Tuesday, July 8, 2014

Di Bawah Dinginnya Mahameru

Halo, saya sedang berada di puncak tertinggi di Pulau Jawa---puncak Mahameru; puncaknya para dewa.

Kalimat tersebut hanya sebatas angin mimpi dua tahun silam. Mimpi yang saya gantungkan di pintu kamar; bersama sederet mimpi-mimpi yang lain. Mimpi yang tidak pernah terbayang kapan akan terwujud. Mimpi yang berupa tulisan sederhana---dan kini menjadi nyata.

Terminal Giwangan pukul 8 malam terlihat cukup lara ketika kami bertiga harus meninggalkan kota ini. Kota yang terbuat dari air mata di setiap kali kepulangan dan kehilangan. Kota yang menyimpan banyak cerita duka dan bahagia. Yogyakarta; kota yang selalu istimewa, di setiap senja ataupun pagi buta. Bus Handoyo yang membawa tiga anak kecil dengan carrier masing-masing bergerak meninggalkan terminal pada pukul 20.20 WIB. Saya duduk di deretan kursi nomer dua, menempelkan sebagian wajah saya di jendela bus, seraya melambaikan tangan pada bayangan lelaki yang lebih dulu pergi sebelum bus datang memasuki pintu terminal.

Setelah 4 jam tertidur di dalam bus dengan fasilitas super ini, kami tiba di Kurnia Jawa Timur & Pusat Oleh-Oleh di deretan Jalan Raya Solo Ngawi KM 7 Telp (0351) 745 897. Karena bus yang kami pilih merupakan bus VIP maka dari itu lauknya pun tidak mengecewakan alias VIP juga. Setelah 30 menit, kami melanjutkan perjalanan lagi.

Bus malam memang sangat syahdu, dengan lagu-lagu yang luar biasa merindu, dan suasana yang bikin pilu. Satu lagi, sensasi menaiki bus malam ini sudah seperti roller coaster. Dengan lihainya sang supir menyalip dan menikung dengan kecepatan yang menakutkan.


Saat membuka mata, ternyata saya sudah berada di Malang. Kota yang menyajikan deretan gunung-gunung cantik yang membuat saya akan selalu merindukan kota ini. Pukul 6 pagi saya tiba di Terminal Arjosari, kemudian bertemu dengan teman saya yang akan menemani ke Semeru, Hanif Ramadhani namanya.

Kami bergegas melanjutkan perjalanan. Beginilah rutenya:
1. Terminal Arjosari-Pasar Tumpang
    Menggunakan mikrolet (angkot) putih.
    Biaya: Rp 10.000/orang.
2. Pasar Tumpang
    Melengkapi berkas perjininan:
    - Surat keterangan sehat (bila belum membawa, bisa mencari di puskesmas Tumpang).
    - Fotokopi KTP/Kartu Identitas  (bila belum fotokopi, bisa fotokopi di dekat Alfamart Tumpang).
    - Materai 6000 (bisa dibeli di Alfamart Tumpang).
    Membeli kebutuhan sayur-mayur di dalam pasar untuk beberapa hari mendatang.
    Membeli jas hujan karena saya lupa membawa.
    Membeli tambahan logistik di Alfamart Tumpang.
3. Pasar Tumpang-Rest Area
    Menggunakan mikrolet (angkot) hijau toska.
    Biaya: Rp 6000/orang. Kalau ingin menyarter dikenai biaya Rp 50.000/angkot.
4. Rest Area-Ranu Pane
    Daerah terakhir yang memiliki sinyal sebelum tiba di Ranu Pane.
    Terdapat kamar mandi apabila ingin membersihkan diri terlebih dahulu.
    Menggunakan: Jeep Rp 550.000
                           Truk Sayur Rp 45.000/orang (dengan syarat harus terisi 15 penumpang).
    Jarak tempuh menggunakan Jeep sekitar 1 jam, apabila truk sayur tentunya lebih lama karena lambat.
    
Karena sepi pendaki (mendekati bulan puasa), selama berjam-jam hanya kami berempat yang berada di Rest Area. Akhirnya ada supir Jeep yang menawari kami dengan harga Rp 50.000/orang.

