Friday, July 17, 2015

Saya Mencintaimu

Saya meminta air. Tetapi Dia memberi benua dan lautannya.
Saya meminta angin. Tetapi Dia memberi angkasa dan lapisannya.
Saya meminta gerhana. Tetapi Dia memberi bumi dan satelitnya.
Saya meminta cahaya. Tetapi Dia memberi bintang dan seluruh tata surya.
Saya meminta tanah. Tetapi Dia memberi jagad raya dan seisinya.

Saya tahu Tuhan Maha Baik. Dan akan selalu baik.
Ketika saya meminta bahagia, justru Dia memberi kamu dengan segala cinta dan kasih sayang.
Yang tidak pernah berhenti sedetik-pun untuk mencintai.
Yang tidak pernah lelah sekejap-pun untuk menyayangi.
Yang tidak pernah mengeluh sepatah-pun untuk melindungi.

Terima kasih telah mengetahui segala kekurangan, dan tetap memilih tinggal.

Saya mencintaimu,
dengan seuntuhnya.
Apa adanya, dan tidak mengada-ada.

Hari Raya

Bahkan sayang, gema takbirmu tepat setahun yang lalu masih memenuhi ruang semestaku. Rasanya cepat sekali. Hari berganti hari, siang berganti malam, panas berganti dingin, hujan berganti angin, luka berganti suka, dan bahagia akan tetap menjadi bahagia. Tidak akan pernah berganti. Setiap saat. Hingga setahun bergulir. Hingga tidak sadar kita berjumpa dengan Idul Fitri kembali.

Daun yang gugur tidak pernah menyalahkan angin. Hujan yang jatuh tidak pernah bisa kita cegah. Begitu pula denganku, yang selalu jatuh cinta denganmu. Pada setiap hal kecil yang kau lakukan. Sesederhana itu.

Selalu, dan akan terus, tanpa henti, tanpa lelah. Aku mencintaimu. Sesederhana itu.

Selamat Hari Raya Idul Fitri.

Thursday, July 16, 2015

Surat Yang Ditulis Dengan Sepenggal Maaf

Teruntuk:
Ayah dan Ibu

Saya menulis surat ini bukan tanpa alasan. Pertama, tanpa basa-basi, saya ingin meminta maaf. Meminta maaf atas segala kesedihan dan kekecewaan yang Ayah dan Ibu alami. Saya tahu, Ayah dan Ibu pasti sangat kecewa melihat putri kesayangannya-yang seharusnya bisa dibanggakan-gagal. Tidak hanya sekali, namun berulangkali. Saya gagal, Yah. Saya gagal, Bu. Berulangkali.

Mungkin saya memang payah, dengan mudahnya bisa berkata maaf, padahal saya tahu perasaan Ayah dan Ibu sekarang pasti sedang remuk seremuk-remuknya. Saya tahu perasaan Ayah dan Ibu sekarang pasti sedang hancur sehancur-hancurnya. Saya tahu, tetapi tidak ada yang bisa saya lakukan saat ini selain berkata maaf.

9 Mei 2015 pukul lima sore. Hujan lebat mengguyur Yogyakarta. Membuat seluruh badan saya basah kuyup. Saya nyaris menggigil di perjalanan. Kemudian, saya memilih berhenti di sebuah Kedai Kopi di pinggir jalan dan memesan secangkir coklat panas. Waktu itu tepat dengan pengumuman SNMPTN. Sebagian besar teman saya sudah saling memberi kabar; baik ataupun buruk. Saya segera membuka laptop, tetapi sinyal WiFi tidak begitu mendukung saya untuk membuka website SNMPTN. Saya keluar Kedai untuk mencari warnet, ternyata hanya 3 petak di sebelah kiri. Saya bergegas menuju warnet tersebut. Setelah membuka, hanya kotak berwarna merah yang saya dapati. Saya menangis kencang dan tidak bisa berhenti. Saya kembali ke Kedai masih dengan lingangan airmata di mana-mana. Saya sedih dan nyaris tidak mau pulang ke rumah. Entah apa yang akan saya katakan dengan kedua orangtua saya, saya tidak bisa berfikir saat itu, saya tahu pasti mereka sangat sedih mendengar kabar ini.

Saya tiba di rumah dan langsung mengurung diri di kamar. Hati saya hampir seluruhnya remuk saat itu. Saya begitu yakin lolos tetapi kenyataan berkata lain. Saya gagal.

