Halo, saya sedang berada di puncak tertinggi di
Pulau Jawa---puncak Mahameru; puncaknya para dewa.
Kalimat tersebut hanya sebatas angin mimpi dua tahun silam.
Mimpi yang saya gantungkan di pintu kamar; bersama sederet mimpi-mimpi yang
lain. Mimpi yang tidak pernah terbayang kapan akan terwujud. Mimpi yang berupa
tulisan sederhana---dan kini menjadi nyata.
Terminal Giwangan pukul 8 malam terlihat cukup lara ketika
kami bertiga harus meninggalkan kota ini. Kota yang terbuat dari air mata di
setiap kali kepulangan dan kehilangan. Kota yang menyimpan banyak cerita duka
dan bahagia. Yogyakarta; kota yang selalu istimewa, di setiap senja ataupun
pagi buta. Bus Handoyo yang membawa tiga anak kecil dengan carrier
masing-masing bergerak meninggalkan terminal pada pukul 20.20 WIB. Saya duduk
di deretan kursi nomer dua, menempelkan sebagian wajah saya di jendela bus,
seraya melambaikan tangan pada bayangan lelaki yang lebih dulu pergi sebelum
bus datang memasuki pintu terminal.
Setelah 4 jam tertidur di dalam bus dengan fasilitas super
ini, kami tiba di Kurnia Jawa Timur & Pusat Oleh-Oleh di deretan Jalan Raya
Solo Ngawi KM 7 Telp (0351) 745 897. Karena bus yang kami pilih merupakan bus
VIP maka dari itu lauknya pun tidak mengecewakan alias VIP juga. Setelah 30
menit, kami melanjutkan perjalanan lagi.
Bus malam memang sangat syahdu, dengan lagu-lagu yang luar
biasa merindu, dan suasana yang bikin pilu. Satu lagi, sensasi menaiki bus malam ini sudah seperti roller coaster. Dengan lihainya sang supir menyalip dan menikung dengan kecepatan yang menakutkan.
Saat membuka mata, ternyata saya sudah berada di Malang.
Kota yang menyajikan deretan gunung-gunung cantik yang membuat saya akan
selalu merindukan kota ini. Pukul 6 pagi saya tiba di Terminal Arjosari,
kemudian bertemu dengan teman saya yang akan menemani ke Semeru, Hanif Ramadhani
namanya.
Kami bergegas melanjutkan perjalanan. Beginilah rutenya:
1. Terminal Arjosari-Pasar Tumpang
Menggunakan mikrolet (angkot) putih.
Biaya: Rp 10.000/orang.
2. Pasar Tumpang
Melengkapi berkas perjininan:
- Surat keterangan sehat (bila belum membawa, bisa mencari di puskesmas Tumpang).
- Fotokopi KTP/Kartu Identitas (bila belum fotokopi, bisa fotokopi di dekat Alfamart Tumpang).
- Materai 6000 (bisa dibeli di Alfamart Tumpang).
Membeli kebutuhan sayur-mayur di dalam pasar untuk beberapa hari mendatang.
Membeli jas hujan karena saya lupa membawa.
Membeli tambahan logistik di Alfamart Tumpang.
3. Pasar Tumpang-Rest Area
Menggunakan mikrolet (angkot) hijau toska.
Biaya: Rp 6000/orang. Kalau ingin menyarter dikenai biaya Rp 50.000/angkot.
4. Rest Area-Ranu Pane
Daerah terakhir yang memiliki sinyal sebelum tiba di Ranu Pane.
Terdapat kamar mandi apabila ingin membersihkan diri terlebih dahulu.
Menggunakan: Jeep Rp 550.000
Truk Sayur Rp 45.000/orang (dengan syarat harus terisi 15 penumpang).
Jarak tempuh menggunakan Jeep sekitar 1 jam, apabila truk sayur tentunya lebih lama karena lambat.
Karena sepi pendaki (mendekati bulan puasa), selama berjam-jam hanya kami berempat yang berada di Rest Area. Akhirnya ada supir Jeep yang menawari kami dengan harga Rp 50.000/orang.
Selfie dulu biar gaul:))
Perjalanan
menggunakan Jeep cukup memacu adrenalin, terlebih apabila naik di atas Jeep
dengan kecepatan super. Jalanan berlubang dan berkelok-kelok menjadi sensasi
tersendiri, apalagi banyak ranting pohon yang menggantung di tengah-tengah dan
menabrak muka yang tidak awas. Pemandangan di kanan dan kiri cukup menghipnotis
mata dan membuat saya berulang kali berteriak kagum. Di tengah perjalanan,
biasanya supir Jeep akan berhenti sejenak untuk foto-foto dengan latar Bukit
Teletubbies dan Lautan Pasir milik Gunung Bromo. Setelah puas berfoto-ria,
lanjut lagi perjalanan yang membuat perut terkocak-kocak mual.
