Thursday, May 29, 2014

Argopuro

Stasiun Lempuyangan.

Minggu, 13 April 2014 menjadi awal mula perjuangan kami. Setelah sebelumnya kami tertawa ria di gerbong 3 Kereta Api Sri Tanjung jurusan Jogja- Probolinggo selama 8 jam 15 menit. Begitu tiba di kota kecil-yang menyajikan berbagai becak unik-ini, kami ditawari untuk menyarter Bison ke Bremi dengan harga 550rb. Tetapi bukan Bremi tujuan kami, kami memilih Baderan-yang terletak di Kabupaten Situbondo-sebagai tonggak awal pendakian kami. Perjalanan menuju Baderan dapat ditempuh sekitar 3 jam dengan harga bison-yang awal mulanya 750rb menjadi-600rb. Akhirnya kami tiba di depan pintu, yang ternyata ruangan dengan ukuran kecil dengan 1 kamar mandi, tanpa fasilitas yang memadai. Tidak ada warung makan ataupun warung yang menyediakan perlengkapan pendakian. Apa ini yang disebut basecamp? Kami terheran-heran tidak karuan.

Pukul 9 pagi kami mulai meninggalkan basecamp, berjalan pelan-pelan menapaki bebatuan menanjak. Kami ketinggalan satu langkah, ternyata sang surya sudah berdiri tegap di atas dataran tinggi dengan ribuan air terjun ini. Membuat perjalanan awal kami penuh peluh dan dahaga yang menyiksa.

Perjalanan awal, sebelum mencapai Makadam.

Senja di Mata Air II membuat kami lupa akan rasa capai sejak dua hari silam. Pohon-lebat-yang menjulang tinggi seolah menjadi benteng dan mengitari camp; tempat kami mendirikan tenda. Tempat ini tidak terlalu lebar, tetapi cukup untuk mendirikan 4 tenda. Sejak sore tadi angin berhembus dramatis, membawa dingin yang seakan tidak mau ketinggalan untuk menyambut kedatangan kami. Banyak sekali nyoy-nyoy di sini; hewan kecil yang terbang bergerompolan dan suka menggigit bagian kulit yang terbuka. Pada awalnya kami memang merasa terganggu dan sulit beradaptasi. Atau mungkin, kehadiran kami yang terlalu asing bagi kawanan mereka.

Senja di Mata Air II.

Ketika malam tiba seutuhnya, kami segera membuat perapian di depan tenda untuk menghangatkan badan. Kami memasak seperti biasa untuk memulihkan tenaga; menanak nasi pada nasting, membuat sup kentang, dan menggoreng kornet dengan telur. Tetapi Bram sibuk dengan jahe yang ia bakar pada kobaran api, kemudian meracik dan menyeduhnya.

Perapian yang dibuat dengan kayu seadanya.

Bulannya cantik.

Purnama tepat di atas kepala ketika saya memutuskan untuk masuk tenda dan memilih tidur lebih dulu. Ada 6 orang yang masih terjaga dan sibuk bercengkrama. Mungkin sebagian dari mereka sedang memandangi betapa cantiknya Dewi Nawang Wulan malam ini.

Ini adalah malam kedua kami di Argopuro. Sebelumnya, kami bermalam di bawah Mata Air I. Hanya sepetak tanah sempit tanpa sumber air, namun cukup nyaman untuk beristirahat karena tidak begitu dingin. Seharian itu kami diguyur hujan, dan medan yang kami lalui merupakan jalan air dengan tapak menanjak yang sangat sempit dan licin. Track yang monoton dan membosankan ini menjadi penyebab gagalnya kami menempuh Mata Air I di hari pertama. Tetapi kami tetap melangkah dengan tabah menapaki tanah-tanah basah.


Saat di Mata Air I dan bertemu dengan rombongan dari SMA N 3 Malang.

Pagi di Mata Air II saat saya masih terlelap dalam pelukan sleeping bag.