Keadaan kembali normal. Hari-hari berjalan seperti biasa. Meski pagi nampak sendu dan malam selalu muram, tetapi saya yakin musim semi akan segera tiba. Saya yakin harapan akan selalu ada. Saya yakin.

Saya membuang segala keinginan untuk jalan-jalan, melupakan segala kesenangan, dan hanya berkutat pada buku. Saya jenuh? Tidak. Meski terkadang mengeluh, namun saya tidak sebenar-benarnya jenuh. Saya hanya merasa sedikit bosan karena tidak ada teman seperjuangan. Mungkin karena sebagian teman dekat saya sudah lolos jalur undangan, jadi hal tersebut sedikit memengaruhi psikologis saya.

Saya tidak kenal lelah untuk belajar, hingga saya sering mengabaikan kesehatan saya. Jarang tidur dan tidak pernah absen minum kopi. Saya membuat jadwal belajar saya sendiri, lengkap dengan jam dan target bab yang harus saya kuasai. Dari pagi hingga malam. Jam 6.30 saya sudah berada di bimbel, walau saya tahu jam segitu belum ada satupun tentor yang datang, tetapi saya semangat untuk datang lebih pagi, bersamaan dengan satpam atau cleaning service. Sepulang bimbel, terkadang saya bermain ke Perpustakaan Kota. Jika mengantuk, saya membuat secangkir kopi, entah siang atau malam. Sesampainya di rumah, saya kembali membuka buku hingga malam tiba. Saya selalu semangat. Selalu. Dan selalu yakin bahwa usaha saya ini tidak akan sia-sia. Yakin bahwa apa yang saya perjuangkan ini pasti akan berbuah manis. Apa yang saya tanam, pasti akan saya petik.

Genap sebulan saya memfosir tubuh saya. Alhamdulillah saya tidak jatuh sakit atau merasa depresi akibat terlalu banyak belajar. 9 Juni 2015 saya mengerjakan soal SBMPTN di Fakultas Kedokteran Hewan. Sendirian, tidak ada teman yang saya kenal saat itu. Tetapi bukan masalah, saya selalu optimis dan berjuang dengan maksimal.

Selang 5 hari, saya mengikuti Ujian Mandiri UGM. Lokasi ujian saya ada di Fakultas Kedokteran. Saya jatuh cinta seketika pada tempat ini. Selepas mengerjakan ujian, saya langsung sholat di Masjid Ibnu Sina. Berdoa, semoga saya bisa menjadi bagian dari tempat istimewa ini. Kedokteran adalah cinta pertama saya. Dan menjadi dokter adalah satu hal yang selalu saya impikan, sejak saya masih kecil.

Saya juga mendaftar SM UNS, karena seleksinya menggunakan nilai SBMPTN. Tidak perlu tes lagi, jadi tidak usah repot-repot sampai Solo.

Ramadhan tiba. Sebulan terasa begitu lama.

9 Juli 2015, bertepatan dengan buber angkatan. Beragam raut wajah yang saya jumpai saat itu. Ada yang panik, ada yang sudah menangis sebelum membuka hasilnya, ada yang parno, ada yang penasaran, ada yang santai-santai. Saya memutuskan untuk membuka hasilnya nanti sepulang buber, karena selain tidak ada koneksi, saya juga sedang sibuk wira-wiri.

Sesampainya di rumah, saya bertanya ke pada Ibu. Beliau menjawab tidak lolos. Saya bengong dan memilih untuk tidak membukanya sampai kapanpun. Saya tidak sanggup melihat kotak merah yang berisi tulisan tidak lolos serta permintaan maaf, untuk yang kedua kalinya. Saya menerima dengan lapang dada, toh masih ada SM UNS dan UM UGM. Saya menaruh sebesar-besar perasaan optimis saya pada dua seleksi tersebut, karena selain saya bisa mengerjakan, pilihan ketiga yang saya ambil sudah benar-benar aman.

Dua hari berlalu. Saya terbangun pada bilangan 13 bulan Juli dengan perasaan optimis. Segera menyalakan laptop, tetapi pengumumannya masih jam 11 malam nanti. Saya menunggu dengan gembira, tidak sabar menyaksikan betapa harunya saya nanti. Yang saya lakukan seharian hanya memandangi website SPMB UNS, walau saya tahu itu adalah hal bodoh.