Bukit Teletubbies
Langitnya cerah.
Selamat datangnya di sini, tapi Ranu Pane-nya masih jauh.
Akhirnya kami tiba di Desa Ranu Pani. Desa yang masih asri
dan damai dengan penduduk yang luar biasa ramah. Kami segera mendaftarkan
rombongan, kemudian mengisi checklist barang bawaan.
Sebelumnya, kami makan dan menghabiskan siang di Ranu Regulo; 2100 mdpl.
Sebelum meninggalkan Ranu Pane.
Pukul 2 siang kami meninggalkan jejak-jejak menuju Ranu
Kumbolo. Perjalanan dari pos 2 menuju pos 3 memang sangat jauh, membuat jengkel
karena tidak sampai-sampai juga. Pukul 17.30 kami tiba di pos 3, saat itu
kondisi saya sudah melemah karena asam lambung yang tidak kunjung turun sejak
tadi siang. Kami terpaksa beristirahat sejenak karena cuaca pun sedang hujan.
Di tengah gelap dan dinginnya malam, Alvian sibuk mengeluarkan nasting dan
menyalakan kompor. Berusaha memasak mie dan membuat minuman hangat agar saya
tidak jatuh sakit.
Istirahat di Pos 3.
Pukul 20.30 kami berkemas, memakai jas hujan dan bergegas
meninggalkan pos 3. Bintang yang berjajar di langit seakan berteriak riuh
menyuruh kami agar segera tiba di Ranu Kumbolo. Begitu tiba di pesisir danau,
kami masih harus mengitari punggungan bukit untuk tiba di Camp Area.
Di tengah dinginnya Ranu Kumbolo masih bisa narsis ya?:>
Malam itu ribuan bintang berjejer rapi di langit Ranu
Kumbolo. Angin berhembus tanpa permisi dan membawa dingin yang luar biasa.
Membuat kami kesusahan mendirikan tenda. Sementara Alvian, Diah dan Hanif sibuk
mendirikan tenda, saya mengupas wortel dan kentang. Rencananya kami ingin
membuat sup untuk menghangatkan tubuh yang menggigil sedari tadi, tetapi
dinginnya malam itu membuat kami memilih tidur dan meninggalkan potongan sayur
di teras tenda.
Ranu Kumbolo.
Dingin membalut rata danau dengan ketinggian 2500 mdpl
tersebut. Membawa dingin yang menusuk dan angin yang tak henti-hentinya
berpendar hingga ke dalam tenda. Dengan masih berbalutkan sleeping bag, saya membuka kantung tenda perlahan. Memandang luas
danau dengan gulungan kabut di atasnya. Sesaat kemudian, mentari muncul dari balik punggungan. Rona merah pada
langit yang membelah kedua bukit memancarkan cahaya ke sekeliling lembahan. Sungguh luar biasa saya memulai kehidupan pagi ini.
Aku nggak paham sama Diah kalo kecemplung paling cuma tulung-tulung:|
Airnya sangat tenang saat masih pagi, jadi kaya cermin gitu.
Ranu Kumbolo; inilah surganya Gunung Semeru. Tempat
peristirahatan para pendaki yang-akan naik atau turun-dari Mahameru. Danau
seluas 14 hektar yang dikelilingi bukit demi bukit yang terjal dan gersang
merupakan lukisan alam yang luar biasa indah.
Setelah puas menghabiskan pagi di Ranu Kumbolo, pukul 1
siang kami berkemas dan bergegas melanjutkan perjalanan. Melewati tanjakan
cinta memiliki sensasi tersendiri. Seperti kata orang-orang, apabila terus
melangkah tanpa istirahat dan tidak menoleh ke belakang, maka jodohmu adalah
orang yang menjadi motivasimu saat melewati tanjakan cinta. Hahaha nggak masuk
akal sih, tapi nggak papa lah buat lucu-lucuan. Lagipula medannya tidak seberat
bukit-bukit di Merbabu, kok.
Selepas tanjakan cinta, rutenya adalah mengitari punggungan bukit.
Namun kami memilih membelah sabana yang menyajikan padang lavender tersebut.