Saya mengawali pagi ketiga di Mata Air II ini dengan perasaan yang maha-malas. Berulang kali saya mengeluh; katanya jalannya datar? Katanya vegetasinya cantik? Katanya katanya katanya dan sederat kalimat yang akhirnya membuat rombongan kami terpisah menjadi dua. Rombongan pertama berangkat pukul 9 dan rombongan dua berangkat pukul 11. Setelah Babi berdamai dengan tubuhnya yang sepagian menggigil karena masuk angin, kami meracik kopi dan jus tomat untuk teman perjalanan, kemudian berjalan pelan-pelan; seperti hari-hari sebelumnya.

Potret kemalasan kami saat berada di Mata Air II.

Walau malas, kami tetap harus packing dan melanjutkan perjalanan.

Setelah beranjak pergi dari Mata Air II, kami kembali dipertemukan dengan jalan air yang sempit dan menanjak. Alhamdulillah tidak hujan, jadi jalan ini tidak berubah menjadi plosotan yang dasyat. Setelah beberapa tapak, kami memasuki kawasan hutan lumut. Tempat ini terbilang lembab dan memiliki curah hujan yang tinggi. Sehingga di setiap sudut dipenuhi lumut yang tumbuh jaya dan merajalela. Selepas dari hutan lumut yang gelap dan lembab, kami berjalan melewati bukit-demi-bukit, sabana-demi-sabana, dengan vegetasi yang tersusun rapih dan cantik pada setiap meternya. Ribuan tanaman liar dengan bunga warna-warni tumbuh mengesankan membentuk taman. Ada juga hamparan Verbena brasiliensis yang sukses membuat saya merasa kalah cantik dengan tanaman ungu-yang kebanyakan orang menyebutnya Lavender-ini.

Mulai memasuki hutan lumut yang basah dan lembab.

Kawasan hutan lebat yang membuat saya merasa kecil.

Keluar dari hutan lumut dengan perasaan gembira.

Sabana sebelum mencapai Cikasur.

Hamparan Verbena brasiliensis, yang sering disebut dengan padang Lavender.

Perjalanan dari Mata Air II menuju Cikasur sekitar 4 jam. Setelah puas dibuat kesal dengan tanaman jancukan  seharian (bentuknya seperti daun ganja dengan ribuan duri lembut pada daun dan batangnya, bila menyentuh durinya pelan saja rasanya seperti disengat lebah), akhirnya kami dimanjakan oleh hamparan sabana maha luas nan cantik yang disebut Cikasur. Di bagian bawah terdapat aliran sungai yang sangat jernih dengan banyak selada air di sisi kanan dan kiri. Tanpa pikir panjang, kami langsung membenamkan diri setelah tiga hari tidak mandi. Airnya memang sangat segar, tetapi angin yang berhembus tanpa kira-kira membuat menggigil secara tiba-tiba, kemudian kami menyudahi; bergegas naik dan mendirikan tenda.


Ini jancukan. Cuma di Argopuro bisa ngerasain tanaman dengan sensasi yang luar biasa.

Begitu ada air, Musa langsung beraksi.

Sore yang damai di Cikasur.

Sejenak beristirahat di sisa reruntuhan bangunan jaman Belanda, terdengar suara knalpot meraung-raung. Sebuah motor tiba-tiba melintas di tengah sabana yang maha luas, memecah syahdunya angin Cikasur dan membuat saya tergagap tidak mampu berkata apa-apa. Sebenarnya dari awal saya sudah paham bahwa Baderan-Cikasur dapat ditempuh menggunakan motor, tetapi saya tidak siap menyaksikan petualangan agung yang telah kami lalui selama 3 hari dengan mudahnya disalip oleh kuda Jepang, yang mungkin baru tadi pagi berangkat.

Ketika malam mulai menyelimut dan terang yang tersisa hanya berasal dari cahaya bintang yang perlahan mulai memenuhi langit Cikasur, tempat ini berubah menjadi lebih dramatis. Saya dan Musa kemudian memberanikan diri menerjang angin dan memilih berjalan-jalan. Sebentar saja ternyata badan saya sudah menggigil tidak karuan sampai tidak kuat memegangi senter, kemudian kami memilih kembali ke tenda dan tidur.

Selamat pagi, Cikasur.

