Kukira ini cinta.
Ternyata deras hujan air mata.
Kukira ini rindu.
Ternyata tajam sebilah sendu.
Ternyata deras hujan air mata.
Kukira ini rindu.
Ternyata tajam sebilah sendu.
Satu-satu,
paru-paru cemasku waspada,
mendengar jantung doamu
yang astaga.
paru-paru cemasku waspada,
mendengar jantung doamu
yang astaga.
Benarlah kata mereka:
Pelukan hanyalah pemanis kehilangan.
Kehilangan yang suka tiba-tiba datang,
seperti kereta api di bawah jembatan Lempuyangan, Jogja
yang tak sengaja menabrak pesepeda tak awas rambu hijau, kuning, merah.
Pelukan hanyalah pemanis kehilangan.
Kehilangan yang suka tiba-tiba datang,
seperti kereta api di bawah jembatan Lempuyangan, Jogja
yang tak sengaja menabrak pesepeda tak awas rambu hijau, kuning, merah.
Pesepeda yang mati
dengan tubuh di rumah sakit.
Tapi tidak kepala.
Ia terseret ratusan kilometer di atas rel.
Lalu hilang.
dengan tubuh di rumah sakit.
Tapi tidak kepala.
Ia terseret ratusan kilometer di atas rel.
Lalu hilang.
**
Kepahitan tak hanya ada pada ampas kopi rupanya:
Ia suka menjelma sebagai rindu yang tak sampai:
Rindu-rindu yang diobral di karcis
stasiun-stasiun kereta api kotaku
dan kota dinginmu itu.
Kepahitan tak hanya ada pada ampas kopi rupanya:
Ia suka menjelma sebagai rindu yang tak sampai:
Rindu-rindu yang diobral di karcis
stasiun-stasiun kereta api kotaku
dan kota dinginmu itu.
--- Jancuk! Tak ada yang boleh menangis.
Semua haruslah menulis ---
Semua haruslah menulis ---
Maka dari alasan itu puisi ini lahir:
Sebab tak ada yang mampu dirahasiakannya,
selain kematian.
Sebab tak ada yang mampu dirahasiakannya,
selain kematian.
Silakan dibuka rekaman pembacaan puisinya;)