Selfie dulu biar gaul:))

Perjalanan menggunakan Jeep cukup memacu adrenalin, terlebih apabila naik di atas Jeep dengan kecepatan super. Jalanan berlubang dan berkelok-kelok menjadi sensasi tersendiri, apalagi banyak ranting pohon yang menggantung di tengah-tengah dan menabrak muka yang tidak awas. Pemandangan di kanan dan kiri cukup menghipnotis mata dan membuat saya berulang kali berteriak kagum. Di tengah perjalanan, biasanya supir Jeep akan berhenti sejenak untuk foto-foto dengan latar Bukit Teletubbies dan Lautan Pasir milik Gunung Bromo. Setelah puas berfoto-ria, lanjut lagi perjalanan yang membuat perut terkocak-kocak mual.

 Bukit Teletubbies

 Langitnya cerah.

Selamat datangnya di sini, tapi Ranu Pane-nya masih jauh.

Akhirnya kami tiba di Desa Ranu Pani. Desa yang masih asri dan damai dengan penduduk yang luar biasa ramah. Kami segera mendaftarkan rombongan, kemudian mengisi checklist barang bawaan.

Sebelumnya, kami makan dan menghabiskan siang di Ranu Regulo; 2100 mdpl.

Sebelum meninggalkan Ranu Pane.

Pukul 2 siang kami meninggalkan jejak-jejak menuju Ranu Kumbolo. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 memang sangat jauh, membuat jengkel karena tidak sampai-sampai juga. Pukul 17.30 kami tiba di pos 3, saat itu kondisi saya sudah melemah karena asam lambung yang tidak kunjung turun sejak tadi siang. Kami terpaksa beristirahat sejenak karena cuaca pun sedang hujan. Di tengah gelap dan dinginnya malam, Alvian sibuk mengeluarkan nasting dan menyalakan kompor. Berusaha memasak mie dan membuat minuman hangat agar saya tidak jatuh sakit.

Istirahat di Pos 3.

Pukul 20.30 kami berkemas, memakai jas hujan dan bergegas meninggalkan pos 3. Bintang yang berjajar di langit seakan berteriak riuh menyuruh kami agar segera tiba di Ranu Kumbolo. Begitu tiba di pesisir danau, kami masih harus mengitari punggungan bukit untuk tiba di Camp Area.

Di tengah dinginnya Ranu Kumbolo masih bisa narsis ya?:>

Malam itu ribuan bintang berjejer rapi di langit Ranu Kumbolo. Angin berhembus tanpa permisi dan membawa dingin yang luar biasa. Membuat kami kesusahan mendirikan tenda. Sementara Alvian, Diah dan Hanif sibuk mendirikan tenda, saya mengupas wortel dan kentang. Rencananya kami ingin membuat sup untuk menghangatkan tubuh yang menggigil sedari tadi, tetapi dinginnya malam itu membuat kami memilih tidur dan meninggalkan potongan sayur di teras tenda.

Ranu Kumbolo.

Dingin membalut rata danau dengan ketinggian 2500 mdpl tersebut. Membawa dingin yang menusuk dan angin yang tak henti-hentinya berpendar hingga ke dalam tenda. Dengan masih berbalutkan sleeping bag, saya membuka kantung tenda perlahan. Memandang luas danau dengan gulungan kabut di atasnya. Sesaat kemudian, mentari muncul dari balik punggungan. Rona merah pada langit yang membelah kedua bukit memancarkan cahaya ke sekeliling lembahan. Sungguh luar biasa saya memulai kehidupan pagi ini.

 Aku nggak paham sama Diah kalo kecemplung paling cuma tulung-tulung:|

Airnya sangat tenang saat masih pagi, jadi kaya cermin gitu.

Ranu Kumbolo; inilah surganya Gunung Semeru. Tempat peristirahatan para pendaki yang-akan naik atau turun-dari Mahameru. Danau seluas 14 hektar yang dikelilingi bukit demi bukit yang terjal dan gersang merupakan lukisan alam yang luar biasa indah.

Setelah puas menghabiskan pagi di Ranu Kumbolo, pukul 1 siang kami berkemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Melewati tanjakan cinta memiliki sensasi tersendiri. Seperti kata orang-orang, apabila terus melangkah tanpa istirahat dan tidak menoleh ke belakang, maka jodohmu adalah orang yang menjadi motivasimu saat melewati tanjakan cinta. Hahaha nggak masuk akal sih, tapi nggak papa lah buat lucu-lucuan. Lagipula medannya tidak seberat bukit-bukit di Merbabu, kok.