Setelah puas berputar-putar dalam labirin lavender, kami tiba di Cemoro
Kandang. Di sini kami bertemu dengan pasangan suami istri yang masih muda dan
sangat romantis, asal Banjarmasin. Cantik dan tampan memang. Tetapi sayangnya,
mereka sok tahu jadi saya agak sebal dengan mereka berdua.
“Aku baju dobel 6 sama pake 2 jaket aja masih kedinginan
lho. Kaos kaki sama sarung tangan juga dobel-dobel nyampe mati rasa. Jam 4 sore
di Kalimati aja dinginnya udah minta ampun. Sampe menggigil semua.”
“Kalian bawa sepatu nggak? Rasain sendiri gimana dinginnya
di pasir-pasir nanti. Trus air sama bekalnya yang cukup, nanti mati kalian.”
“Ada yang udah pernah ke sini belum? Nanti deh rasain
sendiri.”
Saya hanya tersenyum. Dalam hati saya ingin berteriak tepat
di depan wajahnya, “Mbak, temen saya sudah 12 kali ke sini. Jadi mending
mbaknya diem deh. Ke sini bawa porter aja blagu amat.”
Kami kembali berjalan setelah cukup bercengkrama di atas
batang pohon tua yang sudah tumbang. Melewati hutan-hutan yang kering, gersang
dan berdebu. Sayangnya, Hanif yang sejak tadi pagi sakit belum sembuh juga.
Kami terpaksa beristirahat agak lama. Mengeluarkan kompor dan menyeduh minuman
hangat.
Kami tiba di Jambangan pukul 5. Pemandangan Mahameru sudah
jelas dari sini. Puncak para dewa tersebut seperti hanya tinggal beberapa
langkah lagi. Kami segera melanjutkan perjalanan karena angin berhembus kencang
menembus jaket yang kami kenakan. Membuat gigil dan bulu kuduk kami berdiri.
Puncaknya kayaknya deket ya dari Jambangan.
Sekitar satu jam, kami tiba di Kalimati. Mendirikan tenda, memasak nasi, dan
menyeduh jahe. Hanif yang buru-buru mengunci diri di dalam sleeping bag menolak untuk makan ataupun minum obat. Saya khawatir
karena nanti pukul 11 kami harus bergegas menuju puncak, tapi kalau kondisinya
seperti ini tidak mungkin meninggalkan dia sendirian-kedinginan dan
kelaparan-di dalam tenda. Saya acuh, memilih segera tidur karena waktu sudah
menujukkan pukul 8 malam. Seperti membuang energi berulang kali menyuruhnya
untuk makan terlebih dahulu, namun dia memilih mengunci dirinya dalam kantung
tidur.
Alarm dari salah satu handphone berdering membangunkan kami.
Waktu menujukkan pukul 11 malam. Udara dingin menusuk menembus keempat kaos kaki yang
saya kenakan. Masuk ke dalam tulang rusuk. Gemeretak gigil gigi geraham tak
henti-hentinya menjadi pertunjukkan malam itu. Kami dihadapkan pada pilihan
yang sangat berat; bertiga melanjutkan
perjalanan ke puncak atau langkah kami harus terhenti di sini. Bagaimana pun,
konyol rasanya meninggalkan teman yang sakit sendirian di tenda-yang sedari
tadi pagi belum makan-dalam kondisi yang sedingin ini. Tetapi sorot mata Diah
ingin sekali ke puncak. Alvian sedari tadi memilih diam. Aku menunduk, tidak
berkata apa-apa. Hanif yang tidak bisa dibangunkan membuat suasana semakin
dingin. Kami saling diam, membiarkan angin menggerogoti tulang-tulang kami.
Saya tetap menunduk, dan akhirnya mengatakan, “Kalian berdua aja yang muncak. Aku di
sini jagain Hanif.” Entah dalam keadaan sadar atau tidak saya mengucapkan
kalimat tersebut. Membiarkan mereka berdua melanjutkan perjuangan hingga tapak
tertinggi di tanah Jawa. Sementara saya di sini, tetap berada di ketinggian
2600 mdpl. Menikmati dinginnya Kalimati dari dalam tenda. Berdoa agar mereka
berdua selalu diberi perlindungan, selamat menuju dan kembali dari puncak.
Tepat tengah malam, saya menutup pintu tenda, melepas kepergian dua anak yang
notabene masih adik kelas saya. Kembali membenamkan diri dalam balutan sleeping
bag, mengunci diri rapat-rapat, membiarkan air mata mengering sebelum keluar
menyentuh udara malam.
