Sunday, December 7, 2014

Cinta Tumbuh di Sudut Kota Yogyakarta



Cinta ini tumbuh di warung kopi pukul tiga pagi. Cinta ini tumbuh di sepanjang jalan Malioboro. Cinta ini tumbuh di antara gemerlap lampu Stadion Maguwoharjo. Cinta ini tumbuh di tempat yang biasa-biasa saja. Di setiap sudut kota Yogyakarta; angkringan nasi kucing, lorong-lorong sosrowijayan, landasan paralayang, derai pasir pantai Gunungkidul, nol kilometer, padepokan teater, warung kopi, alun-alun utara, warung bakmi jawa, pasar ngasem, ringroad, dan bunderan ugm.

Cinta ini tumbuh di tempat yang sederhana. Cinta ini tidak tumbuh di tempat yang menurut orang-orang istimewa.

Kami sering duduk bersama. Menikmati kepulan uap dari cangkir cokelat yang saling bercengkerama. Menertawakan hal-hal kecil dan konyol yang tidak seharusnya ditertawakan. Bercerita tentang semuanya, dari apha sampai zet. Rasanya seperti tidak pernah kehabisan topik, walaupun setiap hari kami bertemu. Entah, ada saja yang ingin diceritakan.

Pernah suatu ketika saya berfikir mungkin saya akan bertemu jodoh saya di antara peron-peron stasiun kereta api atau di basecamp pendakian. Saya tidak menemukannya di sana, tetapi dengannyalah kami menjelajahi tempat-tempat itu.

Saya pernah angkuh untuk tidak menonton bola karena saya tidak menyukainya. Tetapi dengannya, saya tidak keberatan saat menemani menonton tim kesayangannya. Dia begitu serius menyaksikan setiap tendang-sepak para pemain. Saya mencoba ikut menyaksikan, tetapi tetap tidak paham dan malah mengantuk. Kemudian saya memilih untuk memperhatikan matanya yang teduh dan hidungnya yang mancung.

Dia pernah angkuh untuk tidak mau mencoba semua produk olahan sapi. Tetapi setiap kali saya mengajaknya ke tempat semacam Kalimilk, dia tidak menolaknya.

Saya sering mengesalkan setiap kali ingin makan. Karena kami harus mengitari setiap sudut Jogja terlebih dahulu. Setelah berjam-jam berkeliling dalam kebingungan, saya memilih kembali ke tempat awal. Dia tidak marah. Saya tertawa, dia pun ikut tertawa.

Dia sering menyebalkan karena selalu tampil rapi, sedangkan saya hanya memakai celana kolor saat bepergian. Dia sering menyebalkan karena setiap kali saya berusaha tampil cantik, yang ada hanya ditertawakan. Dia sering menyebalkan karena setiap kali ingin bicara, tiba-tiba hanya diam dan mengalihkan pembicaraan. Dia sering menyebalkan karena hidungnya terlalu mancung, sedangkan hidungku tidak.

Dia bukanlah lelaki romantis pada umumnya. Setiap turun dari gunung, dia selalu membawakanku batu. Katanya, kalau membawakan batu tidak perlu mengeluarkan biaya. Kadang-kadang dia memberikanku bunga. Tetapi bukan bunga mawar yang dibeli di Kotabaru, melainkan bunga kecil yang dipetik di jalan. Dia lucu. Dan setiap ke-tidak-romantisan-nya membuat dia jauh lebih romantis daripada lelaki pada umumnya.

Saya merasa sangat dicintai atas kekurangan dan ketidaksempurnaan yang saya miliki. Saya merasa sempurna dengan hadirnya, dan merasa bahagia setiap kali bertemu dengannya. Untungnya, cinta tumbuh di tempat yang sederhana, yang biasa-biasa saja. Cinta tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk berfoya-foya. Cinta adalah 'saya' dan 'dia' yang berubah menjadi 'kami'. Cinta adalah Yogyakarta, di setiap sudut keromantisannya.



Seumpama Kami Anjing, Dengarkan Suara Kami

Puisi ini saya buat khusus dipersembahkan dalam perayaan Hari Aids Sedunia, 1 Desember 2014. Waktu itu, kami sedang sibuk menghadapi ujian akhir semester. Saya tahu bahwa semua siswa sedang tenggelam dalam tumpukan materi biologi. Namun seharian ini saya malah berkutat dengan kertas dan pensil. Hingga pukul 21.00, kertas ini masih kosong karena belum ada inspirasi sama sekali. Akhirnya pada tengah malam, puisi ini jadi dan siap untuk dibacakan di Jogja City Mall dalam acara malam final pemilihan Duta HIV/Aids 2014.


Seumpama kami anjing
Kami adalah anjing yang dipenjarakan suaranya
Tapi apakah engkau peduli?
Pada kami, pada anjing-anjing yang tidak pernah didengar suaranya

Kami di sini, berbaris rapi
Di antara anjing-anjing dan anjing berbulu domba
Kami berteriak
Dengan dahaga dan lapar yang menganga
Dengar, dengarkan kami

Batin kami menangis
Lirih tak berdaya dihempas kedzaliman
Para penjilat yang merampas keadilan hak-hak kami
Yang kemudian dipasung
Dan suara kami dipenjarakan dalam kubangan stigma dan diskriminasi

Dengar
Dengarkan kami
Dengarkan jiwa kami yang meronta tanpa suara
Dengarkan jiwa kami yang resah, gelisah, dan goyah
Dengarkan jiwa kami yang pecah, terbang melambung tak terarah
Kau kemanakan nasib kami?
Kau kemanakan nasib kami
Yang hanya seekor anjing lemas dan tertindas

Dengarkan kami, dengarkan suara kami
Bantu kami menanggung beban dalam badan
Bantu kami untuk berdiri
Bantu kami memerangi sakit ini

Kami bukan penderita HIV
Kami juga bukan penderita Aids
Karena kami tidak menderita kawan
Kami adalah Orang Dengan HIV dan Aids
Kami butuh dukunganmu
Kami butuh simpatimu
Kami butuh rangkulanmu

Dan seumpama kau mengira bahwa kami adalah anjing
Setidaknya, dengarkan segala keluh kesah dan suara kami