Stasiun Lempuyangan.
Minggu,
13 April 2014 menjadi awal mula perjuangan kami. Setelah sebelumnya kami tertawa
ria di gerbong 3 Kereta Api Sri Tanjung jurusan Jogja- Probolinggo selama 8 jam
15 menit. Begitu tiba di kota kecil-yang menyajikan berbagai becak unik-ini,
kami ditawari untuk menyarter Bison ke Bremi dengan harga 550rb. Tetapi bukan
Bremi tujuan kami, kami memilih Baderan-yang terletak di Kabupaten Situbondo-sebagai
tonggak awal pendakian kami. Perjalanan menuju Baderan dapat ditempuh sekitar 3
jam dengan harga bison-yang awal mulanya 750rb menjadi-600rb. Akhirnya kami
tiba di depan pintu, yang ternyata ruangan dengan ukuran kecil dengan 1 kamar
mandi, tanpa fasilitas yang memadai. Tidak ada warung makan ataupun warung yang
menyediakan perlengkapan pendakian. Apa ini yang disebut basecamp? Kami terheran-heran tidak karuan.
Pukul 9 pagi kami mulai
meninggalkan basecamp, berjalan
pelan-pelan menapaki bebatuan menanjak. Kami ketinggalan satu langkah, ternyata
sang surya sudah berdiri tegap di atas dataran tinggi dengan ribuan air terjun
ini. Membuat perjalanan awal kami penuh peluh dan dahaga yang menyiksa.
Perjalanan awal, sebelum mencapai Makadam.
Senja di Mata Air II membuat kami
lupa akan rasa capai sejak dua hari silam. Pohon-lebat-yang menjulang tinggi
seolah menjadi benteng dan mengitari camp;
tempat kami mendirikan tenda. Tempat ini tidak terlalu lebar, tetapi cukup
untuk mendirikan 4 tenda. Sejak sore tadi angin berhembus dramatis, membawa
dingin yang seakan tidak mau ketinggalan untuk menyambut kedatangan kami. Banyak
sekali nyoy-nyoy di sini; hewan kecil yang terbang bergerompolan dan suka
menggigit bagian kulit yang terbuka. Pada awalnya kami memang merasa terganggu
dan sulit beradaptasi. Atau mungkin, kehadiran kami yang terlalu asing bagi
kawanan mereka.
Senja di Mata Air II.
Ketika malam tiba seutuhnya, kami
segera membuat perapian di depan tenda untuk menghangatkan badan. Kami memasak
seperti biasa untuk memulihkan tenaga; menanak nasi pada nasting, membuat sup
kentang, dan menggoreng kornet dengan telur. Tetapi Bram sibuk dengan jahe yang
ia bakar pada kobaran api, kemudian meracik dan menyeduhnya.
Perapian yang dibuat dengan kayu seadanya.
Bulannya cantik.
Purnama tepat di atas kepala
ketika saya memutuskan untuk masuk tenda dan memilih tidur lebih dulu. Ada 6
orang yang masih terjaga dan sibuk bercengkrama. Mungkin sebagian dari mereka
sedang memandangi betapa cantiknya Dewi Nawang Wulan malam ini.
Ini
adalah malam kedua kami di Argopuro. Sebelumnya, kami bermalam di bawah Mata
Air I. Hanya sepetak tanah sempit tanpa sumber air, namun cukup nyaman untuk
beristirahat karena tidak begitu dingin. Seharian itu kami diguyur hujan, dan
medan yang kami lalui merupakan jalan air dengan tapak menanjak yang sangat
sempit dan licin. Track yang monoton
dan membosankan ini menjadi penyebab gagalnya kami menempuh Mata Air I di hari
pertama. Tetapi kami tetap melangkah dengan tabah menapaki tanah-tanah basah.
Saat di Mata Air I dan bertemu dengan rombongan dari SMA N 3 Malang.
Pagi di Mata Air II saat saya masih terlelap dalam pelukan sleeping bag.
Saya mengawali pagi ketiga di
Mata Air II ini dengan perasaan yang maha-malas. Berulang kali saya mengeluh;
katanya jalannya datar? Katanya vegetasinya cantik? Katanya katanya katanya dan
sederat kalimat yang akhirnya membuat rombongan kami terpisah menjadi dua.