Mentari muncul di ufuk timur, membelah hutan cemara, dan membawa panas yang cukup untuk mengeringkan setumpuk baju basah yang digantungkan di batang-batang pohon. “Ada merak!” teriak Musa yang sepagian sudah berkalung DSLR. Dia lantas berlarian membelah sabana, merayap seolah sedang berada dalam arena perang, berharap agar burung cantik tersebut tidak terbang dan menghilang. Sekitar 30 menit setelahnya, Musa kembali dan memamerkan hasil jepretannya. “Aku dapat foto waktu meraknya sedang terbang.” You’re the lucky one, Mus. Karena memang tidak semua orang bisa melihat merak legendaris Cikasur tersebut.


Sarapan pagi di shelter Cikasur.

Dari Cikasur menuju Cisentor ini banyak jalan yang tertutup batang tumbang dan ribuan ilalang. Di perjalanan kami disuguhi buah seperti murbei dan tomat mini. Kami memanen dengan suka cita dan memakannya. Setengah tiga kami tiba, kemudian merefill air minum karena kami harus melanjutkan perjalanan ke Rawa Embik. Tetapi sebelumnya saya menyempatkan diri untuk mandi di bawah derasnya aliran air terjun. Setengah lima sore kami siap melanjutkan petualangan lagi. Berjalanan beriringan membelah perbukitan, menyusuri lembah dan sabana. Malam datang prematur dan kami belum tiba di Rawa Embik. Kami terpaksa melakukan perjalanan malam walaupun kami tahu bahwa hal itu tidak dianjurkan di sini. Sekali saja salah jalan, maka kami bisa tersesat dan berputar-putar di dalam hutan. Kontur Pegunungan Hyang yang membentengi Argopuro ini benar-benar sepi, itulah sebabnya mengapa gunung ini tetap lestari, tidak seperti kebanyakan gunung di Jawa yang lambat laun berubah menjadi alun-alun. Hutan Edelweiss tidak lagi cantik saat malam hari, sekumpulan dari mereka menjadikan dirinya lebih mistis dari apapun. Pukul 19.00 WIB kami tiba, ternyata rombongan depan sudah mendirikan tenda dan Alvian pun sibuk dengan api unggunnya. Saya akui, dari malam-malam sebelumnya, kali ini yang paling dahsyat, melebihi dinginnya Lawu yang notabene gunung paling dingin setanah Jawa.


Sebelum tiba di Cisentor.

Shelter peristirahatan di Cisentor.

Mari membersihkan diri selagi ada air yang tumpah-melimpah.

Saat lelah dan rindu rumah, kami harus tetap bersabar demi menyelesaikan petualangan agung ini.

Ribuan dandelion ini menemani kami saat menyinggahi Rawa Embik.

Langitnya cantik.

Kami meninggalkan Rawa Embik dan bergerak menuju Simpang Puncak.

Setelah menghabiskan banyak waktu untuk menikmati mata air terakhir di Gunung Argopuro, tepat pukul 12 siang kami meninggalkan Rawa Embik dan berjalan menuju Simpang Puncak, yang kebanyakan orang menyebutnya dengan Savana Lonceng. Sekitar dua jam kami tiba di sabana persimpangan ketiga puncak tersebut; Argopuro, Arca, Rengganis. Kami mendirikan tenda dan membuat perapian sederhana karena bahan bakar sudah menipis.

Perapian sederhana yang kami buat dengan kayu-kayu seadanya.

Pancinya nyampe gosong gitu. Kasihan:|

Syahdunya beribadah dalam balutan kabut di Simpang Puncak.

Sekitar pukul 5 sore, kami menapaki tanah terjal menuju puncak Argopuro untuk menyaksikan sunset. Tetapi hanya kekecewaanlah yang ada karena bagian puncak dikelilingi rapat oleh pohon-pohon dan yang kami lihat hanya semburat oranye di antara batang cemara. Kami turun, tetapi Musa dan Alvian memilih berjalan ke puncak Arca, berusaha mencari celah untuk menyaksikan tenggelamnya sang mentari.

Puncak Argopuro.

Senja di barisan Puncak Argopuro dan Arca.