Selepas tanjakan cinta, rutenya adalah mengitari punggungan bukit. Namun kami memilih membelah sabana yang menyajikan padang lavender tersebut. Setelah puas berputar-putar dalam labirin lavender, kami tiba di Cemoro Kandang. Di sini kami bertemu dengan pasangan suami istri yang masih muda dan sangat romantis, asal Banjarmasin. Cantik dan tampan memang. Tetapi sayangnya, mereka sok tahu jadi saya agak sebal dengan mereka berdua.

“Aku baju dobel 6 sama pake 2 jaket aja masih kedinginan lho. Kaos kaki sama sarung tangan juga dobel-dobel nyampe mati rasa. Jam 4 sore di Kalimati aja dinginnya udah minta ampun. Sampe menggigil semua.”
“Kalian bawa sepatu nggak? Rasain sendiri gimana dinginnya di pasir-pasir nanti. Trus air sama bekalnya yang cukup, nanti mati kalian.”
“Ada yang udah pernah ke sini belum? Nanti deh rasain sendiri.”

Saya hanya tersenyum. Dalam hati saya ingin berteriak tepat di depan wajahnya, “Mbak, temen saya sudah 12 kali ke sini. Jadi mending mbaknya diem deh. Ke sini bawa porter aja blagu amat.”

Kami kembali berjalan setelah cukup bercengkrama di atas batang pohon tua yang sudah tumbang. Melewati hutan-hutan yang kering, gersang dan berdebu. Sayangnya, Hanif yang sejak tadi pagi sakit belum sembuh juga. Kami terpaksa beristirahat agak lama. Mengeluarkan kompor dan menyeduh minuman hangat.

Kami tiba di Jambangan pukul 5. Pemandangan Mahameru sudah jelas dari sini. Puncak para dewa tersebut seperti hanya tinggal beberapa langkah lagi. Kami segera melanjutkan perjalanan karena angin berhembus kencang menembus jaket yang kami kenakan. Membuat gigil dan bulu kuduk kami berdiri.

Puncaknya kayaknya deket ya dari Jambangan.

Sekitar satu jam, kami tiba di Kalimati. Mendirikan tenda, memasak nasi, dan menyeduh jahe. Hanif yang buru-buru mengunci diri di dalam sleeping bag menolak untuk makan ataupun minum obat. Saya khawatir karena nanti pukul 11 kami harus bergegas menuju puncak, tapi kalau kondisinya seperti ini tidak mungkin meninggalkan dia sendirian-kedinginan dan kelaparan-di dalam tenda. Saya acuh, memilih segera tidur karena waktu sudah menujukkan pukul 8 malam. Seperti membuang energi berulang kali menyuruhnya untuk makan terlebih dahulu, namun dia memilih mengunci dirinya dalam kantung tidur.

Alarm dari salah satu handphone berdering membangunkan kami. Waktu menujukkan pukul 11 malam. Udara dingin menusuk menembus keempat kaos kaki yang saya kenakan. Masuk ke dalam tulang rusuk. Gemeretak gigil gigi geraham tak henti-hentinya menjadi pertunjukkan malam itu. Kami dihadapkan pada pilihan yang sangat berat; bertiga melanjutkan perjalanan ke puncak atau langkah kami harus terhenti di sini. Bagaimana pun, konyol rasanya meninggalkan teman yang sakit sendirian di tenda-yang sedari tadi pagi belum makan-dalam kondisi yang sedingin ini. Tetapi sorot mata Diah ingin sekali ke puncak. Alvian sedari tadi memilih diam. Aku menunduk, tidak berkata apa-apa. Hanif yang tidak bisa dibangunkan membuat suasana semakin dingin. Kami saling diam, membiarkan angin menggerogoti tulang-tulang kami. Saya tetap menunduk, dan akhirnya mengatakan, “Kalian berdua aja yang muncak. Aku di sini jagain Hanif.” Entah dalam keadaan sadar atau tidak saya mengucapkan kalimat tersebut. Membiarkan mereka berdua melanjutkan perjuangan hingga tapak tertinggi di tanah Jawa. Sementara saya di sini, tetap berada di ketinggian 2600 mdpl. Menikmati dinginnya Kalimati dari dalam tenda. Berdoa agar mereka berdua selalu diberi perlindungan, selamat menuju dan kembali dari puncak. Tepat tengah malam, saya menutup pintu tenda, melepas kepergian dua anak yang notabene masih adik kelas saya. Kembali membenamkan diri dalam balutan sleeping bag, mengunci diri rapat-rapat, membiarkan air mata mengering sebelum keluar menyentuh udara malam.