Rombongan pertama berangkat pukul 9 dan rombongan dua berangkat pukul 11. Setelah
Babi berdamai dengan tubuhnya yang sepagian menggigil karena masuk angin, kami
meracik kopi dan jus tomat untuk teman perjalanan, kemudian berjalan pelan-pelan;
seperti hari-hari sebelumnya.
Potret kemalasan kami saat berada di Mata Air II.
Walau malas, kami tetap harus packing dan melanjutkan perjalanan.
Setelah beranjak pergi dari Mata
Air II, kami kembali dipertemukan dengan jalan air yang sempit dan menanjak. Alhamdulillah
tidak hujan, jadi jalan ini tidak berubah menjadi plosotan yang dasyat.
Setelah beberapa tapak, kami memasuki kawasan hutan lumut. Tempat ini terbilang
lembab dan memiliki curah hujan yang tinggi. Sehingga di setiap sudut dipenuhi
lumut yang tumbuh jaya dan merajalela. Selepas dari hutan lumut yang gelap dan
lembab, kami berjalan melewati bukit-demi-bukit, sabana-demi-sabana, dengan
vegetasi yang tersusun rapih dan cantik pada setiap meternya. Ribuan tanaman
liar dengan bunga warna-warni tumbuh mengesankan membentuk taman. Ada juga
hamparan Verbena brasiliensis yang sukses membuat saya merasa kalah cantik
dengan tanaman ungu-yang kebanyakan orang menyebutnya Lavender-ini.
Mulai memasuki hutan lumut yang basah dan lembab.
Kawasan hutan lebat yang membuat saya merasa kecil.
Keluar dari hutan lumut dengan perasaan gembira.
Sabana sebelum mencapai Cikasur.
Hamparan Verbena brasiliensis, yang sering disebut dengan padang Lavender.
Perjalanan
dari Mata Air II menuju Cikasur sekitar 4 jam. Setelah puas dibuat kesal dengan
tanaman jancukan seharian (bentuknya seperti daun ganja dengan ribuan
duri lembut pada daun dan batangnya, bila menyentuh durinya pelan saja rasanya
seperti disengat lebah), akhirnya kami dimanjakan oleh hamparan sabana maha
luas nan cantik yang disebut Cikasur. Di bagian bawah terdapat aliran sungai
yang sangat jernih dengan banyak selada air di sisi kanan dan kiri. Tanpa pikir
panjang, kami langsung membenamkan diri setelah tiga hari tidak mandi. Airnya
memang sangat segar, tetapi angin yang berhembus tanpa kira-kira membuat
menggigil secara tiba-tiba, kemudian kami menyudahi; bergegas naik dan
mendirikan tenda.
Ini jancukan. Cuma di Argopuro bisa ngerasain tanaman dengan sensasi yang luar biasa.
Begitu ada air, Musa langsung beraksi.
Sore yang damai di Cikasur.
Sejenak beristirahat di sisa
reruntuhan bangunan jaman Belanda, terdengar suara knalpot meraung-raung.
Sebuah motor tiba-tiba melintas di tengah sabana yang maha luas, memecah
syahdunya angin Cikasur dan membuat saya tergagap tidak mampu berkata apa-apa.
Sebenarnya dari awal saya sudah paham bahwa Baderan-Cikasur dapat ditempuh
menggunakan motor, tetapi saya tidak siap menyaksikan petualangan agung yang
telah kami lalui selama 3 hari dengan mudahnya disalip oleh kuda Jepang, yang mungkin
baru tadi pagi berangkat.
Ketika
malam mulai menyelimut dan terang yang tersisa hanya berasal dari cahaya
bintang yang perlahan mulai memenuhi langit Cikasur, tempat ini berubah menjadi
lebih dramatis. Saya dan Musa kemudian memberanikan diri menerjang angin dan
memilih berjalan-jalan. Sebentar saja ternyata badan saya sudah menggigil tidak
karuan sampai tidak kuat memegangi senter, kemudian kami memilih kembali ke
tenda dan tidur.
Selamat pagi, Cikasur.
Mentari muncul di ufuk timur,
membelah hutan cemara, dan membawa panas yang cukup untuk mengeringkan setumpuk
baju basah yang digantungkan di batang-batang pohon. “Ada merak!” teriak Musa
yang sepagian sudah berkalung DSLR. Dia lantas berlarian membelah sabana,
merayap seolah sedang berada dalam arena perang, berharap agar burung cantik
tersebut tidak terbang dan menghilang. Sekitar 30 menit setelahnya, Musa
kembali dan memamerkan hasil jepretannya. “Aku dapat foto waktu meraknya sedang
terbang.” You’re the lucky one, Mus. Karena memang tidak semua orang bisa
melihat merak legendaris Cikasur tersebut.