“Selamat tidur kembali, gadis kecil. Tidak apa-apa hanya
sampai sini. Lebih baik menjaga daripada terjadi apa-apa.” ucapku, dalam hati.
Pukul 11 siang dan mereka belum juga kembali. Saya
berulangkali keluar masuk tenda, sekedar memastikan keadaan luar. Kabut tebal
menyelimuti Kalimati siang itu. Dinginnya embun menetes-netes di atas tenda
milik kami. 30 menit kemudian, Alvian muncul dengan langkah gontai dan wajah
pucat-menembus tebalnya kabut-sendirian.
“Aku hampir pingsan. 10 jam aku jalan.” ---ucapnya tanpa
tenaga.
“Di mana Diah?” ---tanyaku cemas.
“Di belakang. Aku pisah sejak perjalanan muncak. Dia malah
ngobrol sama mas-mas lama banget, yaudah tak tinggal.” ---jawabnya tanpa daya.
Sesaat kemudian, Diah muncul dari balik kabut. Tersenyum
dengan sisa-sisa tenaganya. Berjalan menuju tenda. Lalu tidur.
Secapek itukah? ----tanyaku dalam hati.
Oleh-oleh dari Alvian sewaktu di puncak Mahameru.
“Baliknya besok ya. Aku pengen muncak nih.” ---ujarku dengan nada bercanda.
Siapa sih yang tidak ingin sampai di atas sana? Tanyaku dalam hati,
sambil memandangi puncak Mahameru dari balik tenda.
Persediaan air kami habis, sehingga sampai sore hari kami
hanya goler-goler di dalam tenda. Bolak-balik mengambil air di Sumber Mane
sekitar 1 jam. Dalam kabut setebal dan sedingin ini siapa yang rela turun dan
mengambil berliter-liter air; dalam jarak tempuh yang terbilang tidak dekat?
Malas rasanya. Hingga pukul 5 sore yang kami lakukan hanya lempar-lemparan
tugas untuk mengambil air. Akhirnya dengan sedikit memaksa, saya mengajak Hanif
untuk mengambil air. Saya membawa 3 botol, sedangkan dia 4 botol. Mata air di
sini sangat jernih karena mengalir; turun ke bawah. Dengan frekuensi yang tidak
begitu deras. Jadi harus sabar saat mengisi ulang botol berukuran 1,5 liter
tersebut. Terlebih kalau harus antri dengan pendaki lain, maka yang dibutuhkan
hanya kesabaran ekstra. Selesai mengisi 7 botol, saya menyadari bahwa langit
sudah mulai gelap. Dan bodohnya kami kelupaan membawa headlamp. Kami berjalan pelan-pelan, memasang mata awas,
berhati-hati dengan setiap turunan dan jalan menanjak. Hanif tiba-tiba
menghentikan langkahnya, dan berusaha mengeluarkan isi perutnya. Namun berulang
kali yang ia keluarkan hanya ludah, karena memang sejak kemarin pagi perutnya
tidak diisi dengan nasi. Setiap kali dia berusaha untuk muntah, yang bisa saya
lakukan hanya memijat lehernya, sambil memberi semangat untuk kembali ke tenda.
Untungnya, di tengah perjalanan kami bertemu dengan porter dan pendaki lain.
Pendaki tersebut menyapa kami, lalu saya balik sapa.
“Mari mas. Dari mana mas?”
“Malang mbak.”
“Nanti mau muncak ya mas?”
“Iya mbak, gimana?”
“Kalau saya bareng boleh nggak mas? Soalnya temen udah
muncak tadi malem.”
“Boleh mbak, gabung aja. Tenda kita di deket shelter.”
Kemudian saya melanjutkan perjalanan dengan perasaan entah.
Entah senang karena nanti malam mendapat teman untuk muncak, atau entah bingung
karena keputusan yang saya ambil tanpa memikirkan lebih jauh resikonya.
Setelah melewati tanah-tanah menanjak dan kembali ke
Kalimati, saya bingung dengan keberadaan tenda kami. Suasananya sangat gelap
saat itu, dengan penerangan yang terbatas dari rembulanan yang muram. Kemudian
saya berteriak memanggil Alvian dan Diah. Sesaat, Diah muncul dari balik
pepohonan dengan headlampnya; kemudian menyusul dan membawa kami kembali ke
tenda.