“Selamat tidur kembali, gadis kecil. Tidak apa-apa hanya sampai sini. Lebih baik menjaga daripada terjadi apa-apa.” ucapku, dalam hati.

Pukul 11 siang dan mereka belum juga kembali. Saya berulangkali keluar masuk tenda, sekedar memastikan keadaan luar. Kabut tebal menyelimuti Kalimati siang itu. Dinginnya embun menetes-netes di atas tenda milik kami. 30 menit kemudian, Alvian muncul dengan langkah gontai dan wajah pucat-menembus tebalnya kabut-sendirian.

“Aku hampir pingsan. 10 jam aku jalan.” ---ucapnya tanpa tenaga.
“Di mana Diah?” ---tanyaku cemas.
“Di belakang. Aku pisah sejak perjalanan muncak. Dia malah ngobrol sama mas-mas lama banget, yaudah tak tinggal.” ---jawabnya tanpa daya.
Sesaat kemudian, Diah muncul dari balik kabut. Tersenyum dengan sisa-sisa tenaganya. Berjalan menuju tenda. Lalu tidur.

Secapek itukah? ----tanyaku dalam hati.

Oleh-oleh dari Alvian sewaktu di puncak Mahameru.

“Baliknya besok ya. Aku pengen muncak nih.” ---ujarku dengan nada bercanda.

Siapa sih yang tidak ingin sampai di atas sana? Tanyaku dalam hati, sambil memandangi puncak Mahameru dari balik tenda.

Persediaan air kami habis, sehingga sampai sore hari kami hanya goler-goler di dalam tenda. Bolak-balik mengambil air di Sumber Mane sekitar 1 jam. Dalam kabut setebal dan sedingin ini siapa yang rela turun dan mengambil berliter-liter air; dalam jarak tempuh yang terbilang tidak dekat? Malas rasanya. Hingga pukul 5 sore yang kami lakukan hanya lempar-lemparan tugas untuk mengambil air. Akhirnya dengan sedikit memaksa, saya mengajak Hanif untuk mengambil air. Saya membawa 3 botol, sedangkan dia 4 botol. Mata air di sini sangat jernih karena mengalir; turun ke bawah. Dengan frekuensi yang tidak begitu deras. Jadi harus sabar saat mengisi ulang botol berukuran 1,5 liter tersebut. Terlebih kalau harus antri dengan pendaki lain, maka yang dibutuhkan hanya kesabaran ekstra. Selesai mengisi 7 botol, saya menyadari bahwa langit sudah mulai gelap. Dan bodohnya kami kelupaan membawa headlamp. Kami berjalan pelan-pelan, memasang mata awas, berhati-hati dengan setiap turunan dan jalan menanjak. Hanif tiba-tiba menghentikan langkahnya, dan berusaha mengeluarkan isi perutnya. Namun berulang kali yang ia keluarkan hanya ludah, karena memang sejak kemarin pagi perutnya tidak diisi dengan nasi. Setiap kali dia berusaha untuk muntah, yang bisa saya lakukan hanya memijat lehernya, sambil memberi semangat untuk kembali ke tenda. Untungnya, di tengah perjalanan kami bertemu dengan porter dan pendaki lain. Pendaki tersebut menyapa kami, lalu saya balik sapa.

“Mari mas. Dari mana mas?”
“Malang mbak.”
“Nanti mau muncak ya mas?”
“Iya mbak, gimana?”
“Kalau saya bareng boleh nggak mas? Soalnya temen udah muncak tadi malem.”
“Boleh mbak, gabung aja. Tenda kita di deket shelter.”

Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan entah. Entah senang karena nanti malam mendapat teman untuk muncak, atau entah bingung karena keputusan yang saya ambil tanpa memikirkan lebih jauh resikonya.

Setelah melewati tanah-tanah menanjak dan kembali ke Kalimati, saya bingung dengan keberadaan tenda kami. Suasananya sangat gelap saat itu, dengan penerangan yang terbatas dari rembulanan yang muram. Kemudian saya berteriak memanggil Alvian dan Diah. Sesaat, Diah muncul dari balik pepohonan dengan headlampnya; kemudian menyusul dan membawa kami kembali ke tenda.

