Akhirnya, pada hari kelima kita tiba di simpang puncak. Tempat ini merupakan persimpangan di antara ketiga puncak; Rengganis, Argopuro, dan Arca. Dataran Hyang yang membentang mengelilingi lestarinya pegunungan Argopuro ini benar-benar menyisakan sejuta kenangan. Canda tawa suka duka tangis lelah emosi marah sedih letih sebal semuanya bercampur jadi satu. Petualangan agung ini bermula dari Stasiun Lempuyangan, 13 hingga 21 April 2014. Tepat setahun yang lalu.
Hari pertama, kami berjalan meninggalkan Pos Baderan, pelan-pelan menikmati terik yang membuat keringat mengucur tanpa henti. Jalan bebatuan yang kami lewati tidak begitu terjal. Tapi cukup membuat sepatu saya rusak. Di sisi terdapat tebing yang tidak begitu tinggi. Sedang di sisi kanan merupakan jurang, banyak sekali air terjun yang bisa dilihat dari kejauhan. Tiba-tiba saya menyadari handphone saya terjatuh. Saya kembali menyusuri jalan keberangkatan tadi, tetapi tidak menemukan apapun. Saya pasrah. Memilih membiarkan dan melanjutkan perjalanan. Belum tiba di Makadam, cuaca terik sepagian berubah menjadi mendung dan menjatuhkan bulir-bulir hujan. Lama kelamaan menjadi deras. Jalanan yang hanya selebar ban motor menjadi sangat licin. Membuat saya terus terjatuh dan mengeluh. Saya sebal dan sempat menangis. Saya mengajukan pertanyaan, "Ini kapan sampai?" Konyol sekali. Sampai di mana? Belum ada sepertujuh perjalanan saja sudah mengajukan pertanyaan seperti itu. Kami belum mencapai mata air 1, tetapi hari sudah gelap. Kami memilih mendirikan tenda di sini. Di tempat sempit, tidak tahu namanya. Kami segera mengganti pakaian kami yang basah kuyup, kemudian menjerengnya di pohon-pohon. Berharap esok cerah sehingga kami bisa menjemur pakaian-pakaian ini. Kami segera membuat sup kentang dan wedang jahe untuk menghangatkan badan. Kami juga memasak nasi dan tumis buncis. Lapar sekali rasanya.
Hari kedua, cuaca sangat cerah. Pukul 7 mentari sudah menyibakkan teriknya menembus celah pepohonan; tempat kami beristirahat. Kami segera memasang tali dan membuat jemuran. Setelah dirasa cukup kering, pukul 9 kami segera mengemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Tengah siang, kami tiba di Mata Air I. Mengisi ulang air minum dan mengisi ulang tenaga kami. Berbekal golok yang dibawa salah satu teman saya, kami membuat senjata untuk mainan. Seperti panah-panahan, tombak, dan trisula. Kami melanjutkan perjalanan. Rombongan terpisah menjadi dua. Tujuh orang di depan dan lima orang di belakang. Saya bersama keempat teman saya, yang kebetulan merupakan rombongan belakang, berjalan sangat lambat dan sering sekali istirahat. Katanya, kalo tidak dinikmati nanti rugi. Keempat teman saya menggendong carrier sangat besar, 80L hingga 100L. Sedangkan saya hanya menenteng tas serut sambil makan kuaci. Kami bermalam di Mata Air II. Banyak sekali hewan kecil yang suka menggigit, kami menamainya nyoy-nyoy. Kami membuat api unggun dan menyeduh jahe bakar.
Hari ketiga, kami kembali menjemur pakaian-pakaian basah kami. Sayangnya, ada teman kami yang jatuh sakit. Tetapi tidak begitu parah sehingga kami bisa melanjutkan perjalanan. Kami membuat jus tomat serta wedang kopi-gulajawa untuk bekal hari ini. Hari memang cerah, tetapi ketika melewati hutan lumut tetap saja basah dan lembab. Setelah melewati banyak sekali-yang entah apa nama dari setiap sabana tersebut-kami tiba di alun alun kecil. Kami berteriak sepuasnya di sini, karena sejak hari pertama pendakian, kami hanya bertemu dengan tiga orang dari SMA N 3 Malang. Selebihnya hanya burung rumput dan pohon yang menjadi teman tertawa kami. Kami melewati padang verbena, yang kerap kali disebut lavender. Sejauh mata memandang, hanya hamparan ungu yang terlihat. Lebih cantik dari Oro-Oro Ombo milik Semeru. Sebelum petang, kami tiba di Cikasur. Aliran air di Cikasur sangat jernih! Kami segera memanen jembak dan menjadikannya pecel sebagai menu makan malam kami.