Malam itu angin berhembus kencang. Kami duduk melingkar di depan perapian sambil menanti datangnya sang rembulan. Bercerita tentang hal-hal konyol dan menyebalkan dari hari pertama pendakian. Mendaki itu bukan selalu tentang puncak. Melainkan tentang kebersamaan yang tercipta di antara kita. Tentang bagaimana harus mengerti, berbagi, dan mengendalikan diri. Tentang bahu yang siap menopang saat ada yang lelah. Tentang kaki yang siap melangkah lebih tabah. Tentang tanah tempat kita merebah. Tentang dingin. Tentang angin. Dan yang terakhir, tentang air yang mengalir.

Sambil menunggu bulan naik ke permukaan, kami bergiliran membaca puisi milik Agus Noor, kemudian tertawa-tawa sambil menikmati hangatnya api yang berkobar di depan kami. Satu persatu dari kami beranjak dan memilih tidur karena hampir tengah malam. Namun saya dan ketiga teman saya tetap berada di luar tenda, bercengkrama dan menikmati malam syahdu di simpang puncak hingga pagi tiba.

Selamat pagi, Rengganis.

Pagi pukul lima kami bergegas berkemas untuk menuju Puncak Rengganis, yang konon katanya sangat romantis bila dinikmati saat matahari terbit. Di Puncak Rengganis terdapat kawah dan bau belerangnya masih menyengat. Di sini juga terdapat bekas petilasan Dewi Rengganis; yang pada jaman dahulu pernah dibuang oleh ayah kandungnya sendiri. Entah bagaimana ceritanya, namun inilah yang membuat Pegunungan Hyang-yang mengelilingi Gunung Argopuro-terkenal dengan kisah mistisnya.

Mukanya klimis kaya cemplon gosong, iya kan? Nggak papa, yang penting pake kebaya:))

Setelah turun dari Puncak Arca.

Setelah dari Puncak Arca dan kembali ke tempat camp; bersiap untuk makan.

Tepat pukul dua belas, kami berkemas. Logistik yang menipis menuntut kami untuk segera turun ke Bermi tanpa bermalam di Danau Taman Hidup. Awalnya kami sedikit ragu karena dalam rombongan terdapat 3 perempuan, tetapi kami tetap yakin untuk sampai ke Bermi malam ini juga. Rombongan kami terpisah secara alami karena memang begitu keadaannya. Karena jalan yang kami lewati hanya sempit dan berbatasan dengan jurang, makanya kami harus berhati-hati dalam melangkah. Saya sempat terjatuh ke jurang, tetapi Alhamdulillah badan saya masih tersangkut di antara tanaman-tanaman liar, jadi saya masih bisa diselamatkan oleh teman-teman. Jalan yang kami lewati sangat terjal ke bawah. Kemudian kami harus melewati padang ilalang yang tingginya 2-3 meter. Kemudian kami memasuki hutan lumut yang sangat panjang. Hutan ini sangat lembab dan basah. Sekitar pukul 5 kami tiba di Danau Taman Hidup. Namun suasana berkabut saat itu sehingga kami tidak bisa menyaksikan apapun. Tempat ini merupakan rawa-rawa yang becek dan bau. Kami tidak berlama-lama dan segera melanjutkan perjalanan karena cuaca sedang hujan dan bekal kami habis. Kami sudah kehilangan jejak dengan rombongan depan, tetapi setiap bertemu dengan pendaki yang berjalan dari jalur Bermi kami berusaha melontarkan sebuah pertanyaan “Di depan tadi lihat rombongan dari Jogja?” kemudian mereka menjawab “Iya tadi saya lihat, tetapi sudah di depan.”