Setelah memasak beraneka ragam, saya membangunkan Hanif dan Alvian. Memaksa mereka untuk makan agar tidak drop. Saya juga memaksa Hanif untuk minum obat, dengan harapan besok pagi sudah sehat sehingga bisa pulang secepatnya. Pukul 11 malam, alarm handphone berbunyi samar-samar; membangunkanku. Sementara yang lain masih tertidur dalam kantung tidurnya masing-masing. Dengan kantuk yang masih menggelayut di kedua kelopak mata, saya berkemas-kemas menyiapkan segala kebutuhan termasuk air, logistik, P3K, kamera, jas hujan, slayer, kertas, spidol, dan tongkat kayu. Setelah merangkap baju yang saya kenakan, saya membangunkan Alvian dan Diah.

“Aku berangkat dulu ya. Kalo sampe jam 1 siang besok aku nggak balik ke tenda, kalian duluan aja ke Ranu Kumbolo.”
“Enggak mbak. Berangkat bareng-bareng pulangnya juga bareng-bareng. Hati-hati ya, mbak.” Entah Diah atau Alvian yang menjawab saya lupa, tetapi mereka pun menjawab dengan setengah sadar, mungkin karena masih kantuk.

Shelter dan tenda-tenda milik pendaki lain berada di seberang sabana. Saya berjalan sendirian-dalam dingin dan hembus angin-membelah sabana Kalimati. Saya mengetuk tenda demi tenda, bertanya apakah yang di dalam merupakan rombongan dari Malang yang tadi sore bertemu di Sumber Mane. Sampai akhirnya saya di depan tenda yang menjawab ‘iya’ kemudian membukakan pintu. Setelah dibuka ternyata salah orang. Kalo ini mah bapak-bapak yang stylish nan rempong dengan porter dan guidenya. Tetapi beliau malah ngajak bareng dan mempersilakan masuk ke tendanya terlebih dahulu. Saya disuguhi almond, roti, yogurt, milo, dan kopi. Terakhir, saya ditawari untuk memakai sunblock. Dalam hati saya bertanya, bapak ini mau piknik apa naik gunung sih?

Pukul 1.30 dini hari, saya keluar tenda dan memulai perjalanan agung. Melangkah dengan mantap. Melewati tanjakan demi tanjakan; yang akhirnya membuat nafas saya terengal-engal dan tidak bisa mengikuti langkah mereka. Sebentar-bentar saya berhenti, sebentar-bentar saya istirahat. Sementara saya tertinggal lumayan jauh dengan dua orang di depan, saya didampingi oleh mas porter, yang ternyata masih mahasiswa semester 4 di UIN Malang. Saya berulang kali meminta maaf karena sudah merepotkan, tetapi dia malah menjawab, “Santai aja, mbak. Saya juga sambil istirahat kok.” Saya tahu bahwa bapak rempong di depan sudah membayar mahal porter dan guide ini, dan beliau sangat terobsesi dengan sunrise di puncak Mahameru, makanya saya sangat merasa bersalah ke pada beliau.

Setelah 2 jam melewati tanjakan yang lumayan menguras energi sekaligus nafas, kini kami tiba di batas vegetasi. Jalur yang kami lewati merupakan jalur baru, yaitu dengan tidak melewati Arcopodo, karena selain daerahnya yang rawan runtuh juga lebih lama karena harus mlipir punggungan dulu. Selepas batas vegetasi, saya berhenti sejenak, memandang dari bawah ke atas, perlahan. Saya terdiam dan hanya berkata waw---tanpa suara. Saya menapaki pasir-pasir dengan elevasi kemiringan hampir 60 derajat. Setiap 3 langkah turun 2 langkah, terkadang malah kembali ke posisi awal, sehingga apa yang saya lakukan hanya sia-sia belaka.  Lebih menyakitkan lagi kalau sudah berjalan 5 langkah tetapi hanya terhitung 1 langkah. Lantas kapan saya sampai di atas? Hah. 1,5 jam sudah saya berjalan menapaki pasir-pasir Mahameru dengan tenaga dan nafas yang hampir habis. Saya hampir putus asa sampai akhirnya menemukanan dua orang lelaki yang sedang duduk beristirahat di tengah-tengah bukit pasir. Saya menyapa, kemudian kedua lelaki tersebut memberi semangat. Saya hanya menjawab, “Mbok aku digendong sampe atas, mas. Udah nggak kuat.” Saya hanya iseng berkata tetapi kedua lelaki baik tersebut-entah karena kasihan atau karena memang baik-menuntun saya langkah demi langkah. Dengan sendirinya saya terpisah dengan rombongan bapak rempong tersebut. Lelaki satunya membuatkan tapak-tapak kaki secara zig-zag, lalu yang satunya menjaga di bawah saya. Kemudian tangan saya ditarik. Begitu seterusnya, hingga kami seperti kawan baik yang saling bahu membahu padahal belum saling kenal. Salah satu dari mereka memperkenalkan diri, Fitriyanto namanya, yang ternyata adalah petugas dari Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya seperti dipertemukan dengan malaikat milik Tuhan. Saya tersenyum, tak henti-hentinya heran sambil mengucap syukur. Dan kalimat yang sedari tadi menyesaki pikiran saya hanyalah: kok bisa?