Setelah memasak beraneka ragam, saya membangunkan Hanif dan
Alvian. Memaksa mereka untuk makan agar tidak drop. Saya juga memaksa Hanif
untuk minum obat, dengan harapan besok pagi sudah sehat sehingga bisa pulang
secepatnya. Pukul 11 malam, alarm handphone
berbunyi samar-samar; membangunkanku. Sementara yang lain masih tertidur dalam
kantung tidurnya masing-masing. Dengan kantuk yang masih menggelayut di kedua
kelopak mata, saya berkemas-kemas menyiapkan segala kebutuhan termasuk air,
logistik, P3K, kamera, jas hujan, slayer, kertas, spidol, dan tongkat kayu.
Setelah merangkap baju yang saya kenakan, saya membangunkan Alvian dan Diah.
“Aku berangkat dulu ya. Kalo sampe jam 1 siang besok aku
nggak balik ke tenda, kalian duluan aja ke Ranu Kumbolo.”
“Enggak mbak. Berangkat bareng-bareng pulangnya juga
bareng-bareng. Hati-hati ya, mbak.” Entah Diah atau Alvian yang menjawab saya
lupa, tetapi mereka pun menjawab dengan setengah sadar, mungkin karena masih
kantuk.
Shelter dan tenda-tenda milik pendaki lain berada di
seberang sabana. Saya berjalan sendirian-dalam dingin dan hembus angin-membelah
sabana Kalimati. Saya mengetuk tenda demi tenda, bertanya apakah yang di dalam
merupakan rombongan dari Malang yang tadi sore bertemu di Sumber Mane. Sampai
akhirnya saya di depan tenda yang menjawab ‘iya’ kemudian membukakan pintu.
Setelah dibuka ternyata salah orang. Kalo ini mah bapak-bapak yang stylish nan
rempong dengan porter dan guidenya. Tetapi beliau malah ngajak bareng dan
mempersilakan masuk ke tendanya terlebih dahulu. Saya disuguhi almond, roti,
yogurt, milo, dan kopi. Terakhir, saya ditawari untuk memakai sunblock. Dalam
hati saya bertanya, bapak ini mau piknik apa naik gunung sih?
Pukul 1.30 dini hari, saya keluar tenda dan memulai
perjalanan agung. Melangkah dengan mantap. Melewati tanjakan demi tanjakan;
yang akhirnya membuat nafas saya terengal-engal dan tidak bisa mengikuti
langkah mereka. Sebentar-bentar saya berhenti, sebentar-bentar saya istirahat. Sementara
saya tertinggal lumayan jauh dengan dua orang di depan, saya didampingi oleh
mas porter, yang ternyata masih
mahasiswa semester 4 di UIN Malang. Saya berulang kali meminta maaf karena
sudah merepotkan, tetapi dia malah menjawab, “Santai aja, mbak. Saya juga
sambil istirahat kok.” Saya tahu bahwa bapak rempong di depan sudah membayar
mahal porter dan guide ini, dan beliau sangat terobsesi dengan sunrise di
puncak Mahameru, makanya saya sangat merasa bersalah ke pada beliau.
Setelah 2 jam melewati tanjakan yang lumayan menguras energi
sekaligus nafas, kini kami tiba di batas vegetasi. Jalur yang kami lewati
merupakan jalur baru, yaitu dengan tidak melewati Arcopodo, karena selain
daerahnya yang rawan runtuh juga lebih lama karena harus mlipir punggungan dulu. Selepas batas vegetasi, saya berhenti
sejenak, memandang dari bawah ke atas, perlahan. Saya terdiam dan hanya berkata
waw---tanpa suara. Saya menapaki pasir-pasir dengan elevasi kemiringan hampir
60 derajat. Setiap 3 langkah turun 2 langkah, terkadang malah kembali ke posisi
awal, sehingga apa yang saya lakukan hanya sia-sia belaka. Lebih menyakitkan lagi kalau sudah berjalan 5
langkah tetapi hanya terhitung 1 langkah. Lantas kapan saya sampai di atas?
Hah. 1,5 jam sudah saya berjalan menapaki pasir-pasir Mahameru dengan tenaga
dan nafas yang hampir habis. Saya hampir putus asa sampai akhirnya menemukanan
dua orang lelaki yang sedang duduk beristirahat di tengah-tengah bukit pasir.
Saya menyapa, kemudian kedua lelaki tersebut memberi semangat. Saya hanya
menjawab, “Mbok aku digendong sampe atas, mas. Udah nggak kuat.” Saya hanya
iseng berkata tetapi kedua lelaki baik tersebut-entah karena kasihan atau
karena memang baik-menuntun saya langkah demi langkah. Dengan sendirinya saya
terpisah dengan rombongan bapak rempong tersebut. Lelaki satunya membuatkan
tapak-tapak kaki secara zig-zag, lalu yang satunya menjaga di bawah saya.