Sarapan pagi di shelter Cikasur.
Dari Cikasur menuju Cisentor ini
banyak jalan yang tertutup batang tumbang dan ribuan ilalang. Di perjalanan
kami disuguhi buah seperti murbei dan tomat mini. Kami memanen dengan suka cita
dan memakannya. Setengah tiga kami tiba, kemudian merefill air minum karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Rawa
Embik. Tetapi sebelumnya saya menyempatkan diri untuk mandi di bawah derasnya
aliran air terjun. Setengah lima sore kami siap melanjutkan petualangan lagi.
Berjalanan beriringan membelah perbukitan, menyusuri lembah dan sabana. Malam
datang prematur dan kami belum tiba di Rawa Embik. Kami terpaksa melakukan
perjalanan malam walaupun kami tahu bahwa hal itu tidak dianjurkan di sini. Sekali
saja salah jalan, maka kami bisa tersesat dan berputar-putar di dalam hutan.
Kontur Pegunungan Hyang yang membentengi Argopuro ini benar-benar sepi, itulah
sebabnya mengapa gunung ini tetap lestari, tidak seperti kebanyakan gunung di
Jawa yang lambat laun berubah menjadi alun-alun. Hutan Edelweiss tidak lagi
cantik saat malam hari, sekumpulan dari mereka menjadikan dirinya lebih mistis
dari apapun. Pukul 19.00 WIB kami tiba, ternyata rombongan depan sudah
mendirikan tenda dan Alvian pun sibuk dengan api unggunnya. Saya akui, dari
malam-malam sebelumnya, kali ini yang paling dahsyat, melebihi dinginnya Lawu
yang notabene gunung paling dingin setanah Jawa.
Shelter peristirahatan di Cisentor.
Mari membersihkan diri selagi ada air yang tumpah-melimpah.
Saat lelah dan rindu rumah, kami harus tetap bersabar demi menyelesaikan petualangan agung ini.
Ribuan dandelion ini menemani kami saat menyinggahi Rawa Embik.
Langitnya cantik.
Kami meninggalkan Rawa Embik dan bergerak menuju Simpang Puncak.
Setelah menghabiskan banyak waktu
untuk menikmati mata air terakhir di Gunung Argopuro, tepat pukul 12 siang kami
meninggalkan Rawa Embik dan berjalan menuju Simpang Puncak, yang kebanyakan
orang menyebutnya dengan Savana Lonceng. Sekitar dua jam kami tiba di sabana
persimpangan ketiga puncak tersebut; Argopuro, Arca, Rengganis. Kami mendirikan
tenda dan membuat perapian sederhana karena bahan bakar sudah menipis.
Perapian sederhana yang kami buat dengan kayu-kayu seadanya.
Pancinya nyampe gosong gitu. Kasihan:|
Syahdunya beribadah dalam balutan kabut di Simpang Puncak.
Sekitar
pukul 5 sore, kami menapaki tanah terjal menuju puncak Argopuro untuk
menyaksikan sunset. Tetapi hanya
kekecewaanlah yang ada karena bagian puncak dikelilingi rapat oleh pohon-pohon
dan yang kami lihat hanya semburat oranye
di antara batang cemara. Kami turun, tetapi Musa dan Alvian memilih berjalan ke
puncak Arca, berusaha mencari celah untuk menyaksikan tenggelamnya sang
mentari.
Senja di barisan Puncak Argopuro dan Arca.
Malam itu angin berhembus
kencang. Kami duduk melingkar di depan perapian sambil menanti datangnya sang
rembulan. Bercerita tentang hal-hal konyol dan menyebalkan dari hari pertama
pendakian. Mendaki itu bukan selalu tentang puncak. Melainkan tentang
kebersamaan yang tercipta di antara kita. Tentang bagaimana harus mengerti,
berbagi, dan mengendalikan diri. Tentang bahu yang siap menopang saat ada yang
lelah. Tentang kaki yang siap melangkah lebih tabah. Tentang tanah tempat kita
merebah. Tentang dingin. Tentang angin. Dan yang terakhir, tentang air yang
mengalir.