Malam semakin tidak bersahabat di saat hujan dan jalur yang kami lewati sangat tidak rasional. Tanah becek yang terjal ke bawah membuat langkah kami terhambat oleh kaki yang terpleset setiap kali menapak. Ditambah dinginnya udara saat itu dan cahaya dari senter yang makin redup karena kehabisan baterai. Serta badan menggigil dan kelaparan yang membuat konsentrasi kami sering hilang. Sekitar pukul 8, Chandra sakit dan kami harus berhenti. Kami memasak makaroni-kornet-sarden karena memang tinggal itu logistik yang kami punya. Karena keadaan tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan, Chandra harus bermalam dan mengganti pakainnya yang basah sejak tadi siang. Kami tinggal berlima yang tertinggal; Saya, Musa, Chandra, Bram, dan Mas Tiyok. Kami tidak tahu bagaimana nasib rombongan depan, terlebih nasib Alvian dan Diah yang memilih melanjutkan perjalanan saat kami berhenti memasak. Di antara kami berlima, yang masih waras tinggal saya dan Musa. Sebagian dari kami harus ada yang turun untuk memberi kabar bawah bahwa logistik sudah habis dan Chandra sakit. Jika yang turun saya dan Musa, itu sama saja kami meninggalkan 3 orang sakit tanpa logistik di gunung tanpa ada yang menjaga. Jika yang turun Bram dan Mas Tiyok, itu sama saja kami membiarkan 2 orang sakit berjalan tanpa orientasi. Akhirnya, saya dan Mas Tiyok yang memilih berjalan dan memberi kabar bawah. Saya tidak membawa Bram turun karena saya tidak sanggup membawa beban 2 nyawa orang sakit sendirian.

Saya berjalan pelan-pelan, dengan lampu senter yang redup dan bekal air minum yang sangat minim. Lelaki yang ada di sebelah saya ini sejak tadi ngelantur seperti orang kesurupan. Badannya menggigil dan selalu tidur setiap kali berhenti berjalan. Saya tahu, dia terkena hipotermia karena memang hampir semua baju yang kami kenakan basah sejak tadi siang. Ditambah hilangnya konsentrasi karena kurangnya asupan karbohidrat. Saya sedari tadi hanya bisa menangis dan menampar mukanya berkali-kali, sembari teriak, “Mas tolong sadar.” Tetapi dia tetap seperti orang kesurupan, sesekali menyanyi lingsir wengi, sesekali menyoroti pepohonan sembari berkata, “Katanya Argopuro ini mistis, di mana letak mistisnya?” Saya semakin kencang menangis dan dia tetap tidak sadarkan diri. Air minum terakhir yang hanya separuh botol aqua besar saya ambil dari tas, saya putuskan untuk menyiram wajahnya hingga dua kali namun dia tetap tidak sadar. Akhirnya kami terhenti di jalan buntu, kami bolak-balik naik turun dan tetap tidak menemukan jalan. Saat itu dia sudah mulai sadar, tetapi masih kantuk katanya. Di tengah-tengah kebingungan, kami bertemu rombongan dari Jakarta. Saya bersyukur sekali akhirnya menemukan pendaki lain di dalam hutan belantara seperti ini. Kami istirahat sebentar, menikmati rembulan yang ternyata lebih terang dari senter yang sedari tadi saya bawa di tangan kanan. Sekitar setengah 2 pagi, kami tiba di Hutan Damar dan melihat samar-samar cahaya senter dari bawah. Ternyata itu Alvian dan Diah yang dari tadi berputar-putar di dalam hutan dan belum sampai juga ke Bremi. “Tadi aku makan sarden mentah mbak, trus tidur cuma pake matras karena udah ngantuk banget”, kata Alvian. Akhirnya kami turun bersama-sama dan hanya mengandalkan cahaya bulan. Kaki kami sakit semua dan tidak kuat untuk jalan, tetapi kami tetap memaksa agar cepat sampai bawah. Saya dan Diah melepas alas yang kami kenakan dan memilih cekeran. Setelah menemukan peradaban, saya hanya bisa berteriak dan bersyukur. Tetapi di mana basecampnya? Di mana para rombongan depan yang seharusnya sudah tiba sejak tadi? Segulir pertanyaan berputar-putar di dalam kepala. Karena tidak kuat untuk berjalan lagi, akhirnya kami tidur di sebuah pos kecil; Pos Desa Wisata Bermi.

Paginya saya bangun pukul 10, ternyata Chandra Musa Bram sudah disusul Babi Anggit Arman. Karena kaki Chandra sakit, makanya sepanjang perjalanan Chandra digendong Babi. Walaupun saya tahu bahwa kaki Babi juga luka-luka, dan pasti perih. Kamu hebat, Bab.