Kemudian tangan saya ditarik. Begitu seterusnya, hingga kami seperti kawan baik
yang saling bahu membahu padahal belum saling kenal. Salah satu dari mereka
memperkenalkan diri, Fitriyanto namanya, yang ternyata adalah petugas dari
Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Saya seperti dipertemukan dengan malaikat
milik Tuhan. Saya tersenyum, tak henti-hentinya heran sambil mengucap syukur.
Dan kalimat yang sedari tadi menyesaki pikiran saya hanyalah: kok bisa?
Saya mengajak kenalan lelaki satunya, tetapi dia berkata
nanti saja di puncak biar romantis. Saya hanya tertawa. Bang Fitriyanto ini
sangat ngantuk karena tadi belum tidur, makanya dia berjalan ke puncak mendului
kami---lalu tidur di sana. Maka dengan sabar lelaki satunya menuntun jalan saya
pelan-pelan. Berungkali tangan saya ditarik karena kaki yang sudah tidak kuat
untuk melangkah. Tiga perempat bagian pasir sudah terlewati, dan mentari mulai
menampakkan dirinya. Semburat oranye membelah angkasa, berada di atas
gumpalan-gumpalan awan putih nan cantik. Satu persatu bintang menghilang. Saya
mengawali pagi ini dengan potret pemandangan yang sangat luar biasa. Dan saya
juga baru bisa melihat wajah lelaki yang sedari tadi sabar menuntun saya. Maka
apakah ada yang lebih baik dari lelaki yang kenal saja belum, tahu wajahnya
saja belum, tetapi mau menolong gadis kecil yang cepat capek, mengeluh, dan
seringkali tidak kuat melangkah---yang baru saja ditemuinya dini hari di bukit
pasir milik Mahameru? HAHAHA.
Sunrise di atas awan, dari bukit pasir Mahameru.
Perjalanan kurang 100 meter, tetapi saya benar-benar tidak
kuat untuk menggerakkan kedua kaki saya. Saya sudah menyerah dan menyuruh
lelaki tersebut melanjutkan perjalanan ke puncak sedangkan saya akan menunggu
di sini. Tetapi lelaki itu malah memilih membawakan tas carrier yang saya bawa
dan menarik tangan saya dengan sisa-sisa tenaganya. Saya sudah hampir menangis
karena tidak kuat tetapi dia selalu berkata: kamu nggak mau lihat awan yang cantik itu dari atas sana? Ayo kurang
dikit. Saya hanya menggeleng sambil mengeluh tidak kuat. Lalu dia berkata
lagi: masa kalah sama arek Jakarta. Masa
kalah sama bule-bule itu. Saya menggeleng lagi. Dia berkata: Ayo bang Fitri udah nunggu di atas, nggak
malu sama dia? Saya hanya diam dan memaksakan kedua kaki saya untuk tetap
melangkah. Tidak ada tenaga lagi. Satu langkah melorot, satu langkah melorot.
Dan lelaki itu hanya tertawa. Ayo sini
tangannya. Saya mengulurkan tangan kanan saya.
Sudah 1 km vertikal saya
tempuh dengan kemiringan yang luar biasa, akhirnya ketika saya menginjakkan
kaki di puncak, saya hanya berteriak hampir menangis---tidak karuan rasanya.
Saya langsung merebahkan badan saya di tanah Mahameru, tak sanggup berkata
apa-apa. 6 jam 15 menit perjalanan yang menguras segalanya terbayar dengan
pemandangan yang sangat cantik. Langit begitu cerah dan matahari begitu indah.
Deretan gunung Arjuno, Paderman, Welirang, Bromo, Raung, Argopuro mengitari tanah
tertinggi Jawa ini. Gumpalan awan putih berjajar rapi memenuhi sudut angkasa.
Lautan selatan dan utara seolah bersatu dengan debur ombak yang mempesona.
Deretan kota yang terlihat dari atas menambah kesan eksotis lukisan alam pagi
ini. Ditambah dentuman kawah yang meletus tiap 15-30 menit sekali dan
mengeluarkan asap, memenuhi bibir kawah. Tuhan, pesona yang saya saksikan pagi
ini sungguh luar biasa sempurna. Saya benar-benar merasa kecil, Tuhan.
Thank you, 3676 mdpl.
Dua pahlawan saya; bang Jep (kanan) dan bang Fit (kiri).