Sambil menunggu bulan naik ke
permukaan, kami bergiliran membaca puisi milik Agus Noor, kemudian tertawa-tawa
sambil menikmati hangatnya api yang berkobar di depan kami. Satu persatu dari
kami beranjak dan memilih tidur karena hampir tengah malam. Namun saya dan
ketiga teman saya tetap berada di luar tenda, bercengkrama dan menikmati malam
syahdu di simpang puncak hingga pagi tiba.
Selamat pagi, Rengganis.
Pagi pukul lima kami bergegas
berkemas untuk menuju Puncak Rengganis, yang konon katanya sangat romantis bila
dinikmati saat matahari terbit. Di Puncak Rengganis terdapat kawah dan bau
belerangnya masih menyengat. Di sini juga terdapat bekas petilasan Dewi
Rengganis; yang pada jaman dahulu pernah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri.
Entah bagaimana ceritanya, namun inilah yang membuat Pegunungan Hyang-yang
mengelilingi Gunung Argopuro-terkenal dengan kisah mistisnya.
Mukanya klimis kaya cemplon gosong, iya kan? Nggak papa, yang penting pake kebaya:))
Setelah turun dari Puncak Arca.
Setelah dari Puncak Arca dan kembali ke tempat camp; bersiap untuk makan.
Tepat pukul dua belas, kami
berkemas. Logistik yang menipis menuntut kami untuk segera turun ke Bermi tanpa
bermalam di Danau Taman Hidup. Awalnya kami sedikit ragu karena dalam rombongan
terdapat 3 perempuan, tetapi kami tetap yakin untuk sampai ke Bermi malam ini
juga. Rombongan kami terpisah secara alami karena memang begitu keadaannya.
Karena jalan yang kami lewati hanya sempit dan berbatasan dengan jurang,
makanya kami harus berhati-hati dalam melangkah. Saya sempat terjatuh ke
jurang, tetapi Alhamdulillah badan saya masih tersangkut di antara
tanaman-tanaman liar, jadi saya masih bisa diselamatkan oleh teman-teman. Jalan
yang kami lewati sangat terjal ke bawah. Kemudian kami harus melewati padang
ilalang yang tingginya 2-3 meter. Kemudian kami memasuki hutan lumut yang
sangat panjang. Hutan ini sangat lembab dan basah. Sekitar pukul 5 kami tiba di
Danau Taman Hidup. Namun suasana berkabut saat itu sehingga kami tidak bisa
menyaksikan apapun. Tempat ini merupakan rawa-rawa yang becek dan bau. Kami
tidak berlama-lama dan segera melanjutkan perjalanan karena cuaca sedang hujan
dan bekal kami habis. Kami sudah kehilangan jejak dengan rombongan depan,
tetapi setiap bertemu dengan pendaki yang berjalan dari jalur Bermi kami berusaha
melontarkan sebuah pertanyaan “Di depan tadi lihat rombongan dari Jogja?”
kemudian mereka menjawab “Iya tadi saya lihat, tetapi sudah di depan.”
Malam semakin tidak bersahabat di
saat hujan dan jalur yang kami lewati sangat tidak rasional. Tanah becek yang
terjal ke bawah membuat langkah kami terhambat oleh kaki yang terpleset setiap
kali menapak. Ditambah dinginnya udara saat itu dan cahaya dari senter yang
makin redup karena kehabisan baterai. Serta badan menggigil dan kelaparan yang membuat
konsentrasi kami sering hilang. Sekitar pukul 8, Chandra sakit dan kami harus
berhenti. Kami memasak makaroni-kornet-sarden karena memang tinggal itu
logistik yang kami punya. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan
perjalanan, Chandra harus bermalam dan mengganti pakainnya yang basah sejak
tadi siang. Kami tinggal berlima yang tertinggal; Saya, Musa, Chandra, Bram,
dan Mas Tiyok. Kami tidak tahu bagaimana nasib rombongan depan, terlebih nasib Alvian
dan Diah yang memilih melanjutkan perjalanan saat kami berhenti memasak. Di
antara kami berlima, yang masih waras tinggal saya dan Musa. Sebagian dari kami
harus ada yang turun untuk memberi kabar bawah bahwa logistik sudah habis dan
Chandra sakit. Jika yang turun saya dan Musa, itu sama saja kami meninggalkan 3
orang sakit tanpa logistik di gunung tanpa ada yang menjaga. Jika yang turun
Bram dan Mas Tiyok, itu sama saja kami membiarkan 2 orang sakit berjalan tanpa
orientasi. Akhirnya, saya dan Mas Tiyok yang memilih berjalan dan memberi kabar
bawah. Saya tidak membawa Bram turun karena saya tidak sanggup membawa beban 2
nyawa orang sakit sendirian.
