasa sedih ketika adzan shubuh bersua di kota yang letaknya jutaan
depa dari jemari ayah? Lalu kita terdiam dan menjauhkan piring dari warung
ramesan. Piring yang berisi nasi dan lauk pauk yang kita ambil sesuka hati.
Yang dibandrol 8ribu untuk nasi ayam dan 6ribu untuk nasi telor. Yang hangat
tapi tidak pernah sehangat masakan ibu untuk sahur anak-anaknya.
Saya pikir semua terlihat baik-baik saja ketika jam tiga pagi
kita berkelana mencari makan, tertawa bersama kawan, bercanda tanpa tujuan, dan
menunggu waktu imsya di warung ramesan. Tanpa pernah berfikir sedang makan apa
ayah dan ibu di rumah? Apakah mereka kesepian tanpa saya? Atau justru baik-baik
saja? Di rumah, saya sering mengeluh karena kantuk yang menggelayuti
ujung-ujung lakrima. Padahal ibu sudah bangun dari pukul dua pagi untuk menanak
nasi dan merapal doa untuk sang Illahi. Tetapi saya sering bangun pukul empat
ketika semua sudah tertata rapi. Terkadang saya suka mengeluh jika masakannya
kurang asin, terlalu pedas, atau agak gosong. Padahal bu, tidak ada yang sehangat
masakanmu di kota rantau ini. Yang dibalur kantuk dan sekantung ikhlas demi perut
anak-anaknya. Yang tak pernah kecewa meski kita terlalu banyak meminta. Yang
selalu ada dalam perputaran sahur dan buka meski tak puasa. Yang mendekap erat segala
keluh lapar dan rasa dahaga.
Purwokerto, 27 Mei 2017.
Sekian kilometer dari Yogyakarta.