Saya tahu, sebanyak dan seindah apapun kalimat ini, tetap tidak bisa menggambarkan keindahan Pegunungan Hyang yang mengelilingi Argopuro serta perjuangan kami untuk berjalan dari Baderan hingga Bermi. Saya bersyukur karena bisa menjadi salah satu bagian dari 12 orang ini. Terimakasih Tuhan, saya belajar banyak hal dari pendakian kali ini. Terimakasih atas perjalanan luar biasa hebat yang tidak akan pernah terlupakan, 12-20 April 2014.


"Terlalu banyak kisah untuk diceritakan, karena ini bukan sekedar tentang puncak. #Argopuro"
Tweeted by @Armandkaramy
Retweeted by @AanLareSae

Thursday, May 15, 2014

Pulanglah ke Rumah, Yas.

Aku sedang menerka-nerka apa yang sedang kau lakukan saat ini, pada malam kamis gerimis dan hujan pukul 11 yang membuatku memilih untuk menuliskan surat ini. Aku baru saja pulang selepas merayakan ulang tahun Hanif bersama 10 orang lainnya. Sebelumnya, bolehkah aku menyapamu dengan sepotong kalimat “Hai Mora. Apa kabar? Sedang apa disana? Aku harap kau baik-baik saja dan tetap bahagia.”?

Seperti hakikatnya, salam pembuka dalam surat memang penting adanya. Jadi,
Hai Mora. Apa kabar? Sedang apa disana? Aku harap kau baik-baik saja dan tetap bahagia.

Mungkin saat ini kau sedang duduk di balkon dan diam mengitung bintang, atau kau sedang berkhayal tentang masa depan yang sering kita bicarakan dulu, atau bisa jadi kau sedang bisu dan memilih mengenang yang lalu. Aku tidak tahu. Aku harap kau baik-baik saja.

Aku terharu dengan surat yang kau tuliskan untukku; yang baru sempat aku baca tadi malam. Aku mencoba untuk membalas suratmu, tetapi setiap kali aku berusaha merangkai, aku menghapusnya. Aku merasa kalimatku tidak memiliki estetika dan tata bahasa yang patut untuk kau baca. Aku memang bukan penulis dan kau tahu bahwa aku juga tidak suka membaca. Aku tidak bisa menjadi Tere Liye, Dee, Sendutu Maitulan, dan sederet penulis-penulis idolamu. Yang aku bisa hanyalah menjadi Alfu, teman kecilmu yang setia mendengar kesahmu.

Kau ingat? Kita pernah menghabiskan malam di balkon rumahku dan bercerita tentang entah. Kita pernah merangkai masa depan dan optimis memperjuangkan. Tetapi saat itu aku takut tentang tujuh belas yang datang lebih dini.
“Aku belum siap untuk menjadi dewasa.”
“Dewasa itu pilihan, umur itu hanyalah simbol, bukan patokan kedewasaan seseorang,” ujarmu.

Aku sadar, kita tidak bisa terus merangkak di saat semua sudah pergi berlari. Tentang tujuh belas yang pernah aku takutkan, memang tidak seharusnya seperti itu, yang bisa kita lakukan hanya ikut berlari, menikmati, dan mengikuti rotasi.

Yas, jangan pernah membenamkan diri ke dalam masalah dan menangisinya berlarut-larut. Terkadang kita harus mandiri untuk belajar berdiri sendiri di saat tidak ada pundak yang menopang, tidak ada tangan yang mengulur dan kaki yang menyangga. Yas, hidup adalah perkara merelakan dan mengikhlaskan, tetapi bukan melupakan. Setiap orang punya kadar bahagia masing-masing. Pun kita punya cara masing-masing untuk menikmati kebahagiaan itu.

Kita pernah sama-sama rapuh dan terjatuh; dengan kadar masing-masing. Maka saat kau lelah, pulanglah ke rumah. Nikmati setiap langkah dan tetaplah tersenyum.

Teruntuk,
Diaz Mora yang sudah genap 17 tahun. Selamat, ya.