Lebih dari 100 menit saya menyaksikan keagungan Tuhan
tersebut, dan tidak henti-hentinya mengucapkan Subhanallah. Saya turun pukul 08.20
dengan perasaan puas sepuas-puasnya, senang sesenang-senangnya, bangga sebangga-bangganya,
haru seharu-harunya. Menuruni bukit pasir ini dapat saya tempuh dengan waktu 35
menit. Betapa jengkelnya bila dibayangkan perjuangan naik selama 4 jam lebih
hanya dibayar dengan berseluncur-ria selama 35 menit.
Sebelum seluncuran, tapi badan udah capek duluan.
Oiya sebelumnya, saya sudah berkenalan dengan lelaki
satunya, Jefri namanya. Saat berseluncur-ria di bukit pasir dia berulang kali
berteriak, “Gue keren karena turunan, kalo udah nanjak ya jelek lagi.”
Wah setuju bang, gue banget itu hahahaha. Lalu saya ikut
meneriakkan kalimat tersebut.
Kaki saya sudah terlanjur sakit akibat naik tadi pagi,
sehingga sekarang susah digerakkan untuk menuruni tanah-tanah berdebu selepas
bukit pasir. Kami istirahat sejenak. Bang Fitri memberiku krim mati rasa agar
kakiku tetap bisa berjalan. Saya melepas ketiga kaos kaki yang saya kenakan,
mengoleskannya mengitari kaki.
Kurang dari 1 jam, saya tiba di Kalimati. Saya berjalan
menuju tenda; dengan senyum dan langkah gontai, tanpa tenaga. Mereka bertiga
menyambut kedatangan saya, menanyakan kabar dan perjalanan ke puncak. Saya
bercerita antusias; dengan nafas terengal-engal.
Dengan sisa tenaga sejak tadi malam, saya dan Diah harus
turun ke Sumber Mane untuk mengambil air. Sedangkan Alvian dan Hanif
membereskan tenda seisinya. Selepas mengisi air, saya baru merasakan lelah yang
sangat, disorientasi, tidak bisa melangkahkan kaki, dan tidak bisa berucap. Saya
lupa jalan pulang dan tidak bisa berfikir ataupun mengingat. Saya dan Diah
sempat berdebat panjang ketika menyadari bahwa kami sudah tersesat jauh.
Akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke posisi terakhir yang kami ingat, dan
mencoba jalan satu-satu.
Tenda sudah ter-packing. Sungguh kenyataan yang menyakitkan
ketika menyadari bahwa kami harus segera turun ke Ranu Pane. Bukan karena saya
mencintai tempat ini dan ingin berlama-lama di sini, tetapi karena kondisi saya
yang berada dalam posisi sangat lelah, yang sejak jam 11 tadi malam belum
beristirahat. Terlebih kedua kaki saya yang tidak henti-hentinya menapaki
tanjakan dan turunan Semeru. Kalau bisa menjerit, mungkin kaki saya sudah
menangis meronta-ronta dengan kekuatan 50.000 desibel. Sedangkan perjalanan
Kalimati-Ranu Pane terbilang cukup jauh. Sewajarnya pendakian-setelah turun
dari puncak-mereka akan menginap satu malam lagi di Ranu Kumbolo. Tetapi logistik
dan persediaan gas yang menuntut kami segera pulang ke basecamp.
Kenang-kenangan sebelum meninggalkan Kalimati.
Pukul 3 sore lebih 20 menit, kami berjalan meninggalkan
Kalimati. Melewati hutan yang kering dan berdebu. Kalau tidak memakai masker,
saya kasihan dengan organ pernafasan saya. Dengan sendirinya kami
terpisah-pisah sesuai kemampuan dan sisa tenaga. Toh gunung ini sedang
sepi-sepinya karena bulan puasa, jadi jarang sekali menemui pendaki yang naik
ataupun turun. Saya melangkah pelan-pelan sekali, tetapi tidak istirahat. Diah
dan Hanif-yang memiliki tenaga paling banyak-memilih berlari ketika menuruni
Semeru. Sementara dengan sabarnya, Alvian berada di belakang saya dan
membawakan tas milik saya. Membiarkan saya memilih secepat apa saya melangkah.
Bertanya, apakah saya masih kuat atau tidak. Saya kagum dengannya, lelaki yang
pernah meninggalkan kelompok saat perjalanan menuju puncak Merbabu ternyata
begitu peduli dengan temannya---terlebih perempuan. Sejak awal perjalanan
pendakian dia memang tidak pernah membiarkan perempuan berjalan sendirian. Di
hari pertama waktu itu, dia sering kali memarahi Hanif yang berulang kali
meninggalkan Diah sendirian, atau menyusul saya ketika berjalan sendirian dan
tidak lagi bersama Hanif.