Saya mengajak kenalan lelaki satunya, tetapi dia berkata nanti saja di puncak biar romantis. Saya hanya tertawa. Bang Fitriyanto ini sangat ngantuk karena tadi belum tidur, makanya dia berjalan ke puncak mendului kami---lalu tidur di sana. Maka dengan sabar lelaki satunya menuntun jalan saya pelan-pelan. Berungkali tangan saya ditarik karena kaki yang sudah tidak kuat untuk melangkah. Tiga perempat bagian pasir sudah terlewati, dan mentari mulai menampakkan dirinya. Semburat oranye membelah angkasa, berada di atas gumpalan-gumpalan awan putih nan cantik. Satu persatu bintang menghilang. Saya mengawali pagi ini dengan potret pemandangan yang sangat luar biasa. Dan saya juga baru bisa melihat wajah lelaki yang sedari tadi sabar menuntun saya. Maka apakah ada yang lebih baik dari lelaki yang kenal saja belum, tahu wajahnya saja belum, tetapi mau menolong gadis kecil yang cepat capek, mengeluh, dan seringkali tidak kuat melangkah---yang baru saja ditemuinya dini hari di bukit pasir milik Mahameru? HAHAHA.

Sunrise di atas awan, dari bukit pasir Mahameru.

Perjalanan kurang 100 meter, tetapi saya benar-benar tidak kuat untuk menggerakkan kedua kaki saya. Saya sudah menyerah dan menyuruh lelaki tersebut melanjutkan perjalanan ke puncak sedangkan saya akan menunggu di sini. Tetapi lelaki itu malah memilih membawakan tas carrier yang saya bawa dan menarik tangan saya dengan sisa-sisa tenaganya. Saya sudah hampir menangis karena tidak kuat tetapi dia selalu berkata: kamu nggak mau lihat awan yang cantik itu dari atas sana? Ayo kurang dikit. Saya hanya menggeleng sambil mengeluh tidak kuat. Lalu dia berkata lagi: masa kalah sama arek Jakarta. Masa kalah sama bule-bule itu. Saya menggeleng lagi. Dia berkata: Ayo bang Fitri udah nunggu di atas, nggak malu sama dia? Saya hanya diam dan memaksakan kedua kaki saya untuk tetap melangkah. Tidak ada tenaga lagi. Satu langkah melorot, satu langkah melorot. Dan lelaki itu hanya tertawa. Ayo sini tangannya. Saya mengulurkan tangan kanan saya.

Sudah 1 km vertikal saya tempuh dengan kemiringan yang luar biasa, akhirnya ketika saya menginjakkan kaki di puncak, saya hanya berteriak hampir menangis---tidak karuan rasanya. Saya langsung merebahkan badan saya di tanah Mahameru, tak sanggup berkata apa-apa. 6 jam 15 menit perjalanan yang menguras segalanya terbayar dengan pemandangan yang sangat cantik. Langit begitu cerah dan matahari begitu indah. Deretan gunung Arjuno, Paderman, Welirang, Bromo, Raung, Argopuro mengitari tanah tertinggi Jawa ini. Gumpalan awan putih berjajar rapi memenuhi sudut angkasa. Lautan selatan dan utara seolah bersatu dengan debur ombak yang mempesona. Deretan kota yang terlihat dari atas menambah kesan eksotis lukisan alam pagi ini. Ditambah dentuman kawah yang meletus tiap 15-30 menit sekali dan mengeluarkan asap, memenuhi bibir kawah. Tuhan, pesona yang saya saksikan pagi ini sungguh luar biasa sempurna. Saya benar-benar merasa kecil, Tuhan.

Thank you, 3676 mdpl.

Dua pahlawan saya; bang Jep (kanan) dan bang Fit (kiri).