Semburat merah jingga yang muncul di ufuk timur mengawali pagi keempat kami. Menambah damainya pagi di Cikasur. Saya menikmati secangkir kopi, sementara Musa sibuk dengan kameranya. Berlarian mengejar merak di antara luasnya bekas landasan pesawat terbang pada masa kolonial. Beberapa dari kami ada sibuk menjemur pakaian, ada yang memasak, ada yang bermain air sambil memanem jembak, ada juga yang hanya duduk menikmati kepulan asap dari beberapa batang rokok. Syahdu sekali pagi itu. Kami meninggalkan Cikasur yang Maha-Luas dan berjalan menuju Cisentor. Kami memasuki hutan yang berdebu dan kotor. Banyak sekali pohon tumbang dan beberapa rute tertutup oleh tanaman liar. Tidak ada sampah sama sekali, jadi kami sempat kebingungan dan tersesat. Sunyi dan hanya suara angin yang ada. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini. Setelah melewati hutan, kami tiba di sabana. Kemudian ada padang verbena lagi. Kemudian memasuki hutan lagi. Kami memanen murbei dan tomat mini. Kami juga melewati hutan edelweiss. Akhirnya kami tiba di Cisentor. Setelah membersihkan diri, mengisi ulang air minum, dan makan, kami berjalan menuju Rawa Embik. Malam di Rawa Embik sangat-sangat dingin. Saat kami memasak, beberapa dari teman saya sudah mengunci rapat-rapat dirinya di dalam kantung tidur. Enggan keluar tenda.
Saya suka pagi kelima di Rawa Embik. Cerah dan cantik langit di sini. Ribuan dandelion merengek-rengek minta dipetik dan ditiup. Seperti biasa, kami menjemur semua pakaian basah kami sebelum melanjutkan perjalanan. Rawa Embik merupakan sumber air terakhir, jadi kami mengisi semua botol milik kami. Sekitar pukul 11, kami berjalan menuju Simpang Puncak. Setelah berulangkali memasuki hutan dan padang edelweiss, kami akhirnya tiba di Simpang Puncak. Kami segera membuat perapian karena menipisnya bahan bakar. Sebelum mentari tenggelam di ufuk barat, kami berlarian menuju Puncak Argopuro. Ada yang cekeran karena lelahnya memakai sepatu selama lima hari, ada yang hanya berbalut sarung, ada juga yang membawa secangkir teh panas. Kami menikmati sunset di Puncak Argopuro. Romantis? Biasa saja. Menu makan malam kali ini sangat istimewa, Spaghetti with Bolognese Sauce ditambah makaroni sebagai pelengkap. Sambil menunggu rembulan muncul di permukaan, kami bergiliran membacakan puisi, duduk melingkar di depan perapian.
Pada pagi keenam, tepat pukul 5 sebelum mentari memancarkan semburat merah jingganya, kami berlarian menuju Puncak Rengganis. Di sini, ada bekas petilasan Dewi Rengganis. Setelah berjalan turun, saya dan dua teman saya melakukan remidi ke Puncak Argopuro dilanjut ke Puncak Arca. Pukul 11, kami merapel sarapan sekaligus makan siang. Tepat tengah hari, kami melanjutkan perjalanan. Logistik yang habis dan air minum yang menipis menuntun kami harus tiba di Pos Bremi malam ini juga. Sebelumnya, dua teman saya sudah kembali ke Rawa Embik untuk mengisi ulang air minum.
Kami secara tidak langsung terpisah menjadi dua rombongan. Rombongan depan berisi 5 laki-laki super kuat yang berjalan tanpa bekal, mereka tiba di Pos Bremi pukul 9 malam. Di antara mereka sempat terjadi cekcok, masalahnya hanya sepele, tetapi jika lapar dingin dan dehidrasi bercampur jadi satu, hal itu menjadikan kami lebih mudah emosi. Semua tahu itu.