Di Cemoro Kandang ada penduduk Tengger yang berjualan makanan,
dan satu yang harus di coba-ketika berada di batas antara hutan dengan sabana-adalah
gorengan dengan sambal bala-bala yang luar biasa pedas. Satu gorengan dibandrol
dengan harga 2 ribu rupiah.
Oleh-oleh dari bang Jep saat melewati padang lavender, selepas Cemoro Kandang.
Kami tiba di Ranu Kumbolo sudah hampir petang. Semburat
langit di antara dua bukit sangat cantik, gradasi biru ungu dan merah muda.
Satu hal, Ranu Kumbolo ini sangat sepi! Hanya ada 4 buah tenda di sini. Tidak
seperti biasanya, tenda-tenda menyesaki setiap sudut tempat hingga terlihat
seperti sebuah ‘desa’ pendaki. Di situ kami bertemu bang Jep dan bang Fit, kami
ditawari bermalam di sini tetapi kami tolak karena kami memang bertekat ingin
sampai di basecamp malam ini.
Pukul 21.30 saya berada di akhir tenaga, tidak bisa
melanjutkan perjalanan ini karena hampir 24 jam saya belum beristirahat dan kaki
saya belum berhenti melangkah. Akhirnya kami mendirikan tenda di pos 1.
Bermalam di situ. Tanpa logistik.
Pagi hari kami bangun dengan perasahaan maha malas. Karena malam
ini bisa tidur dengan udara yang tidak begitu dingin, kami sangat nyaman dan
enggan bergegas keluar dari kantung tidur. Saya iseng menyalakan handphone,
ternyata di sini ada sinyal. Kemudian saya mengirimkan pesan singkat, sekedar
kabar ke pada orang-orang yang saya sayangi, agar mereka tidak khawatir. Ibu
saya menelfon dan kami bercakap lumayan lama. Hebat ya di sini, padahal di Ranu
Pane tidak ada sinyal.
Walaupun belum terisi makanan, tetapi kondisi saya sudah
lumayan baikan karena kaki saya sudah beristirahat nyenyak semalam. Setelah
sabar berjalan melewati jalan setapak yang lumayan jauh, akhirnya kami tiba di
Ranu Pane. Saya sampai bingung harus berucap apa, senang rasanya, haru rasanya,
bahagia rasanya, capek rasanya, semua campur aduk menjadi satu.
SAYA BAHAGIA. TERIMAKASIH:>
Catatan kecil:
1. Jangan lupa membawa masker, sarung tangan, sepatu dan baju rangkap jika berniat ke puncak.
2. Perhatikan bekal, karena begitu sampai puncak akan terasa lapar sekali.
3. Sebelum berangkat ke puncak kita harus mengisi perut terlebih dahulu agar mempunyai energi yang kuat.
4. Semakin tinggi, oksigennya semakin berkurang. Bagi yang belum biasa, kepala biasanya pusing.
5. Jangan pernah ada kata menyerah!
6. Jangan tinggalkan sampah di gunung, bawa turun kembali ke Ranu Pane.
7. Jika buang air kecil/besar jangan mencemari mata air.
8. Jika buang air besar gali dulu tanahnya, lalu dikubur. Jangan di sembarang tempat.
9. Setelah dari Semeru, jangan langsung pulang ke Jogja. Berkelilinglah dahulu di sekitar Kota Malang jika bekal uangnya mencukupi.
10. Keberangkatan menggunakan bus Handoyo Rp 115.000/orang.
Kelas: VIP
Fasilitas: toilet dalam, makanan enak.
Dari terminal Giwangan 20.20, tiba di terminal Arjosari 06.05.
11. Kepulangan menggunakan bus Rosalia Indah Rp 105.000/orang.
Kelas: Eksekutif
Fasilitas: sandaran kaki, bantal, selimut, air mineral saat kedatangan, toilet dalam, makanan padang.
Ditambah pendataan tempat tujuan saat awal keberangkatan.
Saat kita tertidur, akan dibangunkan oleh petugas ketika sudah sampai di tempat tujuan pilihan.
Bis ini juga akan berhenti di rumah makan waktu sahur.
12. Biaya pendakian Gunung Semeru untuk satu orang: 17.500/hari kerja. 22.500/weekend dan hari libur.