Lebih dari 100 menit saya menyaksikan keagungan Tuhan tersebut, dan tidak henti-hentinya mengucapkan Subhanallah. Saya turun pukul 08.20 dengan perasaan puas sepuas-puasnya, senang sesenang-senangnya, bangga sebangga-bangganya, haru seharu-harunya. Menuruni bukit pasir ini dapat saya tempuh dengan waktu 35 menit. Betapa jengkelnya bila dibayangkan perjuangan naik selama 4 jam lebih hanya dibayar dengan berseluncur-ria selama 35 menit.

Sebelum seluncuran, tapi badan udah capek duluan.

Oiya sebelumnya, saya sudah berkenalan dengan lelaki satunya, Jefri namanya. Saat berseluncur-ria di bukit pasir dia berulang kali berteriak, “Gue keren karena turunan, kalo udah nanjak ya jelek lagi.”

Wah setuju bang, gue banget itu hahahaha. Lalu saya ikut meneriakkan kalimat tersebut.

Kaki saya sudah terlanjur sakit akibat naik tadi pagi, sehingga sekarang susah digerakkan untuk menuruni tanah-tanah berdebu selepas bukit pasir. Kami istirahat sejenak. Bang Fitri memberiku krim mati rasa agar kakiku tetap bisa berjalan. Saya melepas ketiga kaos kaki yang saya kenakan, mengoleskannya mengitari kaki.

Kurang dari 1 jam, saya tiba di Kalimati. Saya berjalan menuju tenda; dengan senyum dan langkah gontai, tanpa tenaga. Mereka bertiga menyambut kedatangan saya, menanyakan kabar dan perjalanan ke puncak. Saya bercerita antusias; dengan nafas terengal-engal.

Dengan sisa tenaga sejak tadi malam, saya dan Diah harus turun ke Sumber Mane untuk mengambil air. Sedangkan Alvian dan Hanif membereskan tenda seisinya. Selepas mengisi air, saya baru merasakan lelah yang sangat, disorientasi, tidak bisa melangkahkan kaki, dan tidak bisa berucap. Saya lupa jalan pulang dan tidak bisa berfikir ataupun mengingat. Saya dan Diah sempat berdebat panjang ketika menyadari bahwa kami sudah tersesat jauh. Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke posisi terakhir yang kami ingat, dan mencoba jalan satu-satu.

Tenda sudah ter-packing. Sungguh kenyataan yang menyakitkan ketika menyadari bahwa kami harus segera turun ke Ranu Pane. Bukan karena saya mencintai tempat ini dan ingin berlama-lama di sini, tetapi karena kondisi saya yang berada dalam posisi sangat lelah, yang sejak jam 11 tadi malam belum beristirahat. Terlebih kedua kaki saya yang tidak henti-hentinya menapaki tanjakan dan turunan Semeru. Kalau bisa menjerit, mungkin kaki saya sudah menangis meronta-ronta dengan kekuatan 50.000 desibel. Sedangkan perjalanan Kalimati-Ranu Pane terbilang cukup jauh. Sewajarnya pendakian-setelah turun dari puncak-mereka akan menginap satu malam lagi di Ranu Kumbolo. Tetapi logistik dan persediaan gas yang menuntut kami segera pulang ke basecamp.

Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Kalimati.

Pukul 3 sore lebih 20 menit, kami berjalan meninggalkan Kalimati. Melewati hutan yang kering dan berdebu. Kalau tidak memakai masker, saya kasihan dengan organ pernafasan saya. Dengan sendirinya kami terpisah-pisah sesuai kemampuan dan sisa tenaga. Toh gunung ini sedang sepi-sepinya karena bulan puasa, jadi jarang sekali menemui pendaki yang naik ataupun turun. Saya melangkah pelan-pelan sekali, tetapi tidak istirahat. Diah dan Hanif-yang memiliki tenaga paling banyak-memilih berlari ketika menuruni Semeru. Sementara dengan sabarnya, Alvian berada di belakang saya dan membawakan tas milik saya. Membiarkan saya memilih secepat apa saya melangkah. Bertanya, apakah saya masih kuat atau tidak. Saya kagum dengannya, lelaki yang pernah meninggalkan kelompok saat perjalanan menuju puncak Merbabu ternyata begitu peduli dengan temannya---terlebih perempuan. Sejak awal perjalanan pendakian dia memang tidak pernah membiarkan perempuan berjalan sendirian. Di hari pertama waktu itu, dia sering kali memarahi Hanif yang berulang kali meninggalkan Diah sendirian, atau menyusul saya ketika berjalan sendirian dan tidak lagi bersama Hanif.