Sedangkan rombongan kedua berisi 4 laki-laki dan 3 perempuan. Semua kaki kami sudah luka-luka, baik rombongan depan maupun belakang, tapi kami tidak mungkin berhenti, kami harus melanjutkan perjalanan karena logistik sangat menipis. Saya sempat masuk ke jurang, tapi alhamdulillah saya tersangkut di antara pepohonan dan masih bisa diselamatkan oleh teman-teman saya. Kami melewati padang ilalang setinggi 2 meter. Ternyata rumputnya basah terguyur hujan tadi pagi, membuat badan kami basah kuyup. Kami lupa tidak memakai jas hujan saat itu. Selanjutnya, kami melewati Hutan Hujan Tropis. Saya takut saat itu, berjalan sangat cepat dan tidak berkata sepatah kata pun. Hari hampir petang saat kami tiba di Danau Taman Hidup, namun mistis sekali saat itu, suasana penuh kabut dan kami tidak bisa melihat apapun. Kami segera melanjutkan perjalanan. Pukul 8 malam, salah satu teman perempuan saya jatuh sakit. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menikmati bekal terakhir kami. Sup makaroni tinggal sebungkus, kornet dan sarden juga tinggal sekaleng. Mengetahui tidak cukup untuk bertujuh, dua dari kami memilih melanjutkan perjalanan. Setelah makan, keadaan tidak kunjung baik. Saya tahu, baju kami basah sejak siang tadi, perut kami lapar, tenggorokan kami dahaga,pundak kami lelah, kaki kami sakit, pikiran kami buyar. Dua dari kami terkena hipotermia, satu lagi sudah hilang fokus dan ambyar karena mengantuk. Sekarang tinggal dua, saya dan Musa. Saya bingung, kemudian memutar otak, memilih membawa satu teman saya yang terkena hipotermia untuk dipaksa turun ke basecamp. Tidak mungkin kami berlima tinggal di gunung tanpa bekal. Musa menjaga teman perempuan saya yang sakit dan terkena hipotermia, ditambah teman laki-laki saya yang hilang fokus dan ambyar tadi. Air minum tinggal 1 botol, saya membaginya dengan Musa. Saya menuruni jalanan yang sangat terjal ini sambil berdzikir, berharap semua baik-baik saja hingga nanti. Laki-laki di sebelah saya ini benar-benar sudah disorientasi, sejak tadi hanya hanya ngelindur seperti orang kesurupan. Saya menamparnya dan mengguyurnya dengan air terakhir milik saya. Tetapi dia belum juga sadarkan diri. Baju kami basah. Saya pun ikut menggigil sedari tadi. Saya mensugesti diri, saya kuat dan semuanya akan baik-baik saja. Saya takut dan sempat menangis, takut jika yang saya bawa turun ini pada akhirnya kesurupan. Saya terus berdoa. Akhirnya saya tiba di Hutan Damar. Saya menyadari bahwa sinar headlamp saya tidak lebih terang dari rembulan di atas sana, maka dari itu saya memilih mematikannya. Saya akhirnya bertemu dengan dua teman saya yang tadi berpisah pukul 8 malam. Mereka tertidur di Hutan Damar katanya. Kemudian kami berempat melanjutkan perjalanan menuju basecamp.
Tiba di Desa Bremi, kami tidak tahu di mana letak basecampnya. Saya melihat jam, ternyata pukul 3 pagi. Tidak ada kehidupan jam segini, tidak ada air, tidak ada makanan, tidak ada yang tahu di mana rombongan pertama saat ini berada. Kami berempat akhirnya tertidur di depan warung. Entah milik siapa. Pagi harinya, kami mencari rombongan pertama. Akhirnya kami bertemu dan menceritakan apa yang kami alami. Tiga dari mereka menyusul ketiga teman saya yang tertinggal di hutan. Membawakan air, susu, dan roti. Setelah beberapa saat, dari kejauhan tampak perempuan sedang digendong teman laki-laki saya. Mereka berjalan bersama 4 laki-laki lain. Pincang, semua kakinya sedang luka-luka. Tapi kami tersenyum bahagia, akhirnya semua baik-baik saja dan tidak ada hal buruk yang terjadi.