Saya berjalan pelan-pelan, dengan
lampu senter yang redup dan bekal air minum yang sangat minim. Lelaki yang ada
di sebelah saya ini sejak tadi ngelantur
seperti orang kesurupan. Badannya menggigil dan selalu tidur setiap kali
berhenti berjalan. Saya tahu, dia terkena hipotermia karena memang hampir semua
baju yang kami kenakan basah sejak tadi siang. Ditambah hilangnya konsentrasi
karena kurangnya asupan karbohidrat. Saya sedari tadi hanya bisa menangis dan
menampar mukanya berkali-kali, sembari teriak, “Mas tolong sadar.” Tetapi dia
tetap seperti orang kesurupan, sesekali menyanyi lingsir wengi, sesekali
menyoroti pepohonan sembari berkata, “Katanya Argopuro ini mistis, di mana
letak mistisnya?” Saya semakin kencang menangis dan dia tetap tidak sadarkan
diri. Air minum terakhir yang hanya separuh botol aqua besar saya ambil dari tas, saya putuskan untuk menyiram
wajahnya hingga dua kali namun dia tetap tidak sadar. Akhirnya kami terhenti di
jalan buntu, kami bolak-balik naik turun dan tetap tidak menemukan jalan. Saat
itu dia sudah mulai sadar, tetapi masih kantuk katanya. Di tengah-tengah
kebingungan, kami bertemu rombongan dari Jakarta. Saya bersyukur sekali
akhirnya menemukan pendaki lain di dalam hutan belantara seperti ini. Kami
istirahat sebentar, menikmati rembulan yang ternyata lebih terang dari senter
yang sedari tadi saya bawa di tangan kanan. Sekitar setengah 2 pagi, kami tiba
di Hutan Damar dan melihat samar-samar cahaya senter dari bawah. Ternyata itu
Alvian dan Diah yang dari tadi berputar-putar di dalam hutan dan belum sampai
juga ke Bremi. “Tadi aku makan sarden mentah mbak, trus tidur cuma pake matras
karena udah ngantuk banget”, kata Alvian. Akhirnya kami turun bersama-sama dan
hanya mengandalkan cahaya bulan. Kaki kami sakit semua dan tidak kuat untuk
jalan, tetapi kami tetap memaksa agar cepat sampai bawah. Saya dan Diah melepas
alas yang kami kenakan dan memilih cekeran.
Setelah menemukan peradaban, saya hanya bisa berteriak dan bersyukur. Tetapi di
mana basecampnya? Di mana para
rombongan depan yang seharusnya sudah tiba sejak tadi? Segulir pertanyaan
berputar-putar di dalam kepala. Karena tidak kuat untuk berjalan lagi, akhirnya
kami tidur di sebuah pos kecil; Pos Desa Wisata Bermi.
Paginya saya bangun pukul 10, ternyata Chandra
Musa Bram sudah disusul Babi Anggit Arman. Karena kaki Chandra sakit, makanya
sepanjang perjalanan Chandra digendong Babi. Walaupun saya tahu bahwa kaki Babi
juga luka-luka, dan pasti perih. Kamu hebat, Bab.
Saya tahu, sebanyak dan seindah apapun kalimat ini, tetap tidak bisa menggambarkan keindahan Pegunungan Hyang yang mengelilingi Argopuro serta perjuangan kami untuk berjalan dari Baderan hingga Bermi. Saya bersyukur karena bisa menjadi salah satu bagian dari 12 orang ini. Terimakasih Tuhan, saya belajar banyak hal dari pendakian kali ini. Terimakasih atas perjalanan luar biasa hebat yang tidak akan pernah terlupakan, 12-20 April 2014.
"Terlalu banyak kisah untuk diceritakan, karena ini bukan sekedar tentang puncak. #Argopuro"
Tweeted by @Armandkaramy
Retweeted by @AanLareSae