Di Cemoro Kandang ada penduduk Tengger yang berjualan makanan, dan satu yang harus di coba-ketika berada di batas antara hutan dengan sabana-adalah gorengan dengan sambal bala-bala yang luar biasa pedas. Satu gorengan dibandrol dengan harga 2 ribu rupiah.

Oleh-oleh dari bang Jep saat melewati padang lavender, selepas Cemoro Kandang.

Kami tiba di Ranu Kumbolo sudah hampir petang. Semburat langit di antara dua bukit sangat cantik, gradasi biru ungu dan merah muda. Satu hal, Ranu Kumbolo ini sangat sepi! Hanya ada 4 buah tenda di sini. Tidak seperti biasanya, tenda-tenda menyesaki setiap sudut tempat hingga terlihat seperti sebuah ‘desa’ pendaki. Di situ kami bertemu bang Jep dan bang Fit, kami ditawari bermalam di sini tetapi kami tolak karena kami memang bertekat ingin sampai di basecamp malam ini.

Pukul 21.30 saya berada di akhir tenaga, tidak bisa melanjutkan perjalanan ini karena hampir 24 jam saya belum beristirahat dan kaki saya belum berhenti melangkah. Akhirnya kami mendirikan tenda di pos 1. Bermalam di situ. Tanpa logistik.

Pagi hari kami bangun dengan perasahaan maha malas. Karena malam ini bisa tidur dengan udara yang tidak begitu dingin, kami sangat nyaman dan enggan bergegas keluar dari kantung tidur. Saya iseng menyalakan handphone, ternyata di sini ada sinyal. Kemudian saya mengirimkan pesan singkat, sekedar kabar ke pada orang-orang yang saya sayangi, agar mereka tidak khawatir. Ibu saya menelfon dan kami bercakap lumayan lama. Hebat ya di sini, padahal di Ranu Pane tidak ada sinyal.

Walaupun belum terisi makanan, tetapi kondisi saya sudah lumayan baikan karena kaki saya sudah beristirahat nyenyak semalam. Setelah sabar berjalan melewati jalan setapak yang lumayan jauh, akhirnya kami tiba di Ranu Pane. Saya sampai bingung harus berucap apa, senang rasanya, haru rasanya, bahagia rasanya, capek rasanya, semua campur aduk menjadi satu.

SAYA BAHAGIA. TERIMAKASIH:>

Catatan kecil:
1. Jangan lupa membawa masker, sarung tangan, sepatu dan baju rangkap jika berniat ke puncak.
2. Perhatikan bekal, karena begitu sampai puncak akan terasa lapar sekali.
3. Sebelum berangkat ke puncak kita harus mengisi perut terlebih dahulu agar mempunyai energi yang kuat.
4. Semakin tinggi, oksigennya semakin berkurang. Bagi yang belum biasa, kepala biasanya pusing.
5. Jangan pernah ada kata menyerah!
6. Jangan tinggalkan sampah di gunung, bawa turun kembali ke Ranu Pane.
7. Jika buang air kecil/besar jangan mencemari mata air.
8. Jika buang air besar gali dulu tanahnya, lalu dikubur. Jangan di sembarang tempat.
9. Setelah dari Semeru, jangan langsung pulang ke Jogja. Berkelilinglah dahulu di sekitar Kota Malang jika bekal uangnya mencukupi.
10. Keberangkatan menggunakan bus Handoyo Rp 115.000/orang.
      Kelas: VIP
      Fasilitas: toilet dalam, makanan enak.
      Dari terminal Giwangan 20.20, tiba di terminal Arjosari 06.05.
11. Kepulangan menggunakan bus Rosalia Indah Rp 105.000/orang.
      Kelas: Eksekutif
      Fasilitas: sandaran kaki, bantal, selimut, air mineral saat kedatangan, toilet dalam, makanan padang.
      Ditambah pendataan tempat tujuan saat awal keberangkatan.
      Saat kita tertidur, akan dibangunkan oleh petugas ketika sudah sampai di tempat tujuan pilihan.
      Bis ini juga akan berhenti di rumah makan waktu sahur.
12. Biaya pendakian Gunung Semeru untuk satu orang: 17.500/hari kerja. 22.500/weekend dan hari libur.

Tuesday, July 1, 2014

Rindu yang dikirim dari Malang untuk lelaki yang berada di Jogja

Selamat malam, tuan.

Sebelumnya, saya tidak akan bertanya kabar karena saya tahu bahwa kau selalu dalam keadaan baik. Jadi, sedang apa di sana? Saya rindu.

Salam,
Gadis kecilmu.