Tepat pukul 11. Dysa, teman saya sudah bertanya tentang kabar UNS. Saya, Ibu, Ayah, dan Dysa sibuk membantu saya untuk masuk web karena server sedang down, saking banyaknya yang mengakses sepertinya. Akhirnya pukul 12 lebih Dysa berhasil masuk web, dia mengirimiku screen-capture yang berbunyi Alfu wa Ichda F tidak ada dalam daftar mahasiswa yang diterima di UNS melalui seleksi mandiri. Saya tidak percaya setengah mati. Saya mencoba masuk web dan membuktikan kebenarannya. Ternyata benar, Dysa tidak berbohong. Saya gagal. Untuk ketiga kali.

Dua hari berlalu. Hari ini 15 Juli adalah pengumuman untuk UM UGM. Ibu bilang beliau trauma membuka pengumuman tapi berulangkali kata gagal yang didapat. Tetapi saya tetap optimis karena saya bisa mengerjakan. Pukul 4 sore, Hanif, teman saya memberi kabar bahwa dia tidak lolos. Saya tidak goyah, saya tetap optimis karena saya tahu saya pantas mendapatkannya.

Takdir berkata lain. Saya gagal. Saya mengira bakal tersangkut di pilihan pertama ataupun kedua, tetapi kenyataannya di pilihan ketigapun tidak. Saya memberi tahu Ibu kabar menyedihkan ini. Ibu tidak percaya, kemudian menjadi tidak berdaya. Saya langsung lari ke kamar, tidak sanggup jika menyaksikan Ibu menangis untuk kesekian kalinya. Maaf, Bu. Saya juga mengabari Ayah melalu ponsel karena beliau sedang tidak di rumah. Ayah mengatakan tidak apa-apa, semoga diberi yang terbaik. Saya menangis membaca kalimat singkat tersebut. Maaf, Yah. Sekali lagi, maaf telah mengecewakan berulang kali.

Hati saya hampir remuk seluruhnya. Saya tidak bisa berfikir dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya sedih. Sedih sebenar-benarnya sedih. Setiap bulir air yang jatuh dari mata saya menyisakan pedih yang teramat di dalam hati. Jika sedih ini adalah dosa, mungkin saya telah menjadi penghuni neraka.

No one knows about what actually I feel. Right now.

Saat itu juga, saya pergi ke rumah Guru Fisika saya, Pak Irwan, sambil membawakan parsel lebaran. Saya hendak mengucapkan terima kasih telah membimbing saya selama ini. Saya bercerita banyak tentang semua yang saya alami. Beliau tidak percaya. Tidak mungkin seorang Alfu tidak lolos. Sehari-hari kemampuannya bagus. Dia termasuk gadis pandai. Saya tidak pernah mendapati Alfu sedih, karena dia selalu tertawa setiap saat. Begitu katanya. Saya percaya bahwa saya pintar, bukannya sombong, tapi tidak mungkin seorang guru  sampai berbohong, saya tahu Pak Irwan selalu peduli dan mengamati murid-muridnya. And he really recharge my spirit when nobody can’t.

Saya bertanya apakah saya bodoh kepada teman-teman saya. Dan jawaban yang saya dapatkan selalu sama. Kamu itu pintar, Fu.

Semua saja berkata bahwa kamu itu pintar Fu, tapi kenyataannya yang tidak lebih pintar dari saya malah lolos. Semua saja berkata bahwa belum tentu aku bisa garap kaya kamu Fu, tapi kenyataannya kalian yang tidak bisa mengerjakan malah lolos.

Ibu, Ayah, saya hendak meminta maaf karena yang kalian banggakan sepenuh hati justru malah mengecewakan seenak hati. Maaf saya belum bisa menjadi apa yang kalian impikan.

Jika ditanya apakah saya sedih, iya memang saya sedih. Saya sedih, tetapi Ibu mencoba menghibur dengan mengatakan “sedihmu juga sedih kami”. Saya sedih, yang seharusnya bisa dibanggakan, pada kenyataannya hanya menanggalkan harapan. Saya sedih, impian Ayah dan Ibu yang begitu istimewa, malah saya tukar dengan air mata kecewa.

Saya telah gagal, tidak hanya sekali, namun berulang kali. Jika Ayah dan Ibu hendak kecewa, kecewalah. Saya ikhlas.



Gadismu